Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miris, Kita Masih Ketergantungan untuk Impor Bahan Pangan!

5 Desember 2024   08:11 Diperbarui: 5 Desember 2024   08:48 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petani.Pixabay.com/sasint 

Indonesia, negeri agraris dengan tanah subur yang melimpah, ironisnya masih menghadapi dilema besar: ketergantungan pada impor bahan pangan. Di balik ambisi swasembada pangan yang sering digaungkan, fakta menunjukkan bahwa beras, kedelai, jagung, gula, hingga daging sapi kerap diimpor dari negara lain. Masalah ini menjadi sorotan karena bukan hanya menyangkut soal ekonomi, tetapi juga kedaulatan pangan nasional.

Mengapa, dengan segala potensi yang dimiliki, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri? Untuk memahami persoalan ini, mari kita bedah lebih dalam.

Dilema Negeri Agraris yang Terus Mengimpor

Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan luas lahan pertanian mencapai 10,62 juta hektar pada 2022. Namun, data menunjukkan bahwa kita masih mengimpor bahan pangan dalam jumlah besar. Sebagai contoh, pada 2023, Indonesia mengimpor 2,5 juta ton beras dari Thailand, Vietnam, dan India. Hal serupa terjadi pada komoditas kedelai, di mana 90% kebutuhan dalam negeri dipenuhi dari impor, terutama dari Amerika Serikat.

Kamu mungkin bertanya, bagaimana bisa negeri yang kaya akan sumber daya alam ini justru mengandalkan negara lain untuk kebutuhan dasarnya? Jawabannya ada pada berbagai masalah struktural yang telah lama menjadi momok sektor pertanian Indonesia.

Produktivitas yang Rendah dan Ketimpangan Teknologi

Salah satu akar permasalahan adalah produktivitas pertanian yang masih rendah. Rata-rata hasil panen padi di Indonesia hanya sekitar 5,1 ton per hektar, jauh di bawah Vietnam yang mencapai 6 ton per hektar. Petani kita masih mengandalkan metode tradisional karena akses terhadap teknologi modern sangat terbatas.

Misalnya, di daerah-daerah terpencil seperti Kabupaten Sumbawa, petani masih menggunakan cangkul dan sabit untuk mengolah sawah. Padahal, teknologi seperti traktor dan drone pemantau lahan dapat meningkatkan efisiensi kerja mereka. Masalah ini diperparah oleh minimnya riset dan pengembangan varietas unggul yang tahan hama serta perubahan iklim.

Selain itu, distribusi pupuk bersubsidi yang sering terlambat atau bahkan tidak tepat sasaran juga menambah penderitaan petani. Ketika harga pupuk melonjak, petani kecil kesulitan untuk membeli, sehingga produktivitas menurun.

Infrastruktur Pertanian yang Tertinggal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun