Mohon tunggu...
Franky Simanjuntak
Franky Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Love architecture and photography\r\n\r\nfrankiecavatina.wix.com/cavatinastudio

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dhani, Queen, dan Trauma

27 Juni 2014   22:21 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:34 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah videoklip yang dibuat oleh Ahmad Dhani beserta ketiga finalis Indonesian Idol 2014, berupa hasil gubahan dari lagu milik Queen “We Will Rock You”. Pada awalnya video tersebut memang begitu menggebrak dan menambah daya gedor kampanye kreatif dukungan terhadap Capres Prabowo-Hatta. Gegap gempita tempo lagu legendaris tesebut begitu menghentak. Dengan insting musiknya yang telah terasah selama bertahun-tahun, tentu Dhani tidak sembarangan memilih lagu itu sebagai jingle kampanye. Dia memilih lagu tersebut karena melihat potensinya yang besar untuk menjaring suara kawula muda dan menambah dukungan buat capres pilihannya.

Terlebih lagi dengan kehadiran ketiga finalis Indonesian Idol Nowela, Husein, dan Virzha yang sebelumnya sukses membius para pemirsa Indonesia lewat ajang Indonesian Idol 2014, tentu niatnya semakin besar untuk diraih. Sang capres, Prabowo Subianto, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada keempatnya melalui page Facebook resminya karena dengan video dukungan tersebut semangat juang tim kampanye semakin bertambah.

https://www.facebook.com/photo.php?v=10152115738596179

Tetapi ternyata, masa manis itu hanya bertahan selama beberapa hari. Sekilas memang tidak ada masalah dengan video tersebut. Bahkan saya sempat menonton videoklip tersebut berkali-kali di kanal YouTube karena memang sangat menggemari Virzha, the real rockstar, yang berhasil mengambil hati saya dengan gaya old school 90’s-nya saat menyanyikan lagu Mr. Big Wild World dan lagu Gotye Somebody I Used To Know.

Rupanya kehebohan itu pun dimulai setelah munculnya sebuah artikel di suatu portal berita Der Spiegel Online, Jerman yang berjudul Indonesien: Wahlkampf in Himmlers SS-Uniform. Disusul kemudian tweet dari akun twitter @DanielZiv, seorang sutradara yang tinggal di Bali, yang mendapat respon dari akun twitter @DrBryanMay yang terverifikasi. Artinya: Bryan May, sang legenda gitaris Queen itu sendiri yang membalasnya.

Yes “@ShafiqPontoh: “@DanielZiv: Ahmad Dhani skinhead imagery youtu.be/tpbqIuY8nVo ” of course this is completely unauthorised by us. Bri

Bagi yang menggemari Dhani dan band Dewa-nya, serta karyanya selama ini, pasti mahfum betapa  terobsesi dirinya dengan band legendaris Queen, Freddie Mercury sang vokalis,  dan seabrek karya mereka yang sangat melegenda itu. Menurut saya, sebagian besar warna musik Dewa di era vokalis Once mengadopsi rock opera ala Queen. Lagu yang paling mirip menurut saya adalah part choir di lagu Roman Picisan dengan choir di bagian tengah lagu Bohemian 'Galileo' Rhapsody, lagu sejuta umat itu.

Suatu kenyataan bahwa sang idola mengomentari dirinya lewat Twitter, tentu seharusnya membuat Dhani bangga. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, kesan negatif yang tergambar dari komentar Bryan May tersebut. May mengkonfirmasi bahwa usaha Dhani dkk menggubah lagunya tersebut sama sekali tanpa izin dari dirinya.

Namun mengapa legenda musik sekelas Bryan May mau menanggapi tweet dari seorang yang mungkin tidak terlalu penting baginya? Menurut saya, di era media sosial dan berbagi video di kanal YouTube ini: membuat cover lagu, menggubah lagu, bahkan mengubah lirik sebuah lagu tanpa izin sang pemilik hak cipta lagu adalah hal yang lumrah  dilakukan banyak orang. Bahkan sebaliknya, bisa saja sang pemilik hak cipta akan berterimakasih kepada pihak yang meng-cover lagu lawas miliknya. Karena apa? Karena kepopuleran sang pemilik hak cipta yang sempat meredup akan terdongkrak kembali karena lagunya kembali ramai diperdengarkan.

Tapi bukan itu masalahnya. Sang legenda merasa perlu untuk menekankan bahwa Ahmad Dhani dengan tampilan skinhead-nya sama sekali tidak mendapatkan izin menggubah lagu tersebut. Anggun C. Sasmi, Sarah Sechan, Glenn Fredly, kritikus musik Bens Leo bersahut-sahutan mengecam tindakan Dhani yang telah melewati batas. Media internasional sekelas TIME, Times of Israel, dan BBC Indonesia juga tak ketinggalan membahas Ahmad Dhani dan video kreatifnya tersebut. Ahmad Dhani mendunia seketika!

This Indonesian Nazi Video Is One of the Worst Pieces of Political Campaigning EverIndonesian political video raises eyebrows with Nazi iconographySejarawan kritisi 'kostum Nazi' Dhani

Apa pasalnya? [caption id="attachment_313015" align="alignright" width="390" caption="Dhani - Himmler - May"]

1403868007594712396Dhani - Himmler - May
1403868007594712396Dhani - Himmler - May
[/caption]

Ternyata dalam video tersebut Ahmad Dhani bernyanyi dengan percaya diri sambil menggunakan seragam NAZI ala Heinrich Himmler, lengkap dengan lambang dan emblem merahnya. Saya percaya dengan seketika May kaget dan perlu untuk menekankan bahwa ia sama sekali tidak berkontribusi atas video gubahan tersebut. May tentu tidak mau lagu Queen direndahkan lewat kampanye politik praktis dan berpotensi diidentikkan sebagai bagian dari kepemimpinan Fasisme ala NAZI.

Perlu kita ketahui, NAZI dan segala atributnya adalah hal yang sangat TABU di Jerman dan Eropa. NAZI dibawah pimpinan Adolf Hitler dan orang kepercayaannya sang komandan SS, Heinrich Himmler, dianggap sebagai pelanggar HAM terbesar dan pihak yang paling bertanggungjawab atas pembantaian sekitar 11 juta rakyat Yahudi [1 juta di antaranya adalah anak-anak], di berbagai kamp konsentrasi di Eropa yang sering disebut sebagai peristiwa Holocaust. Suatu peristiwa sejarah di tahun 1941-1945 yang membawa trauma cukup mendalam bagi warga Jerman khususnya.

Sebagai gambaran, peristiwa Holocaust ini hampir mirip efek tabunya dengan peristiwa G30S/PKI di Indonesia. Banyak pihak di Indonesia yang menahan diri untuk tidak membangkitkan kembali trauma atas pembantaian sejumlah jenderal TNI oleh Partai Komunis Indonesia [PKI]. Sebagai pembalasan,  di tahun 1965-1966 [transisi ke jaman Orde Baru] pembantaian 500,000 - 2,000,000 orang yang diduga sebagai kader PKI dilakukan. Sutradara film dokumenter The Act of Killings/Jagal, Joshua Oppenheimer -yang secara lugas mempertontonkan kisah pembantaian tersebut melalui sudut pandang sang jagal- , memancing amarah sejumlah pihak sehingga dirinya merasa akan terancam jika kembali ke Indonesia.

Act of Killing director says he can't go back to Indonesia

Untuk mengubur dalam-dalam trauma akan peristiwa Holocaust serta mencegah kebangkitan Neo-Nazi, Pemerintah Jerman secara resmi telah menerbitkan Strafgesetzbuch (Criminal Code) section 86a yang melarang penyebaran atau penggunaan simbol seperti bendera, seragam, slogan, dan salam yang berbau NAZI. Menurut section 86a tersebut, seandainya Dhani menyebarkan video gubahan dengan seragam ala Himmler tersebut di Jerman, ia berpotensi dikenakan hukuman penjara selama 3 tahun atau membayar denda dengan sejumlah uang.

Untungnya, Dhani bukan warga Jerman!

Namun, sekalipun dirinya dikecam media internasional dan rekan sesama artis, dirinya tetap teguh. Ia berkilah seragam itu hanya tren fashion, tidak ada yang salah dengan itu. Fadli Zon, Waketum Partai Gerindra,  juga ikut membela Dhani. "Indonesia tak ada hubungan dengan NAZI, yg ada dg komunis. Nah 'Revolusi Mental' punya akar kuat tradisi paham komunis," cuitnya. Tipikal Zon belakangan ini, sekalipun membela tetap kekeuh menyerang orang lain. Seorang antropolog UI, Bachtiar Alam PhD, kemudian membantahnya.

Bela Ahmad Dhani, Fadli Zon Sebut Revolusi Mental Dekat ke KomunisAntropolog UI: Revolusi Mental Konsep Mahatma Gandhi, Bukan Komunis

Namun pada kenyataannya, videoklip "Prabowo-Hatta: We Will Rock You" tersebut sudah ditarik dari kanal YouTube dengan pesan sebagai berikut:

"PRABOWO-HATTA "WE WILL ROCK..." This video is no longer available due to a copyright claim by EMI Music Publishing. Sorry about that.

 

********************************

Imajinasi saya kemudian membawa saya di suatu ketika sewaktu Dhani sedang memilih properti untuk membuat videoklip "We Will Rock You" yang heboh itu. Sewaktu ia akan mengenakan seragam khas SS Himmler itu, saya segera menarik tangannya dan mengajaknya ke suatu tempat. Tak lupa kami mengajak Fadli Zon yang tak lama kemudian tiba dengan helikopter pinjaman dari Prabowo Subianto. Bertiga kami menaikinya dan terbang menuju ke suatu destinasi yang cukup misterius: Jewish Museum di Berlin.

Museum peringatan akan Holocaust itu terkenal dengan sebutan The Blitz karena bentuk dekonstruksinya yang menyerupai sambaran kilat, jika dilihat dari Google Maps. Melalui bangunan masterpiece-nya itu, sang arsitek, Daniel Libeskind -berkebangsaan Amerika-Polandia dan berdarah Yahudi- berpuisi tentang penderitaan bangsa Yahudi selama masa pembantaian kejam yang dilakukan oleh NAZI, secara tersirat melalui denah, gubahan massa, elemen arsitektur, dan pencahayaan.

Tibalah kami di Jewish Museum, Berlin itu. Ternyata museum itu terdiri dari dua bangunan yang berbeda style arsitekturnya. Bangunan lama bergaya Baroque dan bangunan baru di sampingnya bergaya Dekonstruksi karya Libeskind itu. Sangat kontras sekali. Seolah menggambarkan bahwa pernah terjadi suatu kejadian maha dahsyat di antaranya.

[caption id="" align="aligncenter" width="649" caption="Jewish Museum Berlin Aerial"]

[/caption]

The Blitz terlihat begitu dingin dan kelam dengan pantulan sinar matahari di badannya yang tertutup oleh lapisan zinc abu-abu. Coakan berupa bukaan memanjang tak beraturan menambah kesan compang-camping seolah telah tercabik-cabik oleh sesuatu.

[caption id="" align="alignright" width="360" caption="The Opening"]

[/caption] Libeskind, yang ternyata juga seorang musisi, memenangkan sayembara disain terbuka  yang diselenggarakan oleh pemerintah Jerman pada tahun 1989 itu. Ia mengajukan proposal karyanya  yang berjudul Between The Lines, mengalahkan 164 proposal disain lainnya.

Ia menuliskannya di lembaran partitur not balok karena ia terinspirasi dengan karya opera Arnold Schoenberg yang belum selesai, Moses und Aron. Kemudian karya Walter Benjamin One Way Street's yang menginspirasi bentuk denah zigzag museum tersebut. Dhani semakin tertarik untuk masuk ke dalam museum itu karena ia begitu menggilai rock opera ala Queen.

Bertiga kami mencari pintu masuk di The Blitz. Tidak ada sama sekali! Ternyata pintu masuknya hanya melalui gedung Baroque lama.

Di dalamnya kami menemukan sebuah entrance besar dengan dinding beton tinggi bersudut tajam mengarah ke rangkaian tangga dan selasar panjang yang gelap sekali. Kami mengira kami akan naik ke atas. Ternyata kami diarahkan ke lantai basement. Sambil menapaki anak tangga, kami menatap ke atas, seketika itu kami merasa berada di dalam sumur beton yang dalam yang gelap. Dinding gelap itu begitu tinggi. Seketika itu pula bulu kuduk kami merinding.

Ternyata kami sedang menuju ke persimpangan tiga axis/sumbu, yang menyimbolkan hubungan antara tiga kenyataan dalam kehidupan bangsa Yahudi di Jerman: Axis of Continuity, Axis of Emigration, Axis of the Holocaust. Ketiga sumbu itu menggambarkan keberlangsungan hidup bangsa Yahudi dalam sejarah Jerman, emigrasi dari Jerman, dan pembantaian Holocaust itu sendiri.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Axis"]

[/caption]

Semua bagian museum itu kami jelajahi. The Garden of Exile tak lupa disinggahi. Kumpulan tiang beton besar dengan pepohonan oak Rusia di atasnya. Sulit bagi kami untuk berdiri dengan tegak karena lantainya sengaja dibuat miring 12°. Itu adalah gambaran instabilitas dan disorientasi bangsa Yahudi saat dalam pelarian menghindari kejaran tentara NAZI. Namun pepohonan di atasnya menggambarkan bahwa harapan itu tetap nyata, menaungi mereka sekalipun dalam pelarian.

[caption id="" align="aligncenter" width="657" caption="The Garden of Exile"]

[/caption] Dan akhirnya, tibalah kami di suatu ruangan yang disebut The Void of Memory. Disinilah sensasi puncak penderitaan bangsa Yahudi itu benar-benar kami rasakan. Terutama Dhani, karena darah Yahudi mengalir di dalam tubuhnya melalui kakeknya yang bernama Jan Pieter Friederich Kohler. [caption id="" align="alignright" width="293" caption="The Void of Memory"]
The Void of Memory
The Void of Memory
[/caption] Di depan kami berdiri dua tembok gelap yang sangat tinggi dengan semburat cahaya temaram masuk melalui skylight di atasnya. Di antara kedua dinding terlihat  instalasi lempengan metal karya seorang seniman Israel, Menashe Kadishman, yang berserakan dan bertumpukan di lantai. Lempengan itu berbentuk menyerupai emoticon wajah manusia dengan ekspresi mulut terbuka seperti sedang berteriak menahan penderitaan yang sangat luar biasa. Di ujung sana, terlihat suatu ruang yang sangat gelap seperti sedang menanti jiwa-jiwa yang lepas dari raga.

Sendirian aku berjalan secara perlahan menapaki lempengan metal itu. Suara dentingan antar lempeng terdengar begitu keras. Kesunyian dan kekosongan tiba-tiba pecah oleh dentingan metal bagaikan menusuk jiwa yang perih. Kupalingkan kepalaku dan menatap ke arah Dhani dan Zon. Mata mereka tertutup seolah merasakan teriakan orang-orang Yahudi yang ditumpukkan di dalam suatu ruangan tertutup yang menyeramkan dan kemudian meninggal akibat gas beracun yang dimasukkan oleh tentara dan dokter Nazi. Aku semakin bergidik. Kurasakan bulu kudukku merinding dan jantungku berdegup kencang. Aku yakin Dhani dan Zon juga merasakan sensasi yang sama.

Kuteruskan langkah kakiku dan suara dentingan metal itu semakin keras bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, Dhani dan Zon membuka mata mereka. Mereka melihatku perlahan-lahan mulai menghilang ditelan kegelapan di ujung ruangan itu. Suara dentingan metal sayup-sayup juga mulai menghilang. Suasana tiba-tiba hening kembali. Di saat itulah mereka merasa seolah jiwa-jiwa orang Yahudi yang tersiksa itu telah kembali kepada-Nya, meninggalkan raga yang kembali menjadi debu dan tanah.

Perlahan, airmata mulai menitik di pelupuk mata Dhani dan Zon. Sayup-sayup bibirnya menggumamkan lirik lagu Air Mata, salah satu lagu karya Dhani yang monumental itu. Zon mengikuti serasa bagian dari choir bagi sang penyanyi utama.

Menangislah..bila harus menangis, karena kita semua manusia.... Manusia bisa terluka, manusia pasti menangis, dan manusia pun bisa mengambil hikmah..[menangislah]

Senja menjelang, kami melangkah keluar dari kompleks bangunan Jewish Museum dengan bibir terkatup. Tiada kata yang terucap. Penderitaan bangsa Yahudi dalam peristiwa Holocaust itu begitu dalam kami rasakan. Trauma begitu mendalam atas kekejaman tentara NAZI itu tidak bisa kami lupakan begitu saja.

Architecture 12 of 23 Daniel Libeskind Jewish Museum Berlin

Kembali ke studio musik dirinya, Dhani menatap seragam SS Himmler yang tadi hendak dikenakannya. Seketika itu pula dirinya bergidik menatapnya. Secara refleks seragam itu terjatuh dari tangannya. Zon, yang melihat kejadian itu, memungut seragam itu dan menyarankan kepada Dhani supaya membuang atau membakarnya supaya trauma yang mereka rasakan  tadi bisa segera hilang. Dhani pun mengangguk setuju.

Aku hanya bisa bergumam, seandainya kejadian imajiner itu nyata, kehebohan Dhani dan seragam Himmler-nya tidak akan pernah terjadi.

- Franky Simanjuntak:  27.06.2014 -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun