Mohon tunggu...
Frankincense
Frankincense Mohon Tunggu... Administrasi - flame of intuition

bukan pujangga yang pandai merangkai kata, hanya ingin menumpahkan inspirasi dengan literasi menguntai pena. Kata dapat memburu-buru kita untuk menyampaikan perasaan dan sensasi yang sebenarnya belum kita rasakan. Tetapi, kata juga bisa menggerakkan kita. Terkadang, kita tidak mengakui kebenaran sebelum mengucapkannya keras-keras. Salam hangat Kompasianers... Blog: franshare.blogspot.com Web: frame.simplesite.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agama, antara Keselamatan dan Kelumatan

8 November 2017   19:07 Diperbarui: 7 Januari 2018   11:23 1521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlepas dari semua itu, agama sebagai keselamatan masih ada dalam sejarah tiga kerajaan ini. Yang paling besar pengaruhnya adalah Kerajaan Sriwijaya dalam peninggalan berbagai literasi maupun pembangunan infrastruktur. Dalam literasi sendiri, bahasa merupakan warisan Kerajaan Sriwijaya. Yang kemudian berkembang menjadi bahasa penghubung dalam perdagangan di kawasan Nusantara, kemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya bahasa rumpun Melayu. Di mana kini bahasa kuno itu termodernisasi dalam bahasa nasional Malaysia dan Indonesia. 

Dengan munculnya bahasa Nusantara baru itu, berbagai inspirasi seni-budaya dan agama pun meningkat deras seperti penciptaan lagu dan tarian tradisional "Gending Sriwijaya" serta  bagi masyarakat Thailand selatan ada tarian "Sevichai" yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Kerajaan Sriwijaya. Dalam pengalamannya tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya, I Tsing menerangkan bahwa pendeta-pendeta Cina datang ke Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan menyalin kitab-kitab agama Budha. Guru yang sangat tersohor pada zaman itu adalah Sakyakitri, yang mengarang kitab Hastadandasastra. Keterangan I Tsing ini membuktikan bahwa Sriwijaya merupakan pusat perkembangan agama Budha. Hal ini juga dibuktikan pula oleh seorang pendeta dari Tibet yang bernama Attisa. Pendeta Attisa belajar agama Budha kepada seorang guru masyhur di Sriwijaya yang bernama Darmakitri.

Infrastruktur pun tak kalah pesat dalam meninggalkan jejak keagamaan Sriwijaya di Nusantara dan mancanegara. Candi Kalasan dan Candi Borobudur adalah beberapa hasil dari perabadan Wangsa Syailendra yang bercorak Budha, dan hingga kini pun Candi Borobudur masih sering digunakan sebagai pusat ritual keagamaan Budha. Sedangkan dari Wangsa Sanjaya sendiri ada candi Plaosan, candi Prambanan dan beberapa candi bercorak Hindu yang tersebar di Nusantara. Bahkan selain sebagai untuk ritual keagamaan, candi-candi itu juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Seperti yang ada di Candi Prambanan yang pada waktu tertentu mengadakan pagelaran seni budaya wayang Ramayana bercorak keagamaan Hindu, serta berbagai pagelaran seni budaya lainnya.

Dalam sejarah Kerajaan Singasari dan Kerajaan Kediri pun tidak terlepas dari kemelut agama. Pada tahun 1222 M, raja terakhir Kediri yang bernama Kertajaya, mengalami pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana menganggap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa menyembahnya sebagai dewa. Kemudian, kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, Akuwu Tumapel. Maka kerusakan agama terpolitisasi ini pun menimbulkan peperangan tak terelakkan antara Kerajaan Kediri dan daerah bawahannya, Tumapel. 

Dengan kemenangan Ken Arok mengalahkan Kertajaya pun menandai berakhirnya masa kejayaan Kerajaan Kediri berganti menjadi kerajaan Singasari. Padahal sebelumnya, Kerajaan Kediri sebagai kerajaan yang membangkitkan kembali perabadan agama Hindu yang sempat terkikis oleh keberadaan Sriwijaya. Dari Kerajaan Kediri pula, lahirlah berbagai pujangga keagamaan seperti Empu Sedah dan Empu Panuluh dengan "Kakawin Bharatayudha".  Raja-rajanya pun terkenal taat beragama dan berbudaya, dengan Jayabaya sebagai raja Kediri yang paling tersohor. Kediri mencapai masa kejayaan dalam pemerintahannya. Dukungan spiritual keagamaan dan material dari Prabu Jayabaya serta hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung-tanggung. Terciptalah kitab "Jongko Joyoboyo", yang merupakan kumpulan ramalan-ramalan Prabu Jayabaya yang termasyhur hingga saat ini.

frankincense69.wordpress.com
frankincense69.wordpress.com
Seiring berjalannya waktu, perkembangan rohani dan spiritual melintasi zaman dalam wadah agama pun terus bergesekkan. Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan terbesar dan termasyhur di Nusantara ini pun tidak terhindarkan dari imbasnya agama-agama baru bermunculan dan berdatangan silih berganti di Nusantara dari masa ke masa. Ketika Majapahit yang bercorak Hindu didirikan, pedagang muslim dan para penyebar agama Islam sudah mulai memasuki Nusantara. 

Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15 M, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di Semenanjung Malaka. Kekuasaan Majapahit pun semakin hancur dengan pemberontakan-pemberontakan bercorak Islami, salah satunya adalah Kerajaan Demak, di mana penguasanya masih keturunan trah Majapahit dari Kertabhumi. Bahkan konon kabarnya, Radeh Patah sebagai penguasa Demak itu pun memburu dan memaksa ayahnya (Raja Majapahit Brawijaya V) dan memperlakukannya seperti seorang buronan, karena Prabu Brawijaya tidak mau masuk Islam.

Dengan derasnya penyebaran agama Islam di Nusantara pada abad pertengahan ini pun, secara dramatis mengubah tatanan berbagai aspek kehidupan masyrakatnya seperti sosial, politik,seni-budaya yang bercorak Hindu-Budha digempur pembaharuan bernuansakan nafas Islam. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan Bali. Pada akhirnya, Nusantara pun bergumul sebagai masyarakat yang terkombinasi dari berbagai pengaruh spiritual dari berbagai penjuru penyebaran keagamaan. Dengan lokasi Nusantara sebagai penghubung jalur perdagangan antar bangsa dan benua inilah, beragam kemungkinan baru yang selalu mengejutkan. Terdampak pula hal ini, di mana agama, sebagai keselamatan atau kelumatan yang dahsyat seketika mengubah tatanan-tatanan kerajaan di Indonesia. Hal lain lagi juga terdampak dari kedatangan bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, hingga Belanda. Dengan penjelajahan mereka di dunia dalam konsep 3G (Glory, Gospel, dan Gold), yang di mana "Gospel" sebagai salah satu inspirasi mereka sampai ke Nusantara untuk menyebarkan Injil dari agama Kristen. Keberagaman agama di Nusantara pun semakin bertambah dan beragam.

Dari semua pengalaman itu, dengan berkembangnya agama masyarakat Indonesia menjadi spiritual-multikulural yang telah bercampur-baur dalam tatanan adat-istiadat daerah terlihat dalam sumpah pemuda tahun 1928. Di mana semua itu terkumpul berbagai agama atau kepercayaan Nusantara yang sudah berevolusi dari zaman nenek moyang hingga pada perabadan agama saat itu mereka berkumpul. Maka dalam hasrat membangun kemerdekaan sebagai negara yang bersatu dan berdaulat, para anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pun berhati-hati dalam menyusun kerangka demi kerangka ideologi dasar untuk menjadi negara Indonesia yang universal. Terlahirlah kemudian suatu ideologi pemersatu yang bernama "Pancasila", dan juga semboyan "Binneka Tunggal Ika". Namun penyatuan berbagai keyakinan umat beragama ini dalam berbangsa dan bernegara masih terus mendapat godaan dan cobaannya.

Semenjak masa perang mempertahankan kemerdekaan (1945-1949 M), persatuan kembali Nusantara yang baru seumur jagung pun di hadang pemberontakan bernuansakan faham ideologi lain dan agama yang cenderung monoteis dan radikal. Hal ini juga tidak lepas dari kepentingan politik taktis di belakangnya dalam membawa agama sebagai alat untuk menghalalkan segala cara. Mulai dari pemberontak PKI, pemberontak DI/TII, GAM, Gafatar hingga gerakan 212 dan sebagainya, menjadi fakta yang jelas di mana agama menjadi pedang bermata dua. Memasuki era milenium baru ini, hal-hal radikal dan in-toleransi bernafaskan agama pun semakin meledak-ledak kembali fanatisme penganutnya. 

Menelusup dalam berbagai unsur dan bidang, yang selalu saja ada masalah itu berangkat dari fanatisme agama memainkan peranan dalam setiap peristiwa. Karena setidaknya, agama pun tidak bisa menjadi suatu kebenaran "mutlak", yang justru hanya berada pada kematian umat manusia itu sendiri. Semuanya hanya akan lebih mudah menjadi "kritis" daripada "benar". Maka tidak diragukan lagi, ideologi dan komitmen keagamaan menjadi faktor sentral dalam eskalasi kekerasan dan kejahatan yang bukan hanya di Indonesia saja, tapi di seluruh dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun