Sebenarnya tidak ada yang salah jika karyawan berpendidikan sarjana. Itu bagus. Yang jadi masalah jika itu menjadi persyaratan utama dan menjadi "tiket masuk" satu-satunya. Padahal harus diakui bahwa gelar sarjana tidak menjamin sumber daya manusia yang berkualitas.
Karyawan yang bekerja "dipaksa" berkuliah lagi demi gelar sarjana, apa yang bisa diharapkan dari kualitas akademik yang diperoleh selain selembar ijazah. Memang, mungkin ada sejumlah mahasiswa karyawan yang brilian, tetapi mayoritas tidak begitu karena orientasi belajar yang sudah berbeda.
Respons perguruan tinggi
Bagi kalangan perguruan tinggi, pengakuan gelar sarjana yang masih menjadi hal utama tentu memberikan sejumlah "keuntungan" namun tak sedikit juga menghadapi kenyataan dilematis.
Bagi yang melihat ini sebagai peluang dan berpandangan pragmatis, maka dibukalah kelas karyawan, untuk mengakomodasi kalangan pekerja yang masih membutuhkan gelar sarjana. Tetapi dosen harus memberikan "perlakuan" khusus kepada mahasiswa kelompok ini.
Tidak bisa dengan mudahnya memberikan aturan yang sedemikian ketat seperti mahasiswa reguler yaitu mereka yang murni mahasiswa yang belum bekerja. Fleksibilitas diberikan yang pada akhirnya mengorbankan kualitas. Penjaminan mutu sarjana yang dihasilkan menjadi dipertanyakan.
Seorang dosen berujar begini, "Sudahlah kita tidak usah mempertanyakan kualitas, toh begitu dia lulus sarjana, dia sudah bekerja dan kariernya meningkat menjadi salah seorang pimpinan di perusahaan besar, nama perguruan tinggi kita akan terangkat juga karena membawa nama baik kita." Berarti ijazah sarjana cuma jadi tiket saja? Legalitas seseorang untuk menjadi pimpinan?
Sementara kisah "sedih" bagi sejumlah perguruan tinggi yang menghadapi kenyataan orientasi gelar kesarjanaan menjadi hal utama di masyarakat kita adalah program diploma yang sepi peminat yang berujung tutup atau maraknya program yang berkesan "menjual" ijazah kesarjanaan.
Sekadar memenuhi tuntutan normatif tetapi mendangkalkan sisi akademis kesarjanaan. Lagi-lagi seorang dosen menanggapi santai, "Sudahlah, kita butuh mahasiswa juga. Sedangkan ini besar permintaannya. Tanpa mahasiswa perguruan tinggi berat juga untuk menjalankan operasionalnya." Ya dosen ini berasal dari perguruan tinggi swasta yang menggantungkan sepenuhnya pemasukan dari uang kuliah mahasiswa.
Di tengah pandangan sempit tentang makna gelar kesarjanaan selain tuntutan normatif untuk berkarier di dunia usaha, semestinya lembaga pendidikan tinggi menjadi lokomotif untuk mencerahkan masyarakat mengenai pandangan yang makin menyesatkan ini. Bukan malah mengakomodasi dan memenuhi permintaan yang kadang makin tak masuk akal.
Pembiaran yang berlarut-larut akhirnya melahirkan praktik-praktik absurd dalam dunia pendidikan tinggi yang belakangan disorot sebuah media arus utama. Sampai kapan kenyataan ini terus berlanjut bagai sebuah simbol infiniti (tak terhingga) yang tiada akhir. Mudah-mudahan ini cuma mimpi buruk saja yang belum tentu terjadi.