Sejak reformasi bergulir pada akhir 1990-an, wajah demokrasi Indonesia mengalami transformasi besar-besaran. Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah sistem pemilihan kepala daerah, di mana rakyat mendapatkan hak untuk memilih secara langsung pemimpin mereka, mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota. Namun, menjadi perbincangan hangat karna pernyataan pak prabowo untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perbincangan ini menuai pro dan kontra, menggiring kita pada pertanyaan mendasar apakah sistem ini masih relevan untuk diterapkan di Indonesia saat ini?
Pemilu Langsung Sebuah Pencapaian Demokrasi
Pemilu langsung lahir dari semangat reformasi yang menuntut desentralisasi kekuasaan dan memperluas partisipasi rakyat dalam demokrasi. Sebelum reformasi, pemimpin daerah dipilih oleh DPRD, yang dianggap sebagai perpanjangan tangan dari rezim Orde Baru. Sistem ini sering kali dikritik karena memicu oligarki politik dan minimnya transparansi dalam proses pemilihan.
Dengan diperkenalkannya pemilu langsung pada tahun 2005, rakyat diberikan suara penuh untuk menentukan siapa yang layak memimpin mereka. Sistem ini dianggap lebih demokratis karena memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih pemimpin sesuai preferensi dan kebutuhan mereka. Harapannya, pemimpin yang terpilih melalui suara rakyat akan lebih bertanggung jawab kepada masyarakat daripada kepada partai politik atau kelompok tertentu.
Namun, pelaksanaan pemilu langsung tidak sepenuhnya mulus. Dalam praktiknya, sistem ini menghadirkan berbagai tantangan, seperti tingginya biaya politik, praktik politik uang, dan polarisasi di masyarakat. Fenomena ini membuat sebagian pihak mulai mempertanyakan efektivitas pemilu langsung dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
Mengapa Wacana Pemilihan oleh DPRD Kembali Muncul?
Keinginan untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke DPRD bukan tanpa alasan. Salah satu argumen utamanya adalah efisiensi biaya. Pemilu langsung, terutama dalam skala daerah, membutuhkan anggaran yang sangat besar. Mulai dari biaya logistik, pelaksanaan kampanye, hingga pengawasan. Dalam situasi ekonomi yang semakin menantang, ada kekhawatiran bahwa anggaran negara atau daerah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru tersedot habis untuk pembiayaan pemilu.
Selain itu, pemilu langsung juga sering dikaitkan dengan maraknya politik uang. Dengan banyaknya pemilih yang terlibat, peluang bagi kandidat untuk membeli suara semakin besar. Studi menunjukkan bahwa politik uang menjadi salah satu tantangan utama dalam demokrasi Indonesia. Ini menciptakan persepsi bahwa pemimpin terpilih lebih mengutamakan kepentingan mereka untuk "mengembalikan modal" daripada benar-benar melayani rakyat.
Di sisi lain, pemilu langsung juga sering kali memicu konflik horizontal di masyarakat. Ketika kandidat yang didukung kalah, tidak jarang pendukungnya terlibat dalam aksi protes hingga bentrokan. Situasi ini menciptakan ketidakstabilan sosial yang justru merugikan masyarakat itu sendiri. Dengan kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD, proses pemilihan dianggap lebih sederhana dan minim risiko konflik.
Namun, meskipun argumen ini terdengar masuk akal, sistem pemilihan oleh DPRD juga memiliki kelemahan yang tidak kalah serius. Salah satunya adalah potensi korupsi dan kolusi di antara anggota DPRD itu sendiri. Dalam konteks ini, kita harus bertanya: apakah kita hanya memindahkan masalah dari pemilu langsung ke pemilu tidak langsung?
Apa yang Terjadi Jika Pemilihan Oleh DPRD Diterapkan Lagi?
Jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, ada beberapa dampak yang harus diantisipasi. Pertama, proses pemilihan akan sangat bergantung pada integritas anggota DPRD. Tanpa pengawasan ketat, pemilihan ini bisa menjadi ajang barter politik, di mana kandidat "membeli suara" dari anggota DPRD untuk mendapatkan posisi. Hal ini pernah menjadi isu besar sebelum reformasi, dan ada risiko bahwa kita akan kembali ke praktik yang sama.
Kedua, masyarakat mungkin kehilangan rasa kepemilikan terhadap hasil pemilu. Ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, masyarakat tidak lagi memiliki keterlibatan langsung dalam menentukan pemimpin mereka. Kondisi ini berpotensi melemahkan legitimasi kepala daerah di mata rakyat. Jika pemimpin tidak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat, efektivitasnya dalam menjalankan pemerintahan juga bisa terganggu.
Ketiga, relasi antara kepala daerah dan DPRD bisa menjadi lebih kompleks. Dalam sistem pemilu langsung, kepala daerah memiliki legitimasi mandiri dari rakyat, sehingga memiliki kekuatan lebih dalam menjalankan kebijakan tanpa terlalu bergantung pada DPRD. Namun, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, ia cenderung lebih tunduk pada kepentingan partai politik atau kelompok tertentu di DPRD. Hal ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan yang dapat menghambat jalannya pemerintahan.
Bagaimana dengan Pengalaman Negara Lain?
Beberapa negara di dunia memang menerapkan sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung. Di negara-negara seperti Amerika Serikat, misalnya, gubernur dipilih melalui pemilu langsung, sementara wali kota di beberapa kota kecil dipilih oleh dewan kota. Namun, konteks ini sangat berbeda dengan Indonesia. Sistem politik di Amerika Serikat memiliki mekanisme checks and balances yang lebih kuat, serta tradisi demokrasi yang sudah matang.
Di sisi lain, di negara-negara yang memiliki sistem politik serupa dengan Indonesia, pemilu langsung justru dianggap sebagai alat penting untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam demokrasi. Sebagai contoh, di India, pemilu langsung digunakan untuk memilih kepala daerah di berbagai wilayah, meskipun tantangannya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, seperti tingginya biaya politik dan politik uang.
Adakah Solusi untuk Tantangan Pemilu Langsung?
Daripada mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD, ada baiknya kita fokus pada memperbaiki mekanisme pemilu langsung. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memperkuat pengawasan terhadap proses pemilu, baik dari sisi kampanye, pembiayaan, hingga pelaksanaan. Misalnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus diberi wewenang lebih besar untuk menindak tegas praktik politik uang.
Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat juga sangat penting. Banyak pemilih yang masih kurang memahami pentingnya memilih berdasarkan visi dan misi kandidat, bukan karena uang atau popularitas semata. Dengan meningkatkan kesadaran politik masyarakat, diharapkan kualitas pemilu langsung bisa semakin baik.
Penerapan teknologi dalam pemilu juga bisa menjadi solusi. Misalnya, penggunaan e-voting atau sistem pemilu berbasis teknologi digital dapat mengurangi biaya logistik sekaligus mempercepat proses penghitungan suara. Meski masih membutuhkan investasi awal yang besar, dalam jangka panjang, teknologi ini dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi pemilu.
Kesimpulan
Pada akhirnya, keputusan apakah pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan oleh DPRD atau tetap melalui pemilu langsung bergantung pada tujuan utama kita sebagai bangsa. Jika tujuannya adalah efisiensi biaya, maka pemilihan oleh DPRD bisa menjadi pilihan. Namun, jika tujuan kita adalah memperkuat demokrasi dan kedaulatan rakyat, pemilu langsung harus tetap dipertahankan, meskipun dengan perbaikan di sana-sini.
Penting untuk diingat bahwa demokrasi bukan hanya tentang bagaimana pemimpin dipilih, tetapi juga bagaimana mereka memimpin setelah terpilih. Oleh karena itu, apapun sistem yang digunakan, fokus utama harus tetap pada memastikan bahwa kepala daerah yang terpilih mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Saat ini, tantangan terbesar bagi kita adalah menciptakan sistem politik yang lebih bersih, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, demokrasi Indonesia tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar menjadi alat untuk membawa perubahan yang nyata bagi rakyat. Maka, sebelum tergesa-gesa mengubah sistem, ada baiknya kita bertanya pada diri sendiri: apakah masalahnya ada pada mekanisme, atau pada pelaksanaannya? Jika yang kedua, maka jawabannya jelas: perbaikan, bukan penghapusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H