Dalam menjalani kehidupan mengarungi zaman, manusia tidak terlepas dari suatu penganutan keyakinan yang terus berevolusi, yang kini lebih dikenal sebagai agama. Terlahir dan terwariskan dalam berbagai tradisi dan budaya menuju pencapaian rohaniah. Akan tetapi menjadi ironis dan miris, bilamana agama bagai pedang bermata dua. Di mana agama muncul dan terwartakan sebagai jalan keselamatan, diantaranya dalam berbagai ajaran kasih sayang, toleransi, dan kerja sama di antara umat manusia. Namun, di sisi lain mungkin agak aneh jika dikatakan bahwa agama sebagai jalan kelumatan yang bisa menjadi sumber bencana.
Sejarah menjadi kesaksian perabadan-perabadan besar bersandar pada inspirasi dari agama. Pada saat yang sama, sejarah dengan jelas menunjukkan bahwa agama seringkali dikaitkan secara langsung dengan contoh terburuk perilaku manusia. Kedengarannya usang, tetapi sayangnya benar jika dikatakan bahwa dalam sejarah umat manusia, perang, membunuh orang, dan kini semakin banyak lagi kejahatan lebih sering dilakukan atas nama kekuatan institusional lain. Lalu, pertanyaan-pertanyaan itu kembali menyeruak bersamaan dengan terus berjalannya era milenium baru. Apakah ini juga menjadi pijakan para oknum pada upaya segala cara demi mencapai tujuan?
 Sebelumnya diduga dari masa prasejarah pada keyakinan para nenek moyang Nusantara adalah animisme (pemujaan arwah leluhur) dan dinamisme (pemujaan benda-benda mistis). Adapun kita coba menapak tilas mulai dari kerajaan Kutai. Merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia yang tercatat dalam sejarah di perkirakan berdiri sekitar abad ke-4 M. Kehidupan masyrakatnya mendapat mendapat pengaruh dari agama Hindu. Hal ini di buktikan erat hubungan antara Raja Mulawarman dan para Bramana yang menjadi pemimpin dalam upacara ritual keagamaan, bersama-sama mensyukuri rahmat dalam menjalani roda pemerintahan. Maka, dibangunlah tempat suci bernama  wapakeswara untuk menghormati dewa-dewi dalam agama Hindu.
Dalam suatu masa yang diduga sebagai masa kejayaannya, disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan telah menghadiahkan sebanyak 20.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana. Di sinilah kiranya, karunia agama sebagai keselamatan pada kerajaan Kutai dalam tumbuh dan berkembang. Adapun tulisan dalam salah satu yupa/prasasti peninggalan Kerajaan Kutai, tersebut adalah sebagai berikut:
Sang Maharaja Kudungga, yang mempunyai putra yang masyhur, sang Aswawarman namanya, yang seperti Angsuman ( Dewi Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai tiga putra itu ialah sang Mulawarman, raja yang berperabadan baik, kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas amat banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.
Hal itu kemudian berubah drastis menjadi kelumatan, di mana saat Maharaja Dharma Setia menjadi raja terakhir Kerajaan Kutai. Ia terbunuh dalam peperangan melawan Aji Pangeran Anum Panji Mendapa dari Kesultanan Islam Kutai Kartanegara yang ingin memperluas kekuasaannya dalam pengaruh agama Islam. Sebagai catatan, bahwa yang didirikan oleh Raja Kudungga adalah kerajaan Kutai Martadipura. Sedangkan Kutai yang ke-2, beribukota di Kutai Lama (Tanjung Kute), adalah Kutai Kartanegara yang mengalahkan raja terakhir Kutai Martadipura. Kutai Kartanegara inilah pada tahun 1365 M yang disebutkan dalam sastra Jawa, Nagarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejarah tahun 1735 M, kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris), dan hingga sekarang disebut Kasultanan Kutai Kartanegara.
Sebagaimana keyakinan agama itu menjadi berbeda, maka para tokoh-tokoh yang menjalankan roda pemerintahan pun berbenturan dalam menjajaki visi-misi kerajaan. Maka, terlahirlah juga suatu wangsa dari pengaruh keagamaan ini seperti Wangsa Sanjaya(Hindu) dan Wangsa Syailendra (Budha). Kedua wangsa ini diduga kuat saling berperanan dalam pasang-surut Kerajaan Kalingga, Medang, dan Sriwijaya. Hingga akhirnya Kerajaan Sriwijaya keluar sebagai pengaruh yang paling kuat, mengantarkannya sebagai salah satu kerajaan terbesar di Nusantara.
Akan tetapi, keberadaan kedua wangsa ini dalam silsilah tiga kerajaan tersebut masih diragukan. Sejarawan seperti Poerbatjaraka dan Boechari percaya bahwa hanya ada satu wangsa, yaitu Syailendra, dan tidak pernah disebutkan Sanjayavamca (Wangsa Sanjaya) dalam prasasti apapun. Sanjaya dan keturunannya dianggap masih masuk dalam Wangsa Sailendra. Mungkin tidak lain, ikwal dari keberadaan dua wangsa ini untuk membedakan antara Wangsa Sanjaya sebagai wangsa yang menganut agama Hindu aliran Siwa dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Budha aliran Mahayana.Â
Agama sebagai kelumatan pun tidak terhindarkan dalam pasang-surut eksitensi Kerajaan Kalingga dan Medang sebagai bagian dari pengaruh agama Hindu dengan Kerajaan Sriwijaya sebagai bagian dari pengaruh agama Budha. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini pun saling membangun perngaruh mereka masing-masing dalam masih adanya beberapa pertalian darah keturunan atau keluarga yang sama pada keyakinan agama yang berbeda. Hingga akhirnya setelah ketiga kerajaan  tersebut runtuh, Airlangga yang merupakan keturunan dari Kerajaan Medang membangun kembali dengan mendirikan Kerajaan Kahuripan yang bercorak Hindu serta membangun kejayaan sebagai Wangsa Isyana.
Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Syailendra, asli Nusantara yang menganut agama Hindu aliran Siwa. Namun, sejak Panangkaran berpindah agama menjadi penganut Budha Mahayana, raja-raja di Mataram menjadi penganut agama Budha Mahayana juga. Pendapatnya ini didasarkan pada Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa Rakai Sanjaya menyuruh anaknya, Rakai Panangkaran untuk berpindah agama, karena agama yang dianutnya (aliran Siwa) ditakuti oleh semua orang. Kabar mengenai Rakai Panangkaran yang berpindah agama dari aliran Hindu Siwa menjadi Budha Mahayana juga sesuai dengan isi prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).
Terlepas dari semua itu, agama sebagai keselamatan masih ada dalam sejarah tiga kerajaan ini. Yang paling besar pengaruhnya adalah Kerajaan Sriwijaya dalam peninggalan berbagai literasi maupun pembangunan infrastruktur. Dalam literasi sendiri, bahasa merupakan warisan Kerajaan Sriwijaya. Yang kemudian berkembang menjadi bahasa penghubung dalam perdagangan di kawasan Nusantara, kemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya bahasa rumpun Melayu. Di mana kini bahasa kuno itu termodernisasi dalam bahasa nasional Malaysia dan Indonesia.Â
Dengan munculnya bahasa Nusantara baru itu, berbagai inspirasi seni-budaya dan agama pun meningkat deras seperti penciptaan lagu dan tarian tradisional "Gending Sriwijaya" serta  bagi masyarakat Thailand selatan ada tarian "Sevichai" yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Kerajaan Sriwijaya. Dalam pengalamannya tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya, I Tsing menerangkan bahwa pendeta-pendeta Cina datang ke Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan menyalin kitab-kitab agama Budha. Guru yang sangat tersohor pada zaman itu adalah Sakyakitri, yang mengarang kitab Hastadandasastra. Keterangan I Tsing ini membuktikan bahwa Sriwijaya merupakan pusat perkembangan agama Budha. Hal ini juga dibuktikan pula oleh seorang pendeta dari Tibet yang bernama Attisa. Pendeta Attisa belajar agama Budha kepada seorang guru masyhur di Sriwijaya yang bernama Darmakitri.
