Pagi itu, Dita membuka aplikasi Instagram di ponselnya sambil menyeruput kopi di meja kerja. Feed-nya dipenuhi dengan foto teman-temannya yang sedang liburan di pantai tropis, mengenakan pakaian bermerek, dan menikmati makanan mahal di restoran mewah. "Kok mereka selalu terlihat bahagia, ya?" gumam Dita sambil tersenyum kecut. Di balik layar ponselnya, Dita merasa hidupnya tidak semenarik apa yang ia lihat di media sosial. Fenomena ini, yang disebut "flexing", kini semakin merajalela di platform digital.
Flexing, atau kebiasaan memamerkan sesuatu untuk menunjukkan status, gaya hidup, atau kekayaan, telah menjadi tren global yang hampir tak terhindarkan. Tapi, apakah fenomena ini benar-benar mencerminkan realitas hidup? Atau hanya fatamorgana yang dirancang untuk mendapatkan validasi sosial? Mari kita ulas lebih dalam tentang bagaimana sosial media menjadi wadah flexing, dampaknya, dan bagaimana kamu sebaiknya menyikapinya.
Apa Itu Flexing di Media Sosial?
Secara sederhana, flexing adalah tindakan memamerkan sesuatu, biasanya untuk menarik perhatian atau menunjukkan keberhasilan. Di era media sosial, flexing tidak lagi terbatas pada lingkup fisik. Kamu tidak perlu bertemu langsung dengan orang lain untuk pamer mobil baru atau liburan mewah. Cukup unggah foto atau video dengan caption menarik, dan ratusan bahkan ribuan orang bisa melihatnya.
Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook memberikan ruang bagi penggunanya untuk menampilkan sisi terbaik dari kehidupan mereka. Sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard Business School menyebutkan bahwa perilaku pamer di media sosial sering kali dipicu oleh kebutuhan psikologis akan pengakuan. Semakin banyak like, komentar, dan share yang didapatkan, semakin tinggi rasa puas yang dirasakan oleh individu tersebut.
Namun, ada perbedaan besar antara realitas dan apa yang ditampilkan. Sebuah survei dari Journal of Social Media Studies menunjukkan bahwa 65% pengguna media sosial mengaku merasa tertekan karena melihat konten yang memamerkan gaya hidup mewah. Ini membuktikan bahwa flexing tidak hanya memengaruhi mereka yang melakukannya, tetapi juga audiens yang melihatnya.
Faktor Penyebab Flexing
Ada beberapa alasan mengapa fenomena flexing begitu marak di era media sosial.
Tekanan Sosial untuk Terlihat Sukses
Media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang harus terlihat sukses, bahagia, dan selalu "on top of the game." Hal ini sering kali memicu seseorang untuk memamerkan apa yang mereka miliki, meskipun sebenarnya itu hanya sekadar pencitraan.Pengaruh Algoritma
Algoritma media sosial dirancang untuk memprioritaskan konten yang menarik perhatian. Foto dengan mobil mewah atau video unboxing barang mahal cenderung mendapatkan engagement lebih banyak dibandingkan konten biasa. Akibatnya, pengguna terdorong untuk membuat konten serupa agar tetap relevan.Persaingan Tidak Sehat
Beberapa orang melihat media sosial sebagai arena kompetisi. Siapa yang lebih kaya? Siapa yang lebih bahagia? Persaingan ini sering kali membuat seseorang merasa harus terus-menerus membuktikan diri melalui unggahan mereka.Validasi Diri
Flexing juga bisa menjadi cara untuk meningkatkan rasa percaya diri. Ketika seseorang merasa kurang dihargai di dunia nyata, media sosial sering menjadi pelarian untuk mencari pengakuan.
Dampak Flexing pada Pengguna Media Sosial
Meski terlihat sepele, flexing memiliki dampak signifikan, baik positif maupun negatif, terutama pada kesehatan mental.
