Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Media Sosial jadi Wadah Kekerasan Verbal di Sekolah

3 Oktober 2024   08:15 Diperbarui: 3 Oktober 2024   08:26 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Mengalami Cyber Bullying. Pixabay.com/Elf-Moondance 

Dalam era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, termasuk di kalangan pelajar. Platform-platform seperti Instagram, TikTok, Twitter, hingga WhatsApp, yang awalnya diciptakan sebagai alat komunikasi dan ekspresi diri, kini sering kali disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan. Salah satu fenomena yang semakin mengkhawatirkan adalah penggunaan media sosial sebagai wadah kekerasan verbal di sekolah. Kekerasan verbal yang terjadi secara online ini tidak hanya menciptakan dampak negatif bagi korbannya, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua, guru, dan masyarakat.

Kekerasan Verbal di Dunia Maya: Kenyataan yang Menyedihkan

Kekerasan verbal di media sosial sering kali terjadi dalam bentuk cyberbullying, di mana pelaku menggunakan platform online untuk menghina, merendahkan, atau menyebarkan kebencian terhadap individu lain. Salah satu alasan mengapa kekerasan verbal di media sosial berkembang pesat adalah karena sifatnya yang anonim dan tidak memerlukan interaksi langsung. Pelaku dapat dengan mudah menyembunyikan identitas mereka di balik layar, tanpa harus menghadapi konsekuensi langsung dari perbuatan mereka. Kondisi ini menciptakan "rasa aman" bagi pelaku, yang berpikir bahwa mereka tidak akan tertangkap atau dihukum.

Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Cyberbullying Research Center pada tahun 2020 menemukan bahwa 59% pelajar di seluruh dunia pernah mengalami perundungan di dunia maya. Di Indonesia, angka ini juga meningkat seiring dengan tingginya penggunaan media sosial di kalangan remaja. Laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebutkan bahwa satu dari lima anak di Indonesia pernah menjadi korban kekerasan verbal di media sosial. Ini adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dari semua pihak, mulai dari keluarga hingga institusi pendidikan.

Dampak Psikologis yang Tak Terlihat, Namun Nyata

Sering kali, kekerasan verbal di media sosial dianggap remeh oleh sebagian orang tua dan guru. Mereka menganggap bahwa kekerasan yang terjadi di dunia maya tidak seberat kekerasan fisik yang terjadi di dunia nyata. Padahal, dampak psikologis yang ditimbulkan dari kekerasan verbal ini bisa jauh lebih dalam dan berbahaya. Anak-anak yang menjadi korban sering kali mengalami tekanan emosional, kehilangan rasa percaya diri, merasa tidak berharga, hingga mengalami depresi.

Sebuah studi dari Journal of Adolescent Health menemukan bahwa korban cyberbullying memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan di dunia maya. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kesehatan mental; banyak korban kekerasan verbal di media sosial yang juga mengalami penurunan prestasi akademis, menarik diri dari pergaulan, dan bahkan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup mereka. Kasus tragis semacam ini pernah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, di mana seorang remaja memutuskan untuk bunuh diri setelah menjadi korban hinaan di media sosial.

Kekerasan verbal yang terjadi secara online juga bersifat terus-menerus. Berbeda dengan kekerasan fisik yang biasanya terjadi pada waktu dan tempat tertentu, cyberbullying dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Korban tidak bisa lari dari hinaan atau ejekan yang mereka terima di media sosial, karena akses ke internet yang hampir tidak terbatas. Setiap saat mereka membuka ponsel, mereka bisa kembali dihadapkan pada komentar negatif atau pesan kebencian yang menghancurkan mental mereka.

Peran Media Sosial dalam Memicu Kekerasan Verbal di Sekolah

Media sosial bukanlah penyebab tunggal kekerasan verbal di sekolah, tetapi platform ini telah menjadi wadah yang sangat efektif bagi para pelaku kekerasan untuk melancarkan aksinya. Anonimitas yang diberikan oleh media sosial sering kali membuat pelaku merasa tidak perlu bertanggung jawab atas perkataan mereka. Mereka merasa aman karena tidak perlu bertatap muka langsung dengan korban, sehingga tidak ada risiko langsung yang harus mereka hadapi.

Selain itu, fenomena "viral" di media sosial juga mendorong perilaku negatif. Banyak pelaku kekerasan verbal yang merasa terdorong untuk menyebarkan hinaan atau ejekan karena ingin mendapatkan perhatian dari pengguna lain. Mereka mungkin beranggapan bahwa dengan menjadi "populer" di media sosial, mereka bisa mendapatkan validasi dari orang lain, meskipun itu dilakukan dengan cara yang merugikan orang lain.

Namun, hal ini tidak berarti bahwa media sosial sepenuhnya buruk. Platform-platform ini memiliki potensi besar untuk mendukung kreativitas dan pertukaran ide positif. Masalahnya adalah, tanpa pengawasan dan edukasi yang tepat, media sosial bisa menjadi alat yang berbahaya, terutama bagi anak-anak dan remaja yang masih dalam proses perkembangan emosional dan sosial mereka.

Pentingnya Edukasi dan Pengawasan: Mengatasi Kekerasan Verbal di Media Sosial

Untuk mengatasi masalah kekerasan verbal di media sosial, diperlukan langkah-langkah konkret dari semua pihak, baik orang tua, guru, maupun pemerintah. Edukasi tentang etika berinternet dan dampak negatif dari kekerasan verbal harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah. Anak-anak perlu diajarkan untuk menggunakan media sosial dengan bijak dan bertanggung jawab. Mereka juga perlu diberi pemahaman tentang konsekuensi hukum dari tindakan cyberbullying dan kekerasan verbal lainnya di dunia maya.

Selain itu, orang tua harus lebih aktif dalam memantau aktivitas anak-anak mereka di media sosial. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak mereka mungkin menjadi korban atau bahkan pelaku kekerasan verbal di dunia maya. Dengan memantau penggunaan media sosial dan membuka ruang komunikasi yang terbuka dengan anak-anak, orang tua bisa mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Pemerintah dan institusi pendidikan juga harus mengambil peran dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa. Misalnya, sekolah dapat menyediakan layanan konseling yang dapat diakses oleh siswa yang merasa menjadi korban kekerasan verbal. Dengan adanya dukungan dari pihak sekolah, siswa tidak perlu merasa sendirian dalam menghadapi masalah ini.

Lebih jauh lagi, platform media sosial itu sendiri juga perlu lebih tegas dalam menindak pelaku kekerasan verbal. Fitur-fitur pelaporan dan pemblokiran harus lebih dioptimalkan untuk melindungi pengguna, terutama anak-anak dan remaja, dari kekerasan verbal. Perusahaan teknologi yang mengelola media sosial juga perlu bertanggung jawab dengan memperketat regulasi terkait perilaku negatif di platform mereka.

Media Sosial Bukan Musuh, Tapi Butuh Pengawasan

Media sosial memang memiliki peran penting dalam kehidupan modern, termasuk dalam dunia pendidikan. Namun, tanpa pengawasan dan edukasi yang tepat, platform ini bisa berubah menjadi wadah kekerasan verbal yang merusak. Kekerasan verbal di media sosial, terutama di kalangan pelajar, bukanlah masalah sepele. Dampak psikologis yang ditimbulkan bisa sangat serius, bahkan mengancam jiwa.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kesadaran dan kerjasama dari semua pihak, mulai dari orang tua, guru, hingga pemerintah. Edukasi tentang etika penggunaan media sosial, pengawasan yang ketat, serta tindakan tegas dari platform media sosial itu sendiri, sangat diperlukan untuk mencegah kekerasan verbal di dunia maya. Jika langkah-langkah ini diambil, media sosial bisa kembali menjadi ruang yang aman dan positif bagi generasi muda, serta membantu mereka tumbuh menjadi individu yang sehat, baik secara mental maupun sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun