Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena baru dalam gaya hidup modern yang dikenal dengan istilah doom spending. Istilah ini mengacu pada perilaku belanja impulsif yang dilakukan tanpa banyak pertimbangan, sering kali didorong oleh rasa takut ketinggalan tren (fear of missing out atau FOMO) atau sebagai pelarian dari tekanan emosional. Perkembangan teknologi dan media sosial, di mana setiap orang bisa dengan mudah mengakses tren terbaru, telah memicu perilaku ini. Namun, di balik kegembiraan sesaat karena bisa membeli barang atau mengikuti tren terkini, tersembunyi ancaman jangka panjang yang serius, terutama bagi kondisi finansial.
Banyak orang, terutama generasi milenial dan Gen Z, merasa terjebak dalam arus tren yang datang dan pergi dengan cepat. Setiap hari, kamu mungkin dihadapkan pada deretan promosi produk baru, potongan harga menarik, hingga konten dari influencer yang memamerkan gaya hidup mereka. Sebagai bagian dari masyarakat yang dinamis, wajar jika kamu merasa ingin ikut serta dalam tren yang sedang berkembang. Akan tetapi, keputusan untuk terus membeli barang-barang yang sesungguhnya tidak terlalu dibutuhkan tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial adalah inti dari doom spending.
Mengapa Doom Spending Menjadi Fenomena?
Fenomena doom spending tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif ini, salah satunya adalah efek psikologis dari FOMO. Media sosial menjadi tempat utama di mana kamu bisa melihat tren baru yang sedang populer. Setiap unggahan, iklan, atau promosi bisa memicu keinginan impulsif untuk membeli produk yang mungkin sebenarnya tidak kamu butuhkan. Dalam konteks ini, media sosial berperan besar dalam memperkuat perasaan takut tertinggal dari perkembangan tren.
FOMO ini semakin diperparah dengan taktik pemasaran yang cerdas dari perusahaan. Mereka sering menggunakan strategi seperti penawaran terbatas, diskon kilat, atau produk edisi khusus yang membuat kamu merasa harus segera membeli sebelum kehabisan. Akibatnya, banyak orang yang terjebak dalam siklus belanja impulsif tanpa benar-benar memikirkan apakah produk tersebut penting atau tidak.
Selain itu, kondisi emosional juga bisa berperan besar dalam mendorong perilaku doom spending. Ketika kamu merasa stres, cemas, atau bosan, belanja sering kali dianggap sebagai solusi untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Consumer Psychology menyebutkan bahwa konsumen sering kali melakukan belanja sebagai bentuk self-reward atau penghargaan diri, meskipun konsekuensinya bisa membahayakan kondisi keuangan jangka panjang.
Dampak Negatif Doom Spending
Salah satu dampak paling nyata dari doom spending adalah kerusakan pada kondisi finansial pribadi. Ketika kamu terus menerus membeli barang-barang tanpa mempertimbangkan anggaran, pengeluaran akan membengkak. Bahkan, tanpa disadari, kamu mungkin mengorbankan kebutuhan dasar lainnya demi memenuhi keinginan sesaat. Misalnya, penggunaan kartu kredit untuk membayar barang-barang yang dibeli secara impulsif bisa menumpuk menjadi utang yang sulit dilunasi. Menurut survei dari Bank Indonesia, penggunaan kartu kredit yang tidak terkendali menjadi salah satu penyebab utama tingginya tingkat utang rumah tangga di Indonesia.
Selain dampak finansial, doom spending juga bisa mempengaruhi kondisi mental kamu. Meski belanja bisa memberikan kebahagiaan sementara, perasaan puas tersebut biasanya hanya bertahan sebentar. Setelah efek tersebut hilang, kamu mungkin merasa bersalah atau menyesal karena telah menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak begitu penting. Ini bisa menciptakan siklus negatif di mana kamu kembali melakukan belanja impulsif untuk mengatasi perasaan tersebut.
Tidak hanya itu, perilaku ini juga bisa memengaruhi hubungan sosial. Ketika seseorang terjebak dalam gaya hidup konsumtif, mereka mungkin merasa harus selalu menunjukkan citra yang sesuai dengan tren kepada teman-teman atau lingkungan sekitarnya. Padahal, tekanan untuk terus tampil sesuai dengan ekspektasi sosial ini hanya akan memperburuk situasi, terutama jika hal tersebut dilakukan dengan mengorbankan stabilitas keuangan.