Artikel ini diambil dari karya Idyll I oleh Theocritus
Siapa itu Theocritus ?
Pada abad ke-3 SM, hiduplah seorang penyair muda bernama Theocritus di pulau Kos yang indah. Ia memulai genre baru dalam puisi Yunani dengan karya Idyll I, yang terinspirasi oleh padang rumput hijau, pegunungan, dan laut Aegea yang memukau. Theocritus sering mengamati kehidupan sederhana para gembala di lereng bukit dan memahami bahwa di balik rutinitas mereka yang tenang tersembunyi emosi yang mendalam. Suatu hari, di bawah pohon zaitun tua, ia memutuskan untuk menulis tentang pertemuan dua gembala yang menyanyikan kisah Daphnis, sosok mitologi yang menggambarkan cinta, kehilangan, dan hubungan manusia dengan alam.
Dengan memasukkan elemen mitologi serta menggambarkan Sisilia, tanah kelahirannya, Theocritus menciptakan karya yang menggabungkan emosi mendalam dan realisme kehidupan pedesaan. Idyll I bukan hanya sekadar puisi yang indah tetapi karya ini juga menjadi dasar genre baru dalam puisi Yunani yaitu puisi tentang kehidupan desa dan keindahan alamnya (karya pastoral). Karya Theocritus ini kelak menginspirasi banyak penyair selama berabad-abad dan menjadikannya salah satu tokoh berpengaruh dalam sejarah sastra Barat.
Afflictio Daphnidis (Penderitaan Daphnis)
'Selamat tinggal, wahai serigala dan beruang di hutan. Selamat tinggal, singa-singa yang bersembunyi di balik semak. Aku, Daphnis sang gembala, tak akan lagi berjalan di hutan dan lembah ini.'
(kutipan perpisahan Daphnis)
Di bawah teriknya matahari di masa Yunani kuno, angin lembut membelai rerumputan hijau yang membentang sejauh mata memandang. Aroma manis bunga liar dan dedaunan segar mengisi udara, sementara suara gemerincing lonceng domba terdengar samar-samar dari kejauhan. Di tengah kesunyian padang rumput itu, dua sosok pengembala bertemu, yaitu Thyrsis dari Sisilia dengan suaranya yang merdu, dan seorang pengembala kambing yang ramah namun tidak disebutkan namanya.
Thyrsis, dengan jubah wol sederhana dan tongkat kayu di tangannya, berhenti sejenak untuk menyeka keringat dari dahinya. Matanya yang tajam memandang si pengembala kambing dengan penuh keingintahuan. Pria itu tampak berbeda dari kebanyakan gembala yang pernah ditemuinya. Ada aura kebijaksanaan dan misteri yang terpancar dari sosoknya.
"Ah, Thyrsis!" sapa si pengembala kambing dengan mata berbinar. Suaranya terdengar bersahabat namun juga mengandung nada penghormatan yang dalam. "Suaramu selalu mengingatkanku pada gemericik air pegunungan yang jernih. Bahkan Pan sendiri, konon, iri dengan kemerduan nyanyianmu."
Thyrsis tersenyum tipis, tersipu namun juga bangga akan pujian itu. "Kau terlalu memuji, kawan. Tapi kuakui, aku memang telah menghabiskan bertahun-tahun untuk mengasah suaraku di lembah-lembah Sisilia."
Si pengembala kambing mengangguk penuh pengertian. "Dan itulah mengapa aku sangat berharap bisa mendengarmu bernyanyi hari ini. Maukah kau menyanyikan balada tentang Daphnis? Kisah yang selalu membuat hati bergetar itu?"
Thyrsis terdiam sejenak, matanya menerawang jauh. Sebuah bayangan kesedihan melintas di wajahnya yang kecokelatan. "Ah, kisah itu...kisah yang membuat bahkan para dewa menitikkan air mata. Tidakkah kau takut, kawan, bahwa nyanyian itu akan membuat hari yang cerah ini menjadi suram?"
"Justru sebaliknya," jawab si pengembala kambing. "Kisah Daphnis mengingatkan kita akan keindahan dan kerapuhan hidup. Bukankah itu yang membuat kita lebih menghargai setiap momen?"
Thyrsis mengangguk perlahan, mengakui kebenaran kata-kata itu. "Baiklah, tapi kau tahu bahwa para Muse (dewa inspirasi & kreativitas" Yunani kuno) tidak memberikan karunia mereka dengan cuma-cuma. Apa yang kau tawarkan sebagai imbalannya?"
Si pengembala kambing tersenyum misterius. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah cangkir kayu yang diukir dengan sangat indah. Di permukaannya terpahat relief yang menakjubkan, seorang wanita cantik dikelilingi para pemuja, tanaman rambat yang seolah menari dalam angin, dan anak-anak kecil bermain di antara buah-buahan ranum.
"Cangkir ini," ujarnya, "diukir oleh tangan-tangan terampil dari Calydon. Konon, siapa pun yang minum dari cangkir ini akan diberkati dengan inspirasi para Muse."
Mata Thyrsis melebar melihat keindahan cangkir itu. Ia mengambilnya dengan hati-hati, mengagumi setiap detail ukirannya. "Sungguh hadiah yang luar biasa," gumamnya. "Baiklah, aku akan menyanyikan kisah Daphnis untukmu."
Thyrsis menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak seolah mengumpulkan seluruh kekuatan suaranya. Ketika ia mulai bernyanyi, suaranya mengalun lembut namun penuh kekuatan, membawa kisah Daphnis, sang gembala tampan yang dicintai para nimfa dan diberkati para Muse.
"Dengarlah, wahai angin dan pepohonan, kisah Daphnis yang malang," Thyrsis memulai nyanyiannya. "Daphnis yang dikenal karena kesetiaannya pada cinta pertama, kini terbaring sekarat di tepi sungai karena cinta terlarang yang menghancurkan hatinya."
Daphnis adalah tokoh legendaris dalam mitologi Yunani, putra dewa Hermes dan seorang peri hutan, yang lahir di Sisilia dan dibesarkan oleh para peri alam. Ia digambarkan sebagai seorang gembala yang tampan dan berbakat, terkenal karena kemampuannya dalam bermain seruling dan bernyanyi.
Suara Thyrsis membawa pendengarnya ke tepi sungai yang sejuk, di mana Daphnis berbaring lemah. Para hewan liar mulai dari singa yang gagah hingga serigala yang liar berkumpul di sekelilingnya, meratapi nasib tragis sang gembala. Bahkan burung-burung berhenti bernyanyi, dan bunga-bunga menundukkan kelopaknya dalam duka.
"Lihatlah!" Thyrsis melanjutkan, suaranya semakin intens. "Bahkan Hermes, ayahnya yang seorang dewa, turun dari Olympus untuk menghiburnya. 'Anakku,' kata Hermes, 'mengapa kau menyerah pada kesedihan? Bangkitlah, dan temukan kembali keceriaanmu!"
Namun Daphnis hanya terbaring diam, matanya yang dulu berbinar kini redup oleh kepedihan. Priapus, dewa kesuburan, juga berusaha membangkitkan semangatnya. "Daphnis, wahai Daphnis!" serunya. "Mengapa kau membiarkan cinta mengalahkanmu? Bukankah kau adalah gembala terhebat, yang bahkan membuat para dewa iri?"
Tapi Daphnis tetap membisu, tenggelam dalam kepedihan tak bertepi. Sungai di dekatnya seolah ikut berduka, arusnya melambat dan airnya berubah keruh.
Thyrsis berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Matanya yang terpejam kini terbuka, menatap si pengembala kambing yang terpaku mendengarkan. "Inilah awal dari kisah Daphnis," ujarnya lembut. "Maukah kau mendengar kelanjutannya?"
Si pengembala kambing mengangguk penuh semangat, matanya berkaca-kaca oleh emosi. "Lanjutkanlah, Thyrsis. Biarkan kami mendengar nasib akhir Daphnis yang malang."
Thyrsis meneguk air dari kantong kulitnya, membasahi tenggorokannya yang kering. Ia memandang sejenak ke arah matahari yang mulai condong ke barat, sebelum melanjutkan kisahnya.
Thyrsis melanjutkan ceritanya dengan suara yang dalam dan penuh emosi, 'Ketika Daphnis terbaring sekarat, Aphrodite, sang Dewi Cinta, menghampirinya dengan senyum mengejek di wajahnya yang cantik.'
Suara Thyrsis berubah, menirukan nada sinis Aphrodite, "'Bukankah kau yang pernah menantang Cinta, Daphnis?' sindirnya. 'Kau yang begitu bangga dengan kesetiaanmu. Lihatlah sekarang, bagaimana Cinta telah mengalahkanmu, membuatmu tersungkur tak berdaya.'"
Si pengembala kambing mengepalkan tangannya, terbawa emosi oleh kisah yang dinyanyikan Thyrsis. Angin seolah ikut terdiam, mendengarkan setiap kata yang meluncur dari bibir sang penyanyi.
"Untuk pertama kalinya," Thyrsis melanjutkan, "Daphnis membuka suara. Dengan getir ia berkata, 'Aphrodite yang kejam, Aphrodite yang dibenci manusia fana. Apakah kau pikir ini akhir dari segalanya? Bahkan setelah kematianku, aku akan menjadi duri yang menyakitkan bagi Cinta."
Thyrsis berhenti sejenak, membiarkan ketegangan merayap di udara. Kemudian ia melanjutkan, suaranya penuh emosi, "Daphnis mengingatkan Aphrodite tentang nasib tragis para kekasihnya sendiri , seperti Anchises yang dibutakan oleh lebah karena membual tentang cintanya dengan sang dewi, Adonis yang mati mengenaskan di taring babi hutan, bahkan Cypris yang terluka oleh tombak Diomedes dalam Perang Troya."
"'Pergilah ke gunung Ida,' Daphnis berkata dengan suara lemah namun tajam. 'Temui Anchises di antara pohon ek dan semak-semak. Atau pergilah ke Libanon, di mana Adonis menggembalakan ternaknya sebelum kematiannya yang tragis."
Air mata mulai menggenang di mata si pengembala kambing, terhanyut oleh kesedihan dalam suara Thyrsis. Bahkan langit seolah ikut berduka, awan-awan kelabu mulai berarak menutupi sinar matahari.
"Sebelum ajal menjemput," Thyrsis melanjutkan, suaranya kini lembut dan sendu, "Daphnis memanggil Pan, dewa hutan dan pelindung para gembala. Wahai Pan," bisiknya, Datanglah ke Sisilia yang indah. Ambillah seruling ini, alat musik yang telah kutiupkan melodi-melodi merdu. Biarkan ia menjadi milikmu selamanya."
Thyrsis mengambil jeda, matanya menerawang jauh. Dan kemudian, dengan suara yang nyaris tak terdengar, Daphnis mengucapkan kata-kata terakhirnya. Selamat tinggal, wahai serigala dan beruang di hutan. Selamat tinggal, singa-singa yang bersembunyi di balik semak. Aku, Daphnis sang gembala, tak akan lagi berjalan di hutan dan lembah ini."
"Selamat tinggal, wahai hutan dan sungai Syracuse," bisiknya lirih. Selamat tinggal, padang rumput yang telah menjadi saksi kebahagiaan dan kepedihanku. Selamat tinggal, Arethusa dan sungai-sungai yang mengalirkan air jernih ke laut biru."
Suara Thyrsis perlahan memudar, seperti bisikan angin di antara dedaunan. "Dan demikianlah," ia mengakhiri nyanyiannya, "Daphnis menghembuskan napas terakhirnya, tenggelam dalam sungai Kematian. Para Muse meratap, para peri menangis, dan seluruh alam berduka atas kepergiannya."
Ketika Thyrsis mengakhiri nyanyiannya, keheningan yang dalam menyelimuti padang rumput. Si pengembala kambing terdiam, air mata mengalir di pipinya yang kasar. Ia menyeka matanya dengan punggung tangan, sebelum menyerahkan cangkir yang dijanjikan kepada Thyrsis dengan tangan bergetar.
"Tak ada yang bisa menyanyikan kisah Daphnis seindah dirimu, Thyrsis," ucapnya dengan suara parau. "Kau telah membuat kisah ini hidup kembali, membuatku merasakan kepedihan dan keindahannya seolah aku sendiri yang mengalaminya."
Thyrsis menerima cangkir itu dengan hormat. "Kisah Daphnis," ujarnya lembut, "Adalah pengingat abadi bahwa cinta bisa menjadi berkat sekaligus kutukan. Ia mengajarkan bahwa kesetiaan, meski mulia, terkadang harus dibayar dengan harga yang mahal."
Si pengembala kambing mengangguk penuh pemahaman. "Dan juga mengingatkan kita akan kerapuhan hidup, betapa berharganya setiap momen yang kita miliki."
"Benar sekali, kawan," Thyrsis menyetujui. "Hingga kini, di bawah langit Yunani yang biru, balada tentang Daphnis terus dinyanyikan. Sebuah kisah tentang cinta, pengkhianatan, dan harga dari sebuah sumpah yang tak tergoyahkan."
Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, kedua gembala itu berpisah, masing-masing membawa pulang tidak hanya kenangan akan pertemuan mereka, tapi juga perenungan mendalam tentang hidup dan cinta yang dipicu oleh kisah Daphnis.
Demikianlah Idyll I karya Theocritus mengabadikan kisah Daphnis, menggambarkan kompleksitas hubungan antara manusia, alam, dan para dewa, serta kekuatan cinta yang mampu membangun sekaligus menghancurkan. Melalui nyanyian Thyrsis, kita diingatkan akan keindahan dan tragedi yang mewarnai kehidupan manusia, sebuah warisan abadi dari kebijaksanaan Yunani kuno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H