Mohon tunggu...
Frangky Selamat
Frangky Selamat Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Gelar Sarjana Menjadi Penentu Karier

1 Agustus 2024   13:00 Diperbarui: 1 Agustus 2024   13:02 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Masih segar dalam ingatan ketika puluhan tahun yang lalu seorang teman bercerita tentang minatnya untuk melanjutkan studi ke sebuah politeknik terkemuka di kota Bandung. Alasannya sederhana saja, supaya memastikan bahwa setelah lulus cepat memperoleh pekerjaan. Kebetulan politeknik yang dimaksud menjalin kerja sama erat dengan kalangan industri sehingga lulusannya terjamin dapat diterima di perusahaan terkemuka.

Apa daya keinginan teman tersebut tidak jadi kenyataan karena orangtuanya menginginkan sang anak untuk melanjutkan studi ke jenjang sarjana. Orangtua tidak berkenan jika anaknya tidak memiliki gelar sarjana.

Berhubung beasiswa berasal dari orangtua, dia terpaksa menuruti kemauan orangtua. Kabar terakhir karena si teman ini cukup cerdas dan beruntung, dia tak kesulitan memperoleh pekerjaan yang bagus hingga menjadi salah satu pimpinan perusahaan besar.

Hari-hari ini cerita yang terdengar sudah usang sering kali terdengar, bahkan semakin nyaring. Kali ini sekelompok mahasiswa yang sebenarnya kurang memiliki kemampuan untuk menjadi sarjana tetapi "terpaksa" berkuliah di jalur yang tidak tepat.

Mungkin lebih sesuai jika masuk ke jenjang diploma atau politeknik yang tidak menawarkan gelar kesarjanaan. Akibatnya sang mahasiswa kesulitan mengikuti ritme perkuliahan dengan segenap proses pembelajaran yang mengedepankan kedalaman akademik.

Dosen pun dibuat pontang-panting karena menghadapi mahasiswa yang kemampuan akademiknya sulit memenuhi standar minimal yang ditetapkan. Gelar kesarjanaan tetap menjadi prioritas walaupun kemampuan mahasiswa tidak sepadan untuk memperolehnya.

Belum lagi mahasiswa yang berasal dari kelompok karyawan yang "memaksa diri" untuk berkuliah lagi demi memperoleh gelar sarjana. Ketika ditanya kenapa rela bersusah payah pulang kerja kemudian kuliah hingga larut malam, jawabannya terdengar sederhana: demi meningkatkan peluang karier.

"Di tempat saya untuk menjadi minimal kepala bagian harus sarjana S-1, walau sudah berpengalaman dan berprestasi bagus," tutur seorang mahasiswa karyawan sebuah perusahaan swasta. Dia mengakui karena sudah lelah bekerja, maka tidak optimal berkuliah. Cuma sisa-sisa tenaga untuk mendalami materi yang diberikan dosen. Baginya yang penting adalah lulus dan memperoleh gelar sarjana. Karena tanpa itu peluang karier seperti tertutup .

Syarat utama

Potongan cerita-cerita ini seolah menegaskan bahwa dari dulu hingga sekarang, gelar kesarjanaan menjadi hal mutlak bagi seseorang untuk membangun masa depan. Jika lulus sekolah menengah atas, melanjutkan studi ke jenjang sarjana. Seolah menutup peluang ke jenjang lain yang mungkin memiliki prospek lebih baik terutama untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

Sebagian besar kalangan perusahaan pun masih mensyaratkan jenjang S-1 sebagai syarat mutlak untuk menjadi karyawan, terutama yang diproyeksikan menjadi pimpinan. Bahkan untuk level tertentu, dipersyaratkan minimal jenjang S-2.  

Sebenarnya tidak ada yang salah jika karyawan berpendidikan sarjana. Itu bagus. Yang jadi masalah jika itu menjadi persyaratan utama dan menjadi "tiket masuk" satu-satunya. Padahal harus diakui bahwa gelar sarjana tidak menjamin sumber daya manusia yang berkualitas.

Karyawan yang bekerja "dipaksa" berkuliah lagi demi gelar sarjana, apa yang bisa diharapkan dari kualitas akademik yang diperoleh selain selembar ijazah. Memang, mungkin ada sejumlah mahasiswa karyawan yang brilian, tetapi mayoritas tidak begitu karena orientasi belajar yang sudah berbeda.

Respons perguruan tinggi

Bagi kalangan perguruan tinggi, pengakuan gelar sarjana yang masih menjadi hal utama tentu memberikan sejumlah "keuntungan" namun tak sedikit juga menghadapi kenyataan dilematis.

Bagi yang melihat ini sebagai peluang dan berpandangan pragmatis, maka dibukalah kelas karyawan, untuk mengakomodasi kalangan pekerja yang masih membutuhkan gelar sarjana. Tetapi dosen harus memberikan "perlakuan" khusus kepada mahasiswa kelompok ini.

Tidak bisa dengan mudahnya memberikan aturan yang sedemikian ketat seperti mahasiswa reguler yaitu mereka yang murni mahasiswa yang belum bekerja. Fleksibilitas diberikan yang pada akhirnya mengorbankan kualitas. Penjaminan mutu sarjana yang dihasilkan menjadi dipertanyakan.

Seorang dosen berujar begini, "Sudahlah kita tidak usah mempertanyakan kualitas, toh begitu dia lulus sarjana, dia sudah bekerja dan kariernya meningkat menjadi salah seorang pimpinan di perusahaan besar, nama perguruan tinggi kita akan terangkat juga karena membawa nama baik kita." Berarti ijazah sarjana cuma jadi tiket saja? Legalitas seseorang untuk menjadi pimpinan?

Sementara kisah "sedih" bagi sejumlah perguruan tinggi yang menghadapi kenyataan orientasi gelar kesarjanaan menjadi hal utama di masyarakat kita adalah program diploma yang sepi peminat yang berujung tutup atau maraknya program yang berkesan "menjual" ijazah kesarjanaan.

Sekadar memenuhi tuntutan normatif tetapi mendangkalkan sisi akademis kesarjanaan. Lagi-lagi seorang dosen menanggapi santai, "Sudahlah, kita butuh mahasiswa juga. Sedangkan ini besar permintaannya. Tanpa mahasiswa perguruan tinggi berat juga untuk menjalankan operasionalnya." Ya dosen ini berasal dari perguruan tinggi swasta yang menggantungkan sepenuhnya pemasukan dari uang kuliah mahasiswa.

Di tengah pandangan sempit tentang makna gelar kesarjanaan selain tuntutan normatif untuk berkarier di dunia usaha, semestinya lembaga pendidikan tinggi menjadi lokomotif untuk mencerahkan masyarakat mengenai pandangan yang makin menyesatkan ini. Bukan malah mengakomodasi dan memenuhi permintaan yang kadang makin tak masuk akal.

Pembiaran yang berlarut-larut akhirnya melahirkan praktik-praktik absurd dalam dunia pendidikan tinggi yang belakangan disorot sebuah media arus utama. Sampai kapan kenyataan ini terus berlanjut bagai sebuah simbol infiniti (tak terhingga) yang tiada akhir. Mudah-mudahan ini cuma mimpi buruk saja yang belum tentu terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun