Korupsi ibarat kanker ganas yang terus menggerogoti tubuh Indonesia. Setiap tahun, kasus demi kasus mencuat, mengungkap fakta mengejutkan tentang besarnya kerugian negara yang disebabkan oleh oknum yang menyalahgunakan kekuasaan. Dari proyek fiktif hingga rekening gendut pejabat, korupsi telah menjadi ancaman serius bagi pembangunan bangsa. Dalam situasi ini, pengesahan Undang-Undang (UU) Perampasan Aset menjadi lebih dari sekadar kebutuhan; ini adalah keharusan.
Bayangkan, ratusan triliun rupiah hasil korupsi menguap begitu saja setiap tahun. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa hingga 2022, Indonesia kehilangan lebih dari Rp300 triliun akibat korupsi. Uang sebesar itu bisa digunakan untuk membangun ribuan sekolah, rumah sakit, atau bahkan infrastruktur penunjang ekonomi rakyat. Namun, fakta menunjukkan bahwa banyak aset hasil kejahatan sulit dirampas karena keterbatasan hukum. Maka, pertanyaan besar pun muncul. Apakah kita hanya akan diam melihat para koruptor hidup nyaman dengan uang rakyat?
Realitas Buruk Penanganan Aset Koruptor di Indonesia
Hukum pidana di Indonesia saat ini menghadapi banyak kendala dalam mengamankan aset hasil kejahatan. Proses hukum yang panjang, tuntutan pembuktian yang berat, hingga celah hukum sering dimanfaatkan oleh pelaku untuk melarikan diri atau menyembunyikan aset. Akibatnya, meski banyak koruptor berhasil dijebloskan ke penjara, negara tetap tidak mampu mengembalikan kerugian yang ditimbulkan.
Kasus yang mencuat belakangan ini, seperti dugaan korupsi salah satu pejabat pajak yang menyembunyikan asetnya dalam bentuk properti dan barang mewah, menjadi bukti nyata. Meski pengadilan berhasil membuktikan tindak pidananya, banyak aset yang tidak dapat disentuh karena status kepemilikannya dialihkan ke pihak ketiga atau menggunakan nama samaran. Celah inilah yang seharusnya ditutup dengan UU Perampasan Aset.
Tidak hanya di dalam negeri, banyak aset hasil korupsi juga disembunyikan di luar negeri. Kasus Nazaruddin dan Sjamsul Nursalim adalah contoh di mana proses hukum menjadi lebih rumit karena melibatkan yurisdiksi lintas negara. Tanpa regulasi yang kuat, seperti UU Perampasan Aset, upaya mengembalikan uang rakyat dari tangan koruptor menjadi nyaris mustahil.
Apa Itu UU Perampasan Aset, dan Mengapa Kita Butuh?
UU Perampasan Aset dirancang untuk memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu pelaku dijatuhi hukuman pidana terlebih dahulu. Mekanisme ini dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture, yang sudah diterapkan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Filipina.
Keunggulan mekanisme ini adalah fokus pada aset, bukan pelaku. Jadi, meskipun pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau menggunakan berbagai trik hukum untuk menghindari hukuman, aset yang diperoleh secara ilegal tetap bisa diambil kembali oleh negara. Prinsipnya sederhana: jika ada bukti kuat bahwa suatu aset diperoleh dari kejahatan, aset tersebut harus dikembalikan kepada masyarakat.
Belajar dari Keberhasilan Filipina