Gotong royong, semangat yang telah mengakar dalam budaya Indonesia, kini menghadapi tantangan besar. Di tengah gegap gempita era digital, solidaritas yang dulu erat terpaut mulai terkikis. Tidak ada lagi kisah bahu-membahu membangun jembatan atau membersihkan sungai seperti dahulu. Sebaliknya, manusia modern tenggelam dalam dunia maya, terisolasi di balik layar. Tapi, apakah era digital sepenuhnya harus disalahkan? Mari kita menelusuri fenomena ini lebih dalam.
Digitalisasi dan Erosi Solidaritas Sosial
Perkembangan teknologi telah mengubah cara manusia hidup dan berinteraksi. Sejak revolusi digital merasuk ke setiap lapisan masyarakat, jarak yang dulu terasa jauh kini dapat ditempuh dalam hitungan detik melalui komunikasi virtual. Namun, kemudahan ini membawa konsekuensi serius: ikatan sosial di dunia nyata semakin longgar.
Fenomena Individualisme Baru
Perubahan ini sangat terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Dahulu, warga desa kerap berkumpul untuk bekerja bersama, mulai dari membangun rumah hingga merayakan hajatan. Kini, bantuan lebih sering berupa transfer dana atau pesan singkat di aplikasi obrolan. Orang merasa cukup berkontribusi hanya dengan mengirimkan sejumlah uang tanpa harus hadir secara fisik.
Sebuah survei pada tahun 2020 oleh lembaga riset sosial We Are Social menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan hampir sembilan jam sehari di depan layar ponsel dan komputer. Ketergantungan ini secara perlahan mengurangi interaksi langsung. Akibatnya, nilai-nilai seperti keakraban dan gotong royong mulai memudar.
Teknologi Menggantikan Peran Sosial
Seiring dengan berkembangnya layanan digital, masyarakat mulai mengandalkan aplikasi untuk menyelesaikan tugas yang dulu melibatkan kerja sama komunitas. Ojek online, layanan pesan antar makanan, hingga jasa belanja daring menggantikan interaksi sederhana antarwarga. Contohnya, seorang ibu yang dulu meminta bantuan tetangga untuk menjaga anaknya kini lebih memilih jasa babysitter yang bisa dipesan melalui aplikasi.
Media Sosial  Penghubung atau Pemisah?
Media sosial menawarkan dunia yang penuh kemungkinan. Kampanye sosial, penggalangan dana, hingga penyebaran informasi kini menjadi lebih cepat dan mudah. Namun, apakah ini benar-benar menggantikan nilai gotong royong yang asli?
Solidaritas Semu di Era Digital
Di tengah tragedi bencana alam, misalnya, masyarakat berlomba-lomba membagikan informasi di media sosial. Namun, aksi ini sering kali berhenti pada sekadar berbagi atau menyumbang tanpa kehadiran langsung. Banyak yang menganggap tindakan digital sudah cukup mewakili kontribusi sosial mereka. Padahal, gotong royong sejati melibatkan kedekatan emosional yang hanya bisa tercipta melalui interaksi tatap muka.
Sebuah studi oleh peneliti Universitas Indonesia menunjukkan bahwa 72% warga perkotaan merasa hubungan sosial mereka hanya "sekadarnya." Media sosial, yang awalnya diciptakan untuk mendekatkan manusia, justru memperkuat jurang emosional di antara mereka.
Polarisasi dan Konflik
Selain itu, media sosial juga menjadi lahan subur bagi konflik. Perbedaan pendapat yang sebelumnya bisa diselesaikan dengan diskusi kini sering kali berujung pada perdebatan panjang di dunia maya. Polarisasi ini melemahkan rasa persatuan, yang seharusnya menjadi pondasi gotong royong.
Perubahan Nilai Gotong Royong
Gotong royong bukan hanya soal bekerja bersama; ia adalah perwujudan solidaritas yang lahir dari kebersamaan dan empati. Namun, di era digital, makna gotong royong bergeser.
Dari Kebersamaan Fisik ke Dunia Virtual
Jika dahulu masyarakat saling membantu karena kedekatan fisik, kini bantuan lebih sering diberikan secara virtual. Sebagai contoh, penggalangan dana melalui platform daring semakin populer. Walaupun membantu menyelesaikan masalah, pendekatan ini sering kali mengurangi interaksi personal yang memperkuat rasa kebersamaan.Generasi Baru dan Pola Pikir Praktis
Generasi muda yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi memiliki pola pikir yang berbeda. Mereka lebih mengutamakan efisiensi daripada proses. Ketika dihadapkan pada pilihan antara membantu secara langsung atau menggunakan solusi digital, kebanyakan memilih yang kedua. Pola pikir ini, jika terus berkembang tanpa pengawasan, dapat semakin mengikis nilai gotong royong.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Gotong royong bukan sekadar tradisi; ia adalah identitas bangsa. Dalam budaya Indonesia, gotong royong mencerminkan semangat egalitarian, di mana setiap orang dianggap setara dan memiliki tanggung jawab yang sama. Ketika nilai ini hilang, dampaknya akan terasa dalam berbagai aspek kehidupan.
Ketidakpedulian Sosial
Salah satu risiko terbesar dari hilangnya gotong royong adalah munculnya ketidakpedulian sosial. Ketika masyarakat tidak lagi merasa perlu bekerja sama, masalah yang seharusnya dapat diselesaikan secara kolektif akan semakin sulit ditangani. Misalnya, penanganan sampah di lingkungan perkotaan sering kali terhambat karena kurangnya kerja sama antarwarga.Peningkatan Ketimpangan Sosial
Gotong royong juga berfungsi sebagai mekanisme untuk mengurangi kesenjangan sosial. Ketika nilai ini memudar, kelompok masyarakat yang kurang mampu akan semakin terpinggirkan. Tanpa solidaritas, ketimpangan sosial akan semakin melebar, menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat.
Memadukan Teknologi dan Tradisi
Kendati era digital membawa tantangan, ia juga membuka peluang untuk melestarikan nilai-nilai gotong royong dengan cara yang baru. Teknologi tidak harus menjadi ancaman; ia bisa menjadi alat untuk memperkuat solidaritas.
Sebagai contoh, aplikasi seperti Kitabisa telah membuktikan bahwa teknologi dapat digunakan untuk mendorong aksi kolektif. Namun, keberhasilan ini harus diimbangi dengan pendidikan sosial yang mendorong keterlibatan langsung. Pemerintah, sekolah, dan komunitas memiliki peran penting dalam mengintegrasikan nilai-nilai gotong royong ke dalam kehidupan modern.
Masa Depan Gotong Royong di Era Digital
Kita hidup di zaman yang serba cepat, di mana teknologi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Namun, di balik kemajuan ini, kita harus menyadari bahwa ada nilai-nilai tradisional yang tidak boleh hilang. Gotong royong adalah salah satu di antaranya.
Sebagai masyarakat yang bangga dengan identitas budaya, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa nilai ini tetap relevan. Dengan memanfaatkan teknologi secara bijak dan menanamkan kembali semangat kebersamaan, kita dapat menciptakan masa depan di mana gotong royong dan era digital dapat berjalan beriringan.
Jangan biarkan layar memisahkan kita. Mari kembali menguatkan tali kebersamaan, karena di sanalah terletak kekuatan sejati bangsa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H