3. Menyelesaikan Ketimpangan Suara di Wilayah dengan Keragaman Tinggi
Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang sangat beragam, baik dari segi budaya, agama, maupun geografis. Kondisi ini sering kali menyebabkan suara pemilih terpecah di antara kandidat yang memiliki basis dukungan berbeda. Sistem putaran kedua membantu mengatasi ketimpangan ini dengan memastikan bahwa kandidat yang menang benar-benar mewakili seluruh rakyat, bukan hanya kelompok tertentu.
4. Menghindari Potensi Konflik Pasca-Pemilu
Pemilu yang menghasilkan pemenang dengan margin suara kecil sering kali memunculkan ketegangan di masyarakat. Pihak yang kalah bisa saja mempertanyakan legitimasi hasil pemilu, yang berpotensi memicu konflik sosial. Putaran kedua memberikan proses tambahan untuk memperjelas hasil akhir, sehingga hasilnya lebih diterima oleh semua pihak.
Tantangan Pelaksanaan Putaran Kedua Pemilu
Meski memiliki banyak manfaat, putaran kedua juga menghadirkan sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan.
1. Biaya Tinggi untuk Penyelenggaraan
Melaksanakan putaran kedua membutuhkan anggaran tambahan yang cukup besar. Biaya ini mencakup logistik, pelatihan petugas, distribusi surat suara, hingga pengawasan TPS. Pada Pemilu Presiden 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengalokasikan dana besar untuk memastikan putaran kedua berjalan lancar. Dalam konteks daerah dengan infrastruktur terbatas, tantangan ini menjadi lebih signifikan.
2. Menurunnya Partisipasi Pemilih
Putaran kedua berisiko menurunkan tingkat partisipasi pemilih, terutama jika masyarakat merasa lelah atau tidak puas dengan proses putaran pertama. Misalnya, pada Pilkada DKI Jakarta 2017, meski partisipasi cukup tinggi, ada laporan bahwa sebagian pemilih merasa kurang antusias karena polarisasi yang terjadi di masyarakat.
3. Risiko Polarisasi dan Fragmentasi Sosial