Di sisi lain, mereka juga berharap dengan lembur, mereka bisa mendapatkan pengakuan dari atasan, meningkatkan reputasi di mata perusahaan, atau bahkan membuka peluang kenaikan jabatan di masa depan.
Misalnya, seorang karyawan yang bekerja di perusahaan startup mungkin terbiasa bekerja hingga larut malam untuk mengejar target yang tinggi.
Mereka merasa bahwa lembur adalah bagian dari perjalanan untuk mencapai kesuksesan bersama perusahaan. Di sinilah loyalitas muncul sebagai bentuk pengorbanan.
Namun, apakah benar loyalitas harus diukur dari seberapa banyak waktu yang dihabiskan di luar jam kerja tanpa kompensasi yang setimpal?
Ketika Lembur Menjadi Eksploitasi
Di balik citra loyalitas tersebut, sering kali terselip bentuk perundungan atau tekanan yang tidak disadari oleh karyawan.
Lembur tanpa bayaran bisa berubah menjadi praktik eksploitasi, terutama ketika perusahaan menuntut karyawan untuk terus bekerja melebihi batas waktu tanpa memberikan imbalan yang pantas. Jika dilakukan terus-menerus, hal ini bisa menyebabkan burnout atau kelelahan yang parah.Â
Karyawan yang mengalami tekanan semacam ini mungkin merasa terjebak dalam situasi di mana mereka tidak bisa menolak lembur karena khawatir dianggap tidak produktif, kurang loyal, atau bahkan kehilangan pekerjaan.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), pekerja yang terus-menerus lembur tanpa bayaran berisiko mengalami gangguan kesehatan mental, seperti stres kronis, kecemasan, dan depresi.
Dampak negatif ini tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh perusahaan. Karyawan yang lelah dan tidak mendapatkan kompensasi yang sesuai cenderung mengalami penurunan produktivitas, yang pada akhirnya merugikan perusahaan secara keseluruhan.
Salah satu contoh nyata yang sering terjadi adalah ketika perusahaan memberikan beban kerja yang terlalu besar, yang memaksa karyawan untuk menyelesaikannya di luar jam kerja resmi.Â