Kesombongan seorang Pimpinan Jemaat.
Kita semua sudah mengetahui bahwa admin dalam menentukan HL atau TA adalah didasari dengan like and dislike kemudian sipenulis apakah orang dekat atau tidak dan sipenulis apakah satu frame idiologi dengan mayoritas admin atau tidak dan satu wawasan politik atau tidak. Selanjutnya, jika tulisan anda berisi tentang liputan dengan ada fotonya dan tulisan menarik barulah tulisan bisa HL atau TA. Tidak ada ukuran sipenulis pintar atau bodoh. Kalau mengenai TA, tulisan anda harus banyak yang memilih aktual, menarik, bermanfaat dan inspiratif seterusnya suka-suka adminlah memilih tulisan anda bisa TA atau tidak.
Kita juga tidak mengetahui mayoritas pendidikan admin sebagai ahli apa atau berkualifikasi apa sehingga mereka bisa menilai sebuah tulisan, lalu menempatkannya kemana sesuai kriteria mereka para admin. Sering kita memperhatikan bahwa tulisan yang di HL-kan oleh admin ternyata hanya tulisan yang biasa-biasa saja dan malah ada tulisan yang terlalu banyak referensi asingnya dan sipenulis sangat terlihat sengaja menggelontorkan kata-kata dan kalimat kutipan asing. Sehingga memberi kesan seolah-olah sipenulis sudah menginternasional hebat sekali dan berkesan penganalisa tajam, padahal isi tulisannya biasa-biasa saja dan tidak menarik malah mengundang kebingungan mengapa istilah dogmatis romawi masuk kedalam tulisan tersebut. Ternyata memang latar belakang sipenulis adalah banyak membaca tentang Theologia sehingga referensi Theologialah yang dia gelontorkan didalam tulisannya. Sebenarnya dari berbagai istilah asing yang di tuliskan, kita bisa mengambil sedikit kesimpulan latar belakang si penulis. Selanjutnya kita tidak bisa menjadikan patokan pintar atau bodohnya penulis jika tulisan bisa HL-TA atau tidak. Yang penting kita sebagai Kompasianer bisa menulis dan berbagi mau HL-TA masa bodoh. HL dan TA bukanlah ukuran kita dipandang pintar atau bodoh.
Sedikit kilas balik, saya pernah menulis tentang Bibel dan isinya, lalu seorang Pendeta bernama Nararya dan kelompoknya mencak-mencak dalam olah kata dikomentarnya mengatakan bahwa saya pembohong dan sebagainya, padahal memang tulisan tersebut membuat sipendeta tidak mampu menjawab dengan baik serta rasional. Inilah awal friksi pola pikir saya dengan si pendeta Nararya. Lalu saya menuliskan sebuah artikel tentang dirinya yang sangat buruk cuatan kata dalam komentarnya (Buruknya cara komentar Pendeta Nararya). Hal seperti ini sering saya dapatkan. Barulah saya paham bahwa jika ada beberapa ayat didalam Bibel kita ungkap secara gamblang dan kita berharap ada interaksi bersoal-jawab, lalu dalam interaksi itu beberapa Pendeta-Pastor tidak bisa menjawab sesuai dengan alur pikiran yang rasional, maka kita dipastikan akan dituduh sebagai pembohong dan citra penulis itu dibunuh karakternya oleh mereka, sehingga ucapan pembohong itu diharapkan agar mempengaruhi penulis dan pembaca lainnya untuk tidak mempercayai penulis yang dibunuh karakternya itu (ibarat kumpulan harimau yang menyerang mangsanya). Juga didalam keseharian interaksi langsung, saya sering menemukan tokoh Theologi versi yang sama kalau kita mengejar pertanyaan dalam ayat-ayat Bibel dan mereka gagu akal atau sulit menjawabnya, maka kita selanjutnya akan dikatakan sebagai pembohong dan mereka tidak mau melayani kita dalam pelayanan iman selanjutnya.
Judul diatas, saya ambil dari tulisan Pendeta Nararya yang mendiskreditkan nama saya dan ini memang sebagai bagian tujuan pembunuhan karakter penulis. Didalam tulisannya saya mendahului mengatakan pendeta Nararya sebagai seorang stupid ?, padahal pendeta Naraya-lah yang mendahului saya sebagai seorang yang stupid dengan kalimat "I Can't Cure Stupidity