Melamar pekerjaan seharusnya menjadi proses yang transparan dan adil, di mana setiap individu berkesempatan menunjukkan potensi terbaiknya tanpa dibatasi oleh aturan yang tidak relevan. Sayangnya, di Indonesia, masih banyak perusahaan yang menetapkan persyaratan kerja yang terasa tidak masuk akal dan cenderung menghambat pencari kerja yang sebenarnya memenuhi kriteria. Persyaratan-persyaratan tersebut sering kali tidak berhubungan langsung dengan kemampuan atau kompetensi yang dibutuhkan untuk posisi tersebut, sehingga menciptakan ketidakadilan bagi calon pekerja.
Fenomena ini menjadi masalah nyata di kalangan pencari kerja, terutama bagi mereka yang baru saja menyelesaikan pendidikan formal dan siap memasuki dunia kerja. Banyak dari mereka merasa kesulitan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak realistis, yang justru membuat proses melamar kerja menjadi lebih rumit dan membingungkan.
1. Syarat Pengalaman Kerja yang Tidak Masuk Akal
Salah satu syarat yang sering ditemui dalam lowongan pekerjaan di Indonesia adalah tuntutan pengalaman kerja yang sangat tinggi, bahkan untuk posisi junior atau entry-level. Sebagai contoh, banyak perusahaan yang mencari "fresh graduate" dengan pengalaman kerja minimal dua hingga tiga tahun. Padahal, jika dilihat dari definisinya, fresh graduate adalah individu yang baru saja lulus dan belum memiliki banyak pengalaman kerja.
Kondisi ini tentu membuat banyak lulusan baru merasa terintimidasi. Bagaimana mungkin mereka memenuhi syarat pengalaman tersebut ketika mereka baru saja memulai karirnya? Bukti dari situasi ini bisa ditemukan dalam banyak lowongan kerja yang tersebar di platform pencari kerja, di mana syarat pengalaman kerja seringkali tidak sesuai dengan level posisi yang ditawarkan.
Sebuah survei dari Korn Ferry Institute pada tahun 2018 menyatakan bahwa 35% lulusan baru merasa tidak mampu bersaing di pasar kerja karena tuntutan pengalaman yang terlalu tinggi. Hal ini membuat banyak dari mereka mengendurkan semangat untuk melamar pekerjaan yang sebenarnya bisa mereka jalani dengan baik jika diberikan kesempatan.
2. Batasan Usia yang Ketat
Batasan usia menjadi salah satu masalah lain yang kerap dijumpai dalam persyaratan melamar kerja di Indonesia. Banyak perusahaan membatasi usia maksimal kandidat untuk posisi tertentu, biasanya pada angka 27 atau 30 tahun. Bagi beberapa posisi spesifik yang membutuhkan tenaga fisik seperti pekerjaan di lapangan, mungkin pembatasan usia ini dapat diterima. Namun, untuk posisi yang lebih administratif atau teknis, batasan usia seringkali terasa tidak relevan.
Sebagai contoh, lowongan kerja untuk posisi akuntan atau staf IT yang membatasi usia maksimal 30 tahun bisa sangat menghambat karir seseorang yang mungkin baru meraih gelar S2 di usia 28 atau 29 tahun. Di banyak negara maju, batasan usia ini sudah dianggap ketinggalan zaman karena fokus utama perusahaan adalah pada kemampuan dan pengalaman, bukan usia.
Batasan usia yang ketat ini juga melanggengkan diskriminasi terhadap para pekerja yang lebih tua. Banyak orang yang memiliki pengalaman dan keahlian mumpuni harus terpinggirkan hanya karena usia mereka dianggap "terlalu tua" untuk posisi yang sebenarnya dapat mereka jalankan dengan baik. Padahal, di sisi lain, pengalaman dan kematangan dalam bekerja sering kali menjadi nilai tambah yang besar bagi perusahaan.
3. Kriteria Fisik yang Tidak Relevan
Salah satu persyaratan melamar kerja yang paling kontroversial adalah syarat fisik yang tidak berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri. Misalnya, beberapa perusahaan menetapkan tinggi badan minimal atau berat badan ideal untuk posisi yang sebenarnya tidak memerlukan kualifikasi fisik tertentu. Contoh nyata dari hal ini sering kali terlihat dalam lowongan kerja di bidang perbankan atau administrasi, di mana tinggi badan minimal sering kali ditetapkan sebagai syarat.
Tinggi badan, berat badan, bahkan penampilan fisik, seharusnya bukan menjadi ukuran utama dalam proses rekrutmen, kecuali untuk posisi yang memang membutuhkan kriteria fisik tertentu, seperti pramugari atau model. Mengaitkan kriteria fisik dengan pekerjaan administrasi atau teknis hanya mencerminkan kurangnya pemahaman tentang fokus utama rekrutmen, yaitu kemampuan individu dalam menjalankan tugas yang diberikan.
Sebagai bukti konkret, kita bisa melihat data dari The World Bank pada tahun 2020 yang menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki tingkat pengangguran tinggi di kalangan lulusan muda. Hal ini salah satunya disebabkan oleh kriteria rekrutmen yang tidak rasional, di mana aspek penampilan fisik masih sering dijadikan faktor utama dalam menyeleksi kandidat, terutama di sektor swasta.
4. Kualifikasi Pendidikan yang Berlebihan
Tidak jarang kita menemukan lowongan kerja yang mengharuskan kandidat memiliki gelar pendidikan yang tinggi, seperti S2, bahkan untuk posisi entry-level. Dalam beberapa kasus, kualifikasi pendidikan yang terlalu tinggi justru membuat posisi tersebut kehilangan kandidat yang sebenarnya kompeten tetapi tidak memiliki gelar yang diminta. Sebagai contoh, sebuah perusahaan mungkin meminta kandidat untuk memiliki gelar S2 dalam bidang pemasaran untuk posisi sebagai staf pemasaran junior.
Kenyataannya, pekerjaan di bidang pemasaran lebih banyak bergantung pada kemampuan praktis dan pengalaman di lapangan daripada gelar akademik tinggi. Menetapkan syarat kualifikasi yang berlebihan seperti ini justru menutup peluang bagi individu yang berpengalaman tetapi mungkin tidak memiliki gelar formal yang diminta. Padahal, banyak posisi di dunia kerja yang bisa diisi oleh individu yang belajar melalui pengalaman dan pelatihan informal.
Penelitian yang dilakukan oleh Global Talent Trends pada tahun 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 40% perusahaan di Asia Pasifik mulai mempertimbangkan kembali persyaratan pendidikan yang terlalu tinggi karena menyadari bahwa pengalaman praktis sering kali lebih bernilai dalam lingkungan kerja modern. Hal ini menjadi pelajaran bagi perusahaan di Indonesia untuk lebih fleksibel dalam menetapkan kualifikasi pendidikan agar tidak kehilangan kandidat berbakat.
5. Keterampilan yang Sebenarnya Tidak Diperlukan
Persyaratan lain yang kerap membuat bingung pencari kerja adalah tuntutan keterampilan yang terlalu spesifik, bahkan untuk pekerjaan yang tidak memerlukannya. Contohnya, seorang desainer grafis mungkin diminta untuk menguasai berbagai bahasa pemrograman, padahal tanggung jawab utamanya adalah mendesain visual. Memasukkan syarat-syarat semacam ini hanya akan mempersempit peluang bagi pencari kerja yang sebenarnya memiliki keterampilan utama yang dibutuhkan.
Dalam dunia kerja yang terus berkembang, perusahaan seharusnya fokus pada keterampilan inti yang benar-benar relevan dengan pekerjaan yang ditawarkan. Terlalu banyak persyaratan keterampilan hanya akan membingungkan pencari kerja dan mengurangi minat mereka untuk melamar.
Kesimpulan
Melihat berbagai persyaratan yang tidak masuk akal ini, sudah saatnya perusahaan di Indonesia mengevaluasi kembali kriteria rekrutmen mereka. Menetapkan persyaratan yang realistis dan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan adalah langkah pertama untuk menciptakan pasar kerja yang lebih inklusif dan adil. Pencari kerja juga perlu bersikap bijak, memilih perusahaan yang memiliki nilai-nilai dan persyaratan yang masuk akal. Pada akhirnya, proses rekrutmen yang efektif akan menghasilkan kandidat yang tepat dan memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H