Infrastruktur pun tak kalah pesat dalam meninggalkan jejak keagamaan Sriwijaya di Nusantara dan mancanegara. Candi Kalasan dan Candi Borobudur adalah beberapa hasil dari perabadan Wangsa Syailendra yang bercorak Budha, dan hingga kini pun Candi Borobudur masih sering digunakan sebagai pusat ritual keagamaan Budha. Sedangkan dari Wangsa Sanjaya sendiri ada candi Plaosan, candi Prambanan dan beberapa candi bercorak Hindu yang tersebar di Nusantara. Bahkan selain sebagai untuk ritual keagamaan, candi-candi itu juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Seperti yang ada di Candi Prambanan yang pada waktu tertentu mengadakan pagelaran seni budaya wayang Ramayana bercorak keagamaan Hindu, serta berbagai pagelaran seni budaya lainnya.
Dalam sejarah Kerajaan Singasari dan Kerajaan Kediri pun tidak terlepas dari kemelut agama. Pada tahun 1222 M, raja terakhir Kediri yang bernama Kertajaya, mengalami pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana menganggap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa menyembahnya sebagai dewa. Kemudian, kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, Akuwu Tumapel. Maka kerusakan agama terpolitisasi ini pun menimbulkan peperangan tak terelakkan antara Kerajaan Kediri dan daerah bawahannya, Tumapel.Â
Dengan kemenangan Ken Arok mengalahkan Kertajaya pun menandai berakhirnya masa kejayaan Kerajaan Kediri berganti menjadi kerajaan Singasari. Padahal sebelumnya, Kerajaan Kediri sebagai kerajaan yang membangkitkan kembali perabadan agama Hindu yang sempat terkikis oleh keberadaan Sriwijaya. Dari Kerajaan Kediri pula, lahirlah berbagai pujangga keagamaan seperti Empu Sedah dan Empu Panuluh dengan "Kakawin Bharatayudha". Â Raja-rajanya pun terkenal taat beragama dan berbudaya, dengan Jayabaya sebagai raja Kediri yang paling tersohor. Kediri mencapai masa kejayaan dalam pemerintahannya. Dukungan spiritual keagamaan dan material dari Prabu Jayabaya serta hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung-tanggung. Terciptalah kitab "Jongko Joyoboyo", yang merupakan kumpulan ramalan-ramalan Prabu Jayabaya yang termasyhur hingga saat ini.
Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15 M, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di Semenanjung Malaka. Kekuasaan Majapahit pun semakin hancur dengan pemberontakan-pemberontakan bercorak Islami, salah satunya adalah Kerajaan Demak, di mana penguasanya masih keturunan trah Majapahit dari Kertabhumi. Bahkan konon kabarnya, Radeh Patah sebagai penguasa Demak itu pun memburu dan memaksa ayahnya (Raja Majapahit Brawijaya V) dan memperlakukannya seperti seorang buronan, karena Prabu Brawijaya tidak mau masuk Islam.
Dengan derasnya penyebaran agama Islam di Nusantara pada abad pertengahan ini pun, secara dramatis mengubah tatanan berbagai aspek kehidupan masyrakatnya seperti sosial, politik,seni-budaya yang bercorak Hindu-Budha digempur pembaharuan bernuansakan nafas Islam. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan Bali. Pada akhirnya, Nusantara pun bergumul sebagai masyarakat yang terkombinasi dari berbagai pengaruh spiritual dari berbagai penjuru penyebaran keagamaan. Dengan lokasi Nusantara sebagai penghubung jalur perdagangan antar bangsa dan benua inilah, beragam kemungkinan baru yang selalu mengejutkan. Terdampak pula hal ini, di mana agama, sebagai keselamatan atau kelumatan yang dahsyat seketika mengubah tatanan-tatanan kerajaan di Indonesia. Hal lain lagi juga terdampak dari kedatangan bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, hingga Belanda. Dengan penjelajahan mereka di dunia dalam konsep 3G (Glory, Gospel, dan Gold), yang di mana "Gospel" sebagai salah satu inspirasi mereka sampai ke Nusantara untuk menyebarkan Injil dari agama Kristen. Keberagaman agama di Nusantara pun semakin bertambah dan beragam.
