Kisah Budi bukanlah satu-satunya. Banyak orang di era digital ini merasa harus "mengikuti tren" agar diterima oleh lingkungan sosial mereka, bahkan jika itu berarti memalsukan realitas.
Bagaimana Kamu Bisa Menyikapi Flexing di Media Sosial?
Kamu tidak bisa mengontrol apa yang orang lain unggah di media sosial, tetapi kamu bisa mengontrol bagaimana cara kamu meresponsnya. Berikut beberapa langkah bijak yang bisa kamu ambil:
Sadari bahwa Media Sosial Bukanlah Realitas Sepenuhnya
Ingat, apa yang kamu lihat di media sosial sering kali hanya "highlights" atau momen terbaik dari hidup seseorang. Jangan terlalu membandingkan dirimu dengan apa yang kamu lihat.Batasi Waktu Bermain Media Sosial
Detoks digital adalah cara efektif untuk mengurangi tekanan yang diakibatkan oleh media sosial. Sisihkan waktu untuk menikmati kehidupan nyata tanpa terganggu layar ponsel.Ikuti Akun yang Memberikan Dampak Positif
Daripada mengikuti akun yang membuatmu merasa minder, pilihlah akun yang memberikan inspirasi, edukasi, atau hiburan yang sehat.Fokus pada Peningkatan Diri
Daripada terjebak dalam tren flexing, gunakan waktu dan energimu untuk mengembangkan dirimu sendiri. Ingat, kebahagiaan sejati datang dari dalam, bukan dari validasi orang lain.
Kesimpulan
Sosial media memang memberikan banyak manfaat, tetapi juga membawa tantangan baru seperti fenomena flexing. Penting bagi kita untuk bijak dalam menggunakannya, tidak terjebak dalam ilusi dunia maya, dan lebih fokus pada kualitas hidup di dunia nyata.
Flexing mungkin terlihat menyenangkan, tetapi kebahagiaan sejati tidak datang dari jumlah like atau komentar. Hidup bukanlah kompetisi, dan setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Jadi, mari gunakan media sosial dengan bijak dan jadikan dunia maya sebagai tempat berbagi yang sehat, bukan panggung pencitraan semata.