Dampak Positif
Flexing tidak selalu buruk. Dalam beberapa kasus, ini bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Misalnya, seorang pebisnis muda yang memamerkan kesuksesannya bisa memotivasi banyak orang untuk bekerja keras demi mencapai tujuan yang sama. Selain itu, flexing juga bisa menjadi alat personal branding, terutama bagi mereka yang bekerja di industri kreatif, fashion, atau gaya hidup.
Dampak Negatif
Namun, sisi gelap flexing tidak bisa diabaikan. Terlalu sering terpapar konten pamer bisa menimbulkan rasa minder, iri, hingga depresi. Fenomena ini disebut dengan Fear of Missing Out (FOMO), di mana seseorang merasa tertinggal karena tidak bisa mengikuti gaya hidup yang ditampilkan di media sosial.
Selain itu, flexing juga bisa menciptakan tekanan finansial. Banyak orang yang rela berhutang demi memenuhi standar hidup yang tidak realistis. Sebuah penelitian oleh Indonesian Consumer Insight Report menemukan bahwa 40% milenial di Indonesia menggunakan kartu kredit untuk membeli barang yang akan mereka pamerkan di media sosial.
Antara Realitas dan Pencitraan
Kasus Budi (bukan nama sebenarnya) bisa menjadi contoh nyata dampak flexing. Seorang karyawan biasa dengan gaji pas-pasan, Budi terobsesi untuk tampil mewah di media sosial. Ia sering mengunggah foto di restoran mahal dan liburan ke luar negeri. Namun, di balik itu semua, Budi memiliki utang kartu kredit yang menumpuk. "Saya ingin terlihat sukses seperti teman-teman saya. Kalau tidak, rasanya minder," akunya.
Kisah Budi bukanlah satu-satunya. Banyak orang di era digital ini merasa harus "mengikuti tren" agar diterima oleh lingkungan sosial mereka, bahkan jika itu berarti memalsukan realitas.
Bagaimana Kamu Bisa Menyikapi Flexing di Media Sosial?
Kamu tidak bisa mengontrol apa yang orang lain unggah di media sosial, tetapi kamu bisa mengontrol bagaimana cara kamu meresponsnya. Berikut beberapa langkah bijak yang bisa kamu ambil:
Sadari bahwa Media Sosial Bukanlah Realitas Sepenuhnya
Ingat, apa yang kamu lihat di media sosial sering kali hanya "highlights" atau momen terbaik dari hidup seseorang. Jangan terlalu membandingkan dirimu dengan apa yang kamu lihat.Batasi Waktu Bermain Media Sosial
Detoks digital adalah cara efektif untuk mengurangi tekanan yang diakibatkan oleh media sosial. Sisihkan waktu untuk menikmati kehidupan nyata tanpa terganggu layar ponsel.Ikuti Akun yang Memberikan Dampak Positif
Daripada mengikuti akun yang membuatmu merasa minder, pilihlah akun yang memberikan inspirasi, edukasi, atau hiburan yang sehat.Fokus pada Peningkatan Diri
Daripada terjebak dalam tren flexing, gunakan waktu dan energimu untuk mengembangkan dirimu sendiri. Ingat, kebahagiaan sejati datang dari dalam, bukan dari validasi orang lain.
Kesimpulan
Sosial media memang memberikan banyak manfaat, tetapi juga membawa tantangan baru seperti fenomena flexing. Penting bagi kita untuk bijak dalam menggunakannya, tidak terjebak dalam ilusi dunia maya, dan lebih fokus pada kualitas hidup di dunia nyata.
Flexing mungkin terlihat menyenangkan, tetapi kebahagiaan sejati tidak datang dari jumlah like atau komentar. Hidup bukanlah kompetisi, dan setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Jadi, mari gunakan media sosial dengan bijak dan jadikan dunia maya sebagai tempat berbagi yang sehat, bukan panggung pencitraan semata.
Bagaimana pendapatmu tentang fenomena ini? Yuk, diskusikan di kolom komentar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI