Indonesia, negeri agraris dengan tanah subur yang melimpah, ironisnya masih menghadapi dilema besar: ketergantungan pada impor bahan pangan. Di balik ambisi swasembada pangan yang sering digaungkan, fakta menunjukkan bahwa beras, kedelai, jagung, gula, hingga daging sapi kerap diimpor dari negara lain. Masalah ini menjadi sorotan karena bukan hanya menyangkut soal ekonomi, tetapi juga kedaulatan pangan nasional.
Mengapa, dengan segala potensi yang dimiliki, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri? Untuk memahami persoalan ini, mari kita bedah lebih dalam.
Dilema Negeri Agraris yang Terus Mengimpor
Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan luas lahan pertanian mencapai 10,62 juta hektar pada 2022. Namun, data menunjukkan bahwa kita masih mengimpor bahan pangan dalam jumlah besar. Sebagai contoh, pada 2023, Indonesia mengimpor 2,5 juta ton beras dari Thailand, Vietnam, dan India. Hal serupa terjadi pada komoditas kedelai, di mana 90% kebutuhan dalam negeri dipenuhi dari impor, terutama dari Amerika Serikat.
Kamu mungkin bertanya, bagaimana bisa negeri yang kaya akan sumber daya alam ini justru mengandalkan negara lain untuk kebutuhan dasarnya? Jawabannya ada pada berbagai masalah struktural yang telah lama menjadi momok sektor pertanian Indonesia.
Produktivitas yang Rendah dan Ketimpangan Teknologi
Salah satu akar permasalahan adalah produktivitas pertanian yang masih rendah. Rata-rata hasil panen padi di Indonesia hanya sekitar 5,1 ton per hektar, jauh di bawah Vietnam yang mencapai 6 ton per hektar. Petani kita masih mengandalkan metode tradisional karena akses terhadap teknologi modern sangat terbatas.
Misalnya, di daerah-daerah terpencil seperti Kabupaten Sumbawa, petani masih menggunakan cangkul dan sabit untuk mengolah sawah. Padahal, teknologi seperti traktor dan drone pemantau lahan dapat meningkatkan efisiensi kerja mereka. Masalah ini diperparah oleh minimnya riset dan pengembangan varietas unggul yang tahan hama serta perubahan iklim.
Selain itu, distribusi pupuk bersubsidi yang sering terlambat atau bahkan tidak tepat sasaran juga menambah penderitaan petani. Ketika harga pupuk melonjak, petani kecil kesulitan untuk membeli, sehingga produktivitas menurun.
Infrastruktur Pertanian yang Tertinggal