Dalam era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, termasuk di kalangan pelajar. Platform-platform seperti Instagram, TikTok, Twitter, hingga WhatsApp, yang awalnya diciptakan sebagai alat komunikasi dan ekspresi diri, kini sering kali disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan. Salah satu fenomena yang semakin mengkhawatirkan adalah penggunaan media sosial sebagai wadah kekerasan verbal di sekolah. Kekerasan verbal yang terjadi secara online ini tidak hanya menciptakan dampak negatif bagi korbannya, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua, guru, dan masyarakat.
Kekerasan Verbal di Dunia Maya: Kenyataan yang Menyedihkan
Kekerasan verbal di media sosial sering kali terjadi dalam bentuk cyberbullying, di mana pelaku menggunakan platform online untuk menghina, merendahkan, atau menyebarkan kebencian terhadap individu lain. Salah satu alasan mengapa kekerasan verbal di media sosial berkembang pesat adalah karena sifatnya yang anonim dan tidak memerlukan interaksi langsung. Pelaku dapat dengan mudah menyembunyikan identitas mereka di balik layar, tanpa harus menghadapi konsekuensi langsung dari perbuatan mereka. Kondisi ini menciptakan "rasa aman" bagi pelaku, yang berpikir bahwa mereka tidak akan tertangkap atau dihukum.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Cyberbullying Research Center pada tahun 2020 menemukan bahwa 59% pelajar di seluruh dunia pernah mengalami perundungan di dunia maya. Di Indonesia, angka ini juga meningkat seiring dengan tingginya penggunaan media sosial di kalangan remaja. Laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebutkan bahwa satu dari lima anak di Indonesia pernah menjadi korban kekerasan verbal di media sosial. Ini adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dari semua pihak, mulai dari keluarga hingga institusi pendidikan.
Dampak Psikologis yang Tak Terlihat, Namun Nyata
Sering kali, kekerasan verbal di media sosial dianggap remeh oleh sebagian orang tua dan guru. Mereka menganggap bahwa kekerasan yang terjadi di dunia maya tidak seberat kekerasan fisik yang terjadi di dunia nyata. Padahal, dampak psikologis yang ditimbulkan dari kekerasan verbal ini bisa jauh lebih dalam dan berbahaya. Anak-anak yang menjadi korban sering kali mengalami tekanan emosional, kehilangan rasa percaya diri, merasa tidak berharga, hingga mengalami depresi.
Sebuah studi dari Journal of Adolescent Health menemukan bahwa korban cyberbullying memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan di dunia maya. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kesehatan mental; banyak korban kekerasan verbal di media sosial yang juga mengalami penurunan prestasi akademis, menarik diri dari pergaulan, dan bahkan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup mereka. Kasus tragis semacam ini pernah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, di mana seorang remaja memutuskan untuk bunuh diri setelah menjadi korban hinaan di media sosial.
Kekerasan verbal yang terjadi secara online juga bersifat terus-menerus. Berbeda dengan kekerasan fisik yang biasanya terjadi pada waktu dan tempat tertentu, cyberbullying dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Korban tidak bisa lari dari hinaan atau ejekan yang mereka terima di media sosial, karena akses ke internet yang hampir tidak terbatas. Setiap saat mereka membuka ponsel, mereka bisa kembali dihadapkan pada komentar negatif atau pesan kebencian yang menghancurkan mental mereka.
Peran Media Sosial dalam Memicu Kekerasan Verbal di Sekolah
Media sosial bukanlah penyebab tunggal kekerasan verbal di sekolah, tetapi platform ini telah menjadi wadah yang sangat efektif bagi para pelaku kekerasan untuk melancarkan aksinya. Anonimitas yang diberikan oleh media sosial sering kali membuat pelaku merasa tidak perlu bertanggung jawab atas perkataan mereka. Mereka merasa aman karena tidak perlu bertatap muka langsung dengan korban, sehingga tidak ada risiko langsung yang harus mereka hadapi.