Â
********************************
Imajinasi saya kemudian membawa saya di suatu ketika sewaktu Dhani sedang memilih properti untuk membuat videoklip "We Will Rock You" yang heboh itu. Sewaktu ia akan mengenakan seragam khas SS Himmler itu, saya segera menarik tangannya dan mengajaknya ke suatu tempat. Tak lupa kami mengajak Fadli Zon yang tak lama kemudian tiba dengan helikopter pinjaman dari Prabowo Subianto. Bertiga kami menaikinya dan terbang menuju ke suatu destinasi yang cukup misterius: Jewish Museum di Berlin.
Museum peringatan akan Holocaust itu terkenal dengan sebutan The Blitz karena bentuk dekonstruksinya yang menyerupai sambaran kilat, jika dilihat dari Google Maps. Melalui bangunan masterpiece-nya itu, sang arsitek, Daniel Libeskind -berkebangsaan Amerika-Polandia dan berdarah Yahudi- berpuisi tentang penderitaan bangsa Yahudi selama masa pembantaian kejam yang dilakukan oleh NAZI, secara tersirat melalui denah, gubahan massa, elemen arsitektur, dan pencahayaan.
Tibalah kami di Jewish Museum, Berlin itu. Ternyata museum itu terdiri dari dua bangunan yang berbeda style arsitekturnya. Bangunan lama bergaya Baroque dan bangunan baru di sampingnya bergaya Dekonstruksi karya Libeskind itu. Sangat kontras sekali. Seolah menggambarkan bahwa pernah terjadi suatu kejadian maha dahsyat di antaranya.
[caption id="" align="aligncenter" width="649" caption="Jewish Museum Berlin Aerial"]
The Blitz terlihat begitu dingin dan kelam dengan pantulan sinar matahari di badannya yang tertutup oleh lapisan zinc abu-abu. Coakan berupa bukaan memanjang tak beraturan menambah kesan compang-camping seolah telah tercabik-cabik oleh sesuatu.
[caption id="" align="alignright" width="360" caption="The Opening"]
Ia menuliskannya di lembaran partitur not balok karena ia terinspirasi dengan karya opera Arnold Schoenberg yang belum selesai, Moses und Aron. Kemudian karya Walter Benjamin One Way Street's yang menginspirasi bentuk denah zigzag museum tersebut. Dhani semakin tertarik untuk masuk ke dalam museum itu karena ia begitu menggilai rock opera ala Queen.
Bertiga kami mencari pintu masuk di The Blitz. Tidak ada sama sekali! Ternyata pintu masuknya hanya melalui gedung Baroque lama.
Di dalamnya kami menemukan sebuah entrance besar dengan dinding beton tinggi bersudut tajam mengarah ke rangkaian tangga dan selasar panjang yang gelap sekali. Kami mengira kami akan naik ke atas. Ternyata kami diarahkan ke lantai basement. Sambil menapaki anak tangga, kami menatap ke atas, seketika itu kami merasa berada di dalam sumur beton yang dalam yang gelap. Dinding gelap itu begitu tinggi. Seketika itu pula bulu kuduk kami merinding.