Di sudut metropolitan yang berkilauan, seorang anak laki-laki duduk di emperan toko, memandang lapar ke arah etalase berisi makanan mewah. Di sisi lain kota yang sama, sebuah keluarga sedang menikmati hidangan mahal di restoran bintang lima, tertawa tanpa menyadari realitas di luar jendela. Gambaran ini, meskipun menyakitkan, mencerminkan jurang lebar antara si kaya dan si miskin yang semakin mencolok di negeri ini.
Ketimpangan ekonomi bukan hanya tentang perbedaan angka di rekening bank, tetapi juga realitas hidup yang bertolak belakang. Ini adalah kisah tentang akses, kesempatan, dan bagaimana sistem sosial ekonomi telah memisahkan masyarakat menjadi dua dunia yang nyaris tidak bersinggungan.
Mengapa Jurang Ini Terus Melebar?
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memiliki cerita sukses dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik angka-angka yang menggembirakan, ada ketidakadilan struktural yang sulit disangkal. Menurut laporan Bank Dunia, tingkat ketimpangan di Indonesia, yang diukur melalui koefisien Gini, telah meningkat dari 30 pada awal tahun 2000-an menjadi sekitar 38 dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun ada sedikit perbaikan, angka ini tetap menunjukkan bahwa kekayaan masih terpusat di tangan segelintir orang.
Salah satu alasan utama adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Pembangunan sering kali terkonsentrasi di wilayah perkotaan, meninggalkan daerah pedesaan dalam ketertinggalan. Jika kamu berjalan-jalan di desa-desa terpencil di Indonesia, kamu akan menemukan fakta yang menyayat hati: infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih masih menjadi barang mewah bagi banyak orang. Sementara itu, di kota-kota besar, gedung pencakar langit dan kawasan elit terus bermunculan.
Ketimpangan dalam Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu pilar utama untuk mengangkat seseorang dari kemiskinan, tetapi di Indonesia, akses terhadap pendidikan berkualitas masih menjadi barang mahal. Sekolah-sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan fasilitas, tenaga pengajar yang memadai, bahkan buku pelajaran dasar.
Sebaliknya, anak-anak dari keluarga kaya memiliki akses ke sekolah internasional dengan kurikulum yang unggul, ruang kelas ber-AC, dan teknologi canggih. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan perbedaan dalam pengetahuan, tetapi juga dalam kepercayaan diri dan peluang masa depan.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi sekolah anak dari kelompok miskin jauh lebih rendah dibandingkan kelompok kaya. Bahkan jika mereka berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, mereka sering terhenti di tingkat menengah karena biaya yang semakin mahal. Ironisnya, di sisi lain spektrum, keluarga kaya mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke universitas ternama di luar negeri, memperkuat siklus ketimpangan yang sulit dipatahkan.
Ketimpangan Akses Teknologi