Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Mengembalikan Ujian Nasional adalah Langkah yang Tepat?

13 November 2024   12:02 Diperbarui: 13 November 2024   21:44 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ujian Nasional. Pixabay/F1Digitals

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana tentang pendidikan di Indonesia selalu menarik perhatian masyarakat. Salah satu topik yang kini hangat diperbincangkan adalah soal penghapusan Ujian Nasional (UN) dan usulan untuk mengembalikannya. Sejak dihapus pada tahun 2020, UN digantikan dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan survei karakter. Munculnya wacana untuk menghidupkan kembali UN memicu perdebatan: apakah langkah ini benar-benar dapat memperbaiki kualitas pendidikan atau justru akan membawa kembali masalah yang pernah ada?

Artikel ini akan mencoba membahas alasan-alasan mengapa wacana pengembalian UN mencuat kembali, dampak dari perubahan ini, serta pertimbangan apakah mengembalikan UN adalah solusi terbaik untuk pendidikan di Indonesia.

Mengapa Ujian Nasional Dihapuskan?

Ujian Nasional pertama kali diterapkan di Indonesia pada tahun 2002 dengan tujuan untuk menjadi alat ukur yang seragam dalam menilai kemampuan akademik siswa di seluruh Indonesia. Pada masa itu, UN dianggap sebagai tolok ukur nasional yang mampu memberikan gambaran mengenai pencapaian siswa secara menyeluruh dalam berbagai mata pelajaran penting. Hasil UN juga sering kali menjadi faktor penentu kelulusan, yang membuatnya memiliki peran sangat penting dalam perjalanan pendidikan siswa.

Namun, seiring berjalannya waktu, UN mulai mendapat banyak kritikan. Salah satu kritik utama adalah bahwa UN sering menimbulkan tekanan psikologis yang besar bagi siswa. Bayangkan seorang siswa kelas 12 yang telah berjuang belajar selama bertahun-tahun, tetapi masa depan akademisnya bergantung pada hasil UN yang berlangsung hanya beberapa hari. Siswa yang cerdas pun bisa merasa stres dan tertekan menghadapi ujian yang dianggap sangat menentukan masa depan mereka.

Selain itu, UN dinilai membuat pola pembelajaran yang "berorientasi pada ujian" atau teaching to the test. Sekolah-sekolah, khususnya di jenjang menengah, terkadang lebih fokus mempersiapkan siswa untuk lulus UN ketimbang mengajarkan pengetahuan yang lebih luas atau keterampilan hidup yang penting. Alhasil, siswa didorong untuk menghafal materi ujian ketimbang memahami konsep-konsep secara mendalam atau belajar berpikir kritis. Kondisi ini, tentu saja, kurang ideal untuk menghasilkan generasi yang mampu berpikir kreatif dan analitis.

Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) Lebih Baik?

Penghapusan UN pada tahun 2020 memberikan ruang bagi lahirnya Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang menilai literasi membaca, numerasi, dan survei karakter siswa. AKM difokuskan pada keterampilan dasar yang dianggap lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan masyarakat. AKM juga tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, melainkan sebagai alat evaluasi untuk mengukur tingkat kompetensi siswa dalam keterampilan dasar yang penting untuk masa depan mereka.

Dengan AKM, pemerintah berharap dapat mengubah arah pendidikan di Indonesia agar lebih fokus pada pengembangan kompetensi nyata, bukan sekadar angka di atas kertas. Konsep ini terdengar bagus, tetapi di lapangan masih ada kendala. Salah satu tantangan utama AKM adalah perbedaan kualitas pendidikan antarwilayah. AKM yang lebih fleksibel membutuhkan kesiapan guru dan infrastruktur pendidikan yang memadai agar dapat berjalan dengan baik, tetapi kenyataannya banyak sekolah yang masih kekurangan tenaga pengajar berkualitas, serta terbatas dalam hal fasilitas pendukung.

Selain itu, AKM juga dinilai tidak memiliki "pengaruh kuat" seperti UN dalam mendorong siswa untuk belajar lebih giat, karena hasil AKM tidak menentukan kelulusan. Ini membuat sebagian orang merasa bahwa AKM kurang efektif dalam memotivasi siswa untuk berprestasi. Sejumlah pihak meyakini bahwa UN, meskipun memiliki beberapa kelemahan, setidaknya mampu memberikan tolak ukur yang jelas dan memotivasi siswa untuk mencapai standar tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun