Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Omnibuslaw Hanya Menguntungkan Pilak Perusahaan?

2 November 2024   11:04 Diperbarui: 2 November 2024   12:44 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja memang telah menarik perhatian besar dari masyarakat Indonesia sejak pertama kali dirancang. Bagi banyak orang, undang-undang ini seolah menjadi "jalan pintas" bagi pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing nasional. Melalui simplifikasi regulasi, pemerintah berupaya mempermudah jalur investasi yang, katanya, dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Namun, di balik klaim tersebut, muncul pertanyaan besar: apakah Omnibus Law benar-benar dirancang untuk kesejahteraan seluruh rakyat, atau justru lebih banyak menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama korporasi besar?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat beberapa perubahan besar dalam Omnibus Law dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat, terutama pekerja. Melalui artikel ini, kita akan membahas poin-poin penting yang memicu kekhawatiran masyarakat, termasuk risiko-risiko nyata yang bisa terjadi akibat penerapan undang-undang ini.

Kemudahan Investasi, Siapa yang Diuntungkan?

Salah satu tujuan utama dari Omnibus Law adalah menarik lebih banyak investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan begitu, perusahaan-perusahaan dari luar negeri diharapkan tertarik untuk membuka usaha di sini, menciptakan lapangan kerja, dan pada akhirnya meningkatkan perekonomian. Tapi, mari kita pertanyakan, untuk siapa sebenarnya kemudahan investasi ini?

Omnibus Law memang memberikan berbagai insentif dan kemudahan bagi investor, seperti proses perizinan yang lebih cepat, pengurangan pajak, hingga fleksibilitas dalam merekrut tenaga kerja. Bagi perusahaan, hal ini tentu sangat menguntungkan, karena mereka tidak perlu melalui proses birokrasi yang panjang dan dapat lebih mudah memulai bisnisnya di Indonesia. Namun, kemudahan ini justru membuat pekerja semakin terpojok. Sebagai contoh, fleksibilitas yang diberikan dalam hal kontrak kerja dan upah membuat perusahaan bisa menawarkan upah di bawah standar dan memberhentikan pekerja kapan saja tanpa banyak pertimbangan.

Ilustrasi Infografis dibuat Menggunakan Canva
Ilustrasi Infografis dibuat Menggunakan Canva

Dampak pada Upah Minimum, Meningkat atau Justru Menurun?

Perubahan dalam kebijakan upah minimum adalah salah satu hal yang paling dikeluhkan dalam Omnibus Law. Sebelumnya, setiap daerah di Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak. Namun, dengan adanya Omnibus Law, penentuan upah minimum menjadi lebih fleksibel, disesuaikan dengan kondisi ekonomi di daerah masing-masing. Ini berarti, di daerah-daerah dengan ekonomi yang lemah, upah minimum bisa jadi lebih rendah dari yang seharusnya.

Kebijakan ini tentu menguntungkan bagi perusahaan yang beroperasi di daerah-daerah dengan ekonomi rendah, karena mereka bisa menghemat biaya tenaga kerja. Tapi, bagi para pekerja, hal ini adalah mimpi buruk. Dengan upah minimum yang rendah, mereka harus berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada akhirnya, tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru berbalik arah, karena para pekerja dipaksa menerima upah yang tidak layak demi mempertahankan pekerjaan mereka.

Kemudahan untuk Perusahaan, Ketidakpastian untuk Pekerja?

Omnibus Law juga mengubah aturan terkait kontrak kerja dan PHK. Jika sebelumnya perusahaan diwajibkan untuk mematuhi aturan tertentu sebelum memutuskan hubungan kerja, kini proses PHK menjadi lebih mudah dan tidak lagi memerlukan prosedur yang ketat. Sebagai contoh, seorang pekerja kontrak bisa diberhentikan kapan saja tanpa adanya perlindungan hukum yang kuat.

Situasi ini jelas lebih menguntungkan perusahaan, karena mereka bisa lebih mudah merampingkan tenaga kerja sesuai kebutuhan tanpa harus menghadapi proses hukum yang rumit. Bagi para pekerja, ini menjadi ancaman besar terhadap kestabilan karier dan keamanan finansial mereka. Ketidakpastian dalam kontrak kerja membuat para pekerja harus selalu siap menghadapi risiko kehilangan pekerjaan sewaktu-waktu, yang pada akhirnya meningkatkan kecemasan dan stres.

Perizinan Lingkungan yang Mudah,  Ancaman Bagi Alam dan Masyarakat?

Tidak hanya mengancam hak-hak pekerja, Omnibus Law juga memperlonggar aturan perizinan lingkungan bagi perusahaan. Sebelum adanya Omnibus Law, perusahaan harus memenuhi berbagai syarat dan ketentuan dalam hal pelestarian lingkungan sebelum mendapat izin operasional. Namun, dengan adanya UU Cipta Kerja, persyaratan lingkungan ini menjadi lebih mudah dan kurang ketat.

Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi perusahaan, terutama yang bergerak di sektor tambang, perkebunan, dan manufaktur, karena mereka bisa mengurangi biaya operasional dengan memangkas anggaran pelestarian lingkungan. Tapi, bagaimana dengan dampaknya bagi masyarakat? Kelonggaran dalam aturan lingkungan ini dapat menyebabkan kerusakan alam yang lebih cepat, pencemaran air dan udara, serta ancaman terhadap kesehatan masyarakat sekitar. Alih-alih menciptakan kesejahteraan, justru ancaman terhadap kesehatan dan lingkunganlah yang akan dihadapi oleh masyarakat di sekitar area industri.

Korporasi Besar di Atas Angin, Masyarakat Kecil Terpinggirkan

Kritik lain terhadap Omnibus Law adalah keberpihakannya yang lebih besar kepada korporasi-korporasi besar. Banyak yang menilai bahwa undang-undang ini lebih menguntungkan perusahaan dengan modal besar, yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai insentif dan kemudahan yang ditawarkan. Sebagai contoh, perusahaan besar dapat dengan mudah mengakses tenaga kerja murah dan lahan industri dengan biaya rendah, sementara usaha kecil justru sulit bersaing dan terancam kalah oleh dominasi perusahaan besar.

Dengan aturan yang lebih longgar bagi korporasi besar, ketimpangan ekonomi antara perusahaan besar dan masyarakat kecil semakin lebar. Pekerja menjadi lebih rentan, sementara keuntungan perusahaan meningkat. Kesenjangan ini pada akhirnya memicu ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan di masyarakat, di mana mereka merasa bahwa kebijakan pemerintah lebih berpihak kepada segelintir elit ketimbang rakyat jelata.

Lemahnya Perlindungan bagi Serikat Pekerja

Serikat pekerja, yang selama ini menjadi wadah perjuangan bagi hak-hak pekerja, juga mengalami kesulitan dalam melawan arus Omnibus Law. Dengan undang-undang ini, perusahaan memiliki kuasa lebih besar dalam mengatur tenaga kerja, yang secara tidak langsung mengurangi kekuatan serikat pekerja. Pekerja semakin sulit menyuarakan aspirasi dan menuntut hak-haknya karena perusahaan memiliki kewenangan untuk membatasi peran serikat pekerja.

Dampaknya, keseimbangan kekuasaan antara perusahaan dan pekerja semakin timpang. Para pekerja yang dulu bisa mengandalkan serikat untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka, kini kehilangan wadah tersebut. Dengan kekuatan yang semakin terbatas, serikat pekerja tidak lagi memiliki pengaruh kuat untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi anggotanya.

Menarik Investasi, Tapi Mengorbankan Keadilan Sosial

Jika dilihat secara menyeluruh, Omnibus Law memang berhasil membuka jalan bagi investasi yang lebih besar di Indonesia. Namun, di balik itu, banyak hal yang dikorbankan, terutama kesejahteraan pekerja dan keadilan sosial. Seberapa efektifkah sebuah undang-undang jika hanya fokus pada jumlah investasi tanpa memperhatikan dampak sosialnya? Jika hanya menguntungkan korporasi dan menciptakan ketidakadilan di masyarakat, maka Omnibus Law menjadi solusi yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Kesimpulan

Kontroversi Omnibus Law mengajarkan kita bahwa kebijakan ekonomi yang baik harus mencakup semua elemen masyarakat. Bukan hanya fokus pada angka investasi, tetapi juga pada keadilan sosial, kesejahteraan pekerja, dan kelestarian lingkungan. Masyarakat berharap bahwa pemerintah mau mendengar aspirasi rakyat, termasuk suara para pekerja dan komunitas lingkungan yang selama ini merasa dirugikan.

Jika pemerintah serius ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka perlu evaluasi mendalam terhadap Omnibus Law. Mungkin bukan berarti harus menghapus undang-undang ini, tetapi memperbaiki bagian-bagian yang dianggap merugikan masyarakat luas. Keterbukaan terhadap kritik, serta komitmen untuk memperjuangkan keadilan sosial, akan membuat Omnibus Law lebih berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya keuntungan korporasi.

Dengan begitu, UU Cipta Kerja bisa menjadi fondasi yang tidak hanya meningkatkan ekonomi, tapi juga membawa kesejahteraan bagi semua. Mari kita berharap agar pemerintah dan pembuat kebijakan berkomitmen untuk terus menjaga keadilan dan kesejahteraan masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun