Pengangguran adalah salah satu tantangan sosial terbesar yang terus dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, masalah ini semakin menjadi perhatian karena jumlah pencari kerja terus bertambah, sementara lapangan pekerjaan yang tersedia terasa makin sulit diraih. Salah satu alasan utamanya adalah persyaratan kerja yang kian hari semakin tidak masuk akal. Banyak perusahaan menetapkan kriteria yang sering kali tidak relevan atau terlalu berat, yang pada akhirnya menghalangi banyak orang mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam bagaimana fenomena ini terjadi, dampaknya terhadap masyarakat, dan solusi yang bisa diambil untuk mengatasi masalah ini. Selain itu, kita juga akan melihat berbagai bukti yang menunjukkan bagaimana persyaratan kerja yang tidak realistis telah memperparah angka pengangguran.
Realita Angka Pengangguran di Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada tahun 2023 mencapai 5,45%. Angka ini setara dengan lebih dari 8 juta orang yang belum memiliki pekerjaan. Sebagian besar dari mereka adalah anak muda yang baru lulus dari pendidikan tinggi atau menengah. Menariknya, banyak dari mereka memiliki kualifikasi yang cukup tinggi, namun tetap sulit mendapatkan pekerjaan.
Penyebab utama tingginya angka pengangguran ini tidak hanya karena kurangnya lapangan pekerjaan, tetapi juga karena proses rekrutmen yang tidak ramah bagi pencari kerja. Perusahaan sering kali menetapkan persyaratan kerja yang tidak relevan, seperti pengalaman kerja minimal lima tahun untuk posisi junior, atau kemampuan teknis yang terlalu spesifik tanpa menyediakan pelatihan.
Fenomena "Overqualified but Unemployed"
Pernahkah kamu mendengar istilah overqualified but unemployed? Fenomena ini terjadi ketika seseorang memiliki kualifikasi yang sangat baik, namun tetap tidak mendapatkan pekerjaan. Hal ini sering terjadi karena dua alasan utama:
Persyaratan yang Tidak Masuk Akal
Banyak perusahaan menetapkan standar tinggi tanpa mempertimbangkan realitas pasar tenaga kerja. Sebagai contoh, untuk posisi entry-level yang seharusnya ditujukan bagi lulusan baru, perusahaan sering meminta pengalaman kerja minimal tiga hingga lima tahun. Hal ini jelas tidak realistis karena lulusan baru belum memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengalaman tersebut.Ekspektasi yang Berlebihan
Tidak hanya pengalaman kerja, perusahaan juga sering meminta kandidat untuk memiliki berbagai keterampilan tambahan yang sebenarnya tidak terlalu relevan dengan pekerjaan yang ditawarkan. Misalnya, seorang calon staf administrasi diminta menguasai perangkat lunak desain grafis atau memiliki sertifikasi bahasa asing yang mahal.