Sistem senioritas di institusi pendidikan, terutama di jenjang sekolah menengah dan perguruan tinggi, sudah lama menjadi tradisi yang melekat. Namun, meskipun dianggap sebagai bagian dari pembinaan kedisiplinan dan karakter, sistem ini sering kali menyisakan cerita kelam. Kekerasan, intimidasi, dan bullying sering kali lahir dari hubungan tidak seimbang antara senior dan junior. Budaya ini bukan hanya merusak mentalitas siswa, tetapi juga bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Jika dibiarkan terus-menerus, kekerasan berbasis senioritas bisa berdampak panjang pada perkembangan kepribadian generasi muda.
Senioritas: Tradisi yang Tak Selalu Positif
Budaya senioritas di banyak institusi pendidikan sering kali dibalut dengan alasan "pembinaan" atau "pembentukan karakter." Senior diharapkan menjadi contoh yang baik bagi junior, baik dalam hal akademis, moral, maupun sikap. Namun, dalam praktiknya, apa yang terjadi sering kali jauh dari ekspektasi. Senior justru menggunakan kedudukannya untuk memperlakukan junior secara sewenang-wenang. Perbedaan status yang dibangun berdasarkan lamanya waktu di institusi, membuat senior merasa berhak memberikan perintah yang tidak masuk akal, bahkan sering kali disertai dengan kekerasan.
Pada tahun 2019, misalnya, di sebuah perguruan tinggi di Indonesia, terjadi kasus kekerasan terhadap mahasiswa baru di mana seorang junior harus menjalani hukuman fisik yang berlebihan hanya karena kesalahan kecil yang tidak sepatutnya dihukum. Tindakan tersebut tentu tidak hanya mencederai fisik, tetapi juga mental korban. Kasus ini hanya salah satu dari banyak kasus kekerasan yang terjadi akibat sistem senioritas yang berlebihan.
Hierarki Tidak Sehat
Salah satu aspek paling berbahaya dari sistem senioritas adalah terciptanya hierarki yang tidak sehat di lingkungan pendidikan. Dalam proses belajar, setiap individu seharusnya memiliki kedudukan yang setara. Namun, dengan adanya senioritas, terjadi pembagian kekuasaan yang tidak seimbang. Senior sering kali merasa memiliki kendali atas junior hanya karena mereka lebih dulu memasuki lingkungan pendidikan tersebut. Ketidaksetaraan ini menciptakan ruang bagi perilaku dominan yang berujung pada kekerasan dan bullying.
Junior, di sisi lain, sering kali dipaksa untuk tunduk pada aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh senior. Mereka diwajibkan untuk mematuhi perintah-perintah yang, kadang kala, tidak masuk akal, dan jika melawan, mereka bisa menghadapi sanksi sosial seperti dikucilkan atau, yang lebih buruk lagi, mengalami kekerasan fisik. Tekanan ini membuat junior berada dalam posisi yang sangat rentan, di mana hak-hak mereka sebagai individu sering kali terabaikan.
Kekerasan Terselubung dengan Dalih Tradisi
Banyak institusi pendidikan, terutama yang memiliki tradisi kuat seperti sekolah berasrama atau perguruan tinggi dengan organisasi kemahasiswaan yang kuat, memiliki ritual tertentu yang melibatkan kekerasan fisik atau mental sebagai bagian dari "penerimaan" junior. Dalam beberapa kasus, kekerasan ini bahkan disamarkan sebagai proses pembentukan karakter atau penguatan mental. Sering kali, kekerasan ini terjadi selama masa orientasi mahasiswa baru atau kegiatan ekstrakurikuler.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip pendidikan yang mengedepankan pembelajaran, empati, dan pengembangan potensi diri. Kekerasan yang disamarkan dengan istilah "pembinaan mental" sebenarnya hanya memperburuk trauma mental yang dialami junior. Sebagai contoh, seorang siswa yang menjadi korban kekerasan di awal tahun ajarannya mungkin akan tumbuh dengan perasaan tidak aman, kehilangan kepercayaan diri, bahkan mengalami depresi.