Bayangkan kamu adalah seorang kepala keluarga yang setiap bulannya harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Pengeluaran bulanan seperti belanja kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, dan tagihan listrik saja sudah menguras separuh penghasilanmu. Lalu, tiba-tiba tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan dari 10% menjadi 11%, dan kabarnya akan naik lagi hingga 12% di 2025 mendatang. Bagi sebagian besar orang, terutama kelas menengah, ini adalah kabar buruk. Kenaikan tarif PPN bukan sekadar angka, tapi bagaikan tamparan keras bagi daya beli masyarakat yang sudah terhimpit.
PPN Pajak yang Diam-diam Menggerogoti
Apa sebenarnya PPN itu? Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan pada setiap tahap distribusi barang dan jasa, dari produsen hingga ke tangan konsumen. Meski terdengar sederhana, dampaknya terasa di hampir semua aspek kehidupan sehari-hari. Mulai dari harga kebutuhan pokok hingga layanan seperti pendidikan dan kesehatan, semuanya terkena imbas kenaikan tarif PPN.
Alasan utama kenaikan ini, menurut pemerintah, adalah untuk menambah pendapatan negara. Setelah pandemi COVID-19 yang menguras keuangan negara, pemerintah perlu mencari sumber pendapatan baru untuk menutup defisit anggaran. Namun, apakah kelas menengah, yang disebut sebagai "tulang punggung ekonomi", harus menjadi pihak yang paling dirugikan?
Efek Domino pada Keseharian Masyarakat
Dampak kenaikan tarif PPN bisa dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Mari kita lihat contoh konkret. Harga bahan makanan seperti beras, gula, dan minyak goreng perlahan tapi pasti naik. Pedagang di pasar tradisional yang biasanya menjadi andalan masyarakat kelas menengah dan bawah terpaksa menaikkan harga karena mereka juga terkena beban pajak ini.
Sebagai contoh, harga gula pasir yang sebelumnya Rp12.500 per kilogram kini bisa naik menjadi Rp13.500 per kilogram. Meski selisihnya hanya Rp1.000, bayangkan jika kamu membeli dalam jumlah banyak untuk sebulan. Beban ini akan semakin terasa ketika diterapkan pada berbagai kebutuhan lainnya, dari bahan pokok hingga barang rumah tangga.
Tidak hanya itu, biaya pendidikan anak yang selama ini sudah mahal juga ikut terdampak. Buku pelajaran, seragam, hingga biaya ekstrakurikuler yang dikenakan PPN menjadi lebih mahal. Keluarga kelas menengah sering kali harus memilih: menekan pengeluaran untuk pendidikan atau mengurangi konsumsi kebutuhan lain, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas hidup secara keseluruhan.
Kelas Menengah Pahlawan Ekonomi yang Kian Tertekan
Kelas menengah adalah kelompok yang sering disebut sebagai pahlawan ekonomi. Mereka bukan hanya konsumen aktif, tetapi juga penyumbang pajak terbesar melalui berbagai bentuk konsumsi. Sayangnya, kenaikan tarif PPN ini justru menekan mereka lebih keras.
Sebagian besar masyarakat kelas menengah tidak memiliki pendapatan yang elastis, alias sulit untuk naik dalam waktu cepat. Sementara itu, inflasi yang terus meningkat membuat mereka harus memotong pengeluaran untuk kebutuhan yang sebenarnya penting. Bahkan, banyak yang akhirnya menarik diri dari pasar formal, memilih produk yang tidak dikenai pajak, atau beralih ke barang-barang ilegal yang lebih murah.
Hal ini tentu menjadi paradoks. Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan pendapatan negara melalui pajak. Tapi di sisi lain, daya beli masyarakat yang melemah justru bisa memperlambat perputaran ekonomi. Ketika konsumsi turun, produsen pun mengurangi produksi, yang pada akhirnya berdampak pada lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Terjepit di Antara Kebijakan
Salah satu sektor yang paling terpukul oleh kenaikan tarif PPN adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Banyak UMKM yang selama ini menjadi andalan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari kini harus menanggung beban tambahan.
Ambil contoh pedagang makanan kecil. Jika sebelumnya mereka bisa menjual seporsi nasi uduk dengan harga Rp10.000, sekarang mereka harus menaikkan harga menjadi Rp12.000 atau lebih untuk menutupi biaya operasional yang meningkat akibat kenaikan pajak. Masalahnya, konsumen juga keberatan dengan kenaikan harga ini, sehingga omzet UMKM pun turun.
UMKM yang sebelumnya menjadi penopang ekonomi di masa sulit pandemi kini menghadapi dilema besar. Mereka terjebak di antara harus menaikkan harga untuk bertahan atau menurunkan margin keuntungan yang sudah tipis.
Meringankan Beban Rakyat
Kenaikan tarif PPN memang tidak bisa dihindari, tetapi pemerintah memiliki tanggung jawab untuk meminimalkan dampaknya pada masyarakat. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk meringankan beban kelas menengah dan UMKM:
Subsidi untuk Kebutuhan Pokok
Pemerintah perlu memberikan subsidi pada barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, gula, dan minyak goreng. Dengan begitu, dampak kenaikan PPN bisa diminimalkan pada barang-barang yang paling dibutuhkan masyarakat.Insentif Pajak untuk UMKM
Memberikan insentif atau pengurangan pajak untuk UMKM bisa membantu mereka tetap kompetitif tanpa harus menaikkan harga produk secara signifikan.Pengawasan Harga dan Inflasi
Pemerintah harus aktif mengawasi harga di pasar untuk memastikan tidak ada pihak yang mengambil keuntungan berlebihan dari situasi ini. Selain itu, upaya pengendalian inflasi juga harus menjadi prioritas.Edukasi Pajak yang Transparan
Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang jelas tentang bagaimana uang pajak digunakan. Dengan transparansi, kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan ini bisa meningkat.Peningkatan Pendapatan Melalui Reformasi Pajak
Pemerintah bisa memperluas basis pajak dengan mengoptimalkan pajak penghasilan pada golongan atas yang selama ini cenderung lolos dari kewajiban pajak. Dengan cara ini, beban tidak hanya ditanggung oleh kelas menengah.
Dampak pada Kehidupan Sehari-Hari
Sebut saja Pak Budi, seorang pekerja kantoran dengan penghasilan tetap, adalah potret nyata masyarakat kelas menengah yang merasakan dampak kenaikan PPN. Pengeluaran bulanannya sudah ketat, tapi kini ia harus memutar otak lebih keras. "Biasanya, saya bisa menyisihkan uang untuk menabung atau liburan kecil dengan keluarga. Sekarang, uang itu habis untuk kebutuhan sehari-hari," ujarnya.
Pak Budi juga harus memangkas biaya pendidikan anaknya. Les tambahan yang sebelumnya ia anggap penting kini ditiadakan. Situasi ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup keluarganya, tetapi juga masa depan anak-anaknya.
Kesimpulan
Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% adalah kebijakan yang memiliki tujuan mulia, yaitu meningkatkan pendapatan negara. Namun, dampaknya pada kelas menengah dan UMKM tidak bisa dianggap enteng. Golongan yang selama ini menjadi penopang ekonomi justru tertekan oleh kebijakan ini.
Pemerintah perlu mencari jalan tengah untuk meringankan beban masyarakat tanpa mengorbankan tujuan fiskal. Dengan solusi yang tepat, beban kenaikan tarif PPN bisa diminimalkan, sehingga masyarakat tetap mampu berkontribusi pada pembangunan ekonomi tanpa merasa tercekik.
Jadi, bagaimana pendapatmu tentang kenaikan tarif PPN ini? Apakah kamu merasakan dampaknya secara langsung? Mari berbagi pandanganmu di kolom komentar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H