Pada Pilkada mendatang, Indonesia akan menghadapi perubahan signifikan dalam demografi pemilihnya. Salah satu perubahan terbesar adalah meningkatnya jumlah pemilih dari Generasi Z (Gen Z), yaitu mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pemilih muda di Indonesia terus meningkat, dengan Gen Z menjadi kelompok pemilih yang mendominasi. Hal ini membawa harapan baru, tetapi juga tantangan besar. Apakah Gen Z siap menjadi pemilih yang cerdas dan kritis dalam menentukan masa depan daerah dan negara?
Sebagai generasi yang tumbuh dengan teknologi dan media sosial, Gen Z memiliki akses yang luas terhadap informasi. Namun, akses ini tidak selalu berarti memiliki pemahaman yang mendalam terhadap isu-isu politik. Informasi yang mengalir deras di media sosial sering kali bercampur dengan hoaks atau berita palsu, yang dapat membentuk persepsi yang keliru. Inilah yang membuat penting bagi Gen Z untuk lebih kritis dalam menyikapi setiap informasi yang mereka terima, terutama dalam konteks Pilkada.
Peran Gen Z dalam Pilkada: Potensi dan Tantangan
Gen Z dikenal sebagai generasi yang peduli terhadap isu-isu sosial seperti lingkungan, kesetaraan gender, inklusi sosial, dan hak asasi manusia. Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z cenderung lebih berani dalam menyuarakan pendapat mereka, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Namun, di tengah kepedulian ini, tantangan besar muncul ketika mereka dihadapkan pada proses memilih pemimpin di Pilkada. Popularitas seorang calon pemimpin di media sosial sering kali menjadi faktor yang memengaruhi pilihan, padahal popularitas tidak selalu sejalan dengan kapabilitas.
Sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga riset Alvara menunjukkan bahwa Gen Z cenderung lebih tertarik pada calon pemimpin yang aktif di media sosial dan memiliki citra positif di platform-platform digital. Namun, ini bukan satu-satunya indikator yang dapat dijadikan dasar untuk memilih pemimpin yang baik. Popularitas bisa menyesatkan, terutama jika kampanye politik hanya diisi dengan janji-janji yang bombastis tanpa program konkret. Gen Z harus belajar untuk tidak hanya melihat calon dari citranya di media sosial, tetapi juga dari rekam jejak dan visi yang mereka bawa.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa Gen Z sering terpapar pada arus informasi yang sangat cepat dan pendek (seperti video pendek di TikTok atau Instagram). Model konsumsi informasi semacam ini berisiko membuat mereka kurang mendalami isu-isu penting secara komprehensif. Pilkada adalah proses yang kompleks, dan memilih pemimpin tidak bisa dilakukan dengan hanya melihat potongan informasi yang dangkal. Diperlukan pemahaman mendalam tentang setiap calon, terutama terkait program kerja, pengalaman, dan rekam jejak mereka.
Mengapa Gen Z Harus Kritis?
Pemilu, termasuk Pilkada, adalah instrumen penting dalam demokrasi. Hak pilih adalah hak fundamental yang tidak boleh disia-siakan, dan pemilihan yang dilakukan dengan baik dapat membawa perubahan yang signifikan. Mengingat besarnya pengaruh Gen Z dalam Pilkada mendatang, keputusan yang mereka ambil akan menentukan arah pembangunan daerah, bahkan negara, selama beberapa tahun ke depan. Karena itu, memilih pemimpin bukanlah tugas yang bisa dianggap sepele. Gen Z harus menyadari bahwa suara mereka memiliki bobot yang besar.
Sebuah contoh nyata dari pengaruh pemilih muda dapat dilihat dalam pemilu di Amerika Serikat tahun 2020. Di sana, pemilih muda, termasuk Gen Z, memainkan peran krusial dalam menentukan hasil pemilu. Mereka berperan besar dalam mengangkat isu-isu perubahan iklim dan keadilan sosial, yang akhirnya memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terpilih. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pemilih muda menggunakan hak pilihnya dengan bijak dan didasarkan pada pengetahuan yang kritis, mereka dapat mempengaruhi kebijakan politik secara signifikan.
Namun, untuk dapat melakukan hal yang sama di Indonesia, Gen Z harus menghindari jebakan berita palsu dan kampanye yang hanya bersifat populis. Memilih hanya berdasarkan kesan pertama atau tren di media sosial dapat berbahaya. Pilkada bukanlah kontes popularitas, melainkan proses untuk memilih pemimpin yang mampu menjalankan program kerja yang nyata dan solutif.