Dari semua pengalaman itu, dengan berkembangnya agama masyarakat Indonesia menjadi spiritual-multikulural yang telah bercampur-baur dalam tatanan adat-istiadat daerah terlihat dalam sumpah pemuda tahun 1928. Di mana semua itu terkumpul berbagai agama atau kepercayaan Nusantara yang sudah berevolusi dari zaman nenek moyang hingga pada perabadan agama saat itu mereka berkumpul. Maka dalam hasrat membangun kemerdekaan sebagai negara yang bersatu dan berdaulat, para anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pun berhati-hati dalam menyusun kerangka demi kerangka ideologi dasar untuk menjadi negara Indonesia yang universal. Terlahirlah kemudian suatu ideologi pemersatu yang bernama "Pancasila", dan juga semboyan "Binneka Tunggal Ika". Namun penyatuan berbagai keyakinan umat beragama ini dalam berbangsa dan bernegara masih terus mendapat godaan dan cobaannya.
Semenjak masa perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949 M), persatuan kembali Nusantara yang baru seumur jagung pun di hadang pemberontakan bernuansakan faham ideologi lain dan agama yang cenderung monoteis dan radikal. Hal ini juga tidak lepas dari kepentingan politik taktis di belakangnya dalam membawa agama sebagai alat untuk menghalalkan segala cara. Mulai dari pemberontak PKI, pemberontak DI/TII, GAM, Gafatar hingga gerakan 212 dan sebagainya, menjadi fakta yang jelas di mana agama menjadi pedang bermata dua. Memasuki era milenium baru ini, hal-hal radikal dan in-toleransi bernafaskan agama pun semakin meledak-ledak kembali fanatisme penganutnya.Â
Menelusup dalam berbagai unsur dan bidang, yang selalu saja ada masalah itu berangkat dari fanatisme agama memainkan peranan dalam setiap peristiwa. Karena setidaknya, agama pun tidak bisa menjadi suatu kebenaran "mutlak", yang justru hanya berada pada kematian umat manusia itu sendiri. Semuanya hanya akan lebih mudah menjadi "kritis" daripada "benar". Maka tidak diragukan lagi, ideologi dan komitmen keagamaan menjadi faktor sentral dalam eskalasi kekerasan dan kejahatan yang bukan hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia.
Tantangan di hadapan kita sangat besar dan benar-benar serius. Akan tetapi, tantangan-tantangan itu tidak menjadi boleh menjadi kendala yang tidak teratasi. Kemampuan untuk melawan kejahatan ada pada diri individu dan pada bentukan kelompok keagamaan. Tanggung jawab manusia, bagi orang-orang yang menjadi anggota umat beragama dan bagi mereka yang tidak memiliki afiliasi keagamaan yang merupakan suatu komponen vital dalam setiap upaya pencegahan dan sikap destruktif. Kalaupun tidak ada jawaban yang mudah atau solusi yang sederhana, tetap ada alasan-alasan untuk berharap.Â
Meskipun agama sering menjadi bagian penting dari suatu masalah. Jika agama memang sebagai sumber keselamatan, mungkinkah kita memasuki era ketika sumber-sumber tradisi agama yang tak ternilai akan dengan sendirinya membangun masa depan yang penuh harapan dan lebih sehat bagi semua orang yang hidup di planet rapuh ini?
NB: ini hanyalah sekedar berbagi opini, dalam segala keterbatasan saya berliterasi. Semoga dapat diterima semua hati tanpa suatu unsur menjadi-jadi...salam hangat.
Sumber referensi:
- Adi Sudirman. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia. Yogyakarta: DIVA Press
- Charles Kimball. 2013. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: Mizan Publika
Frankincense (Purwokerto, 8 November 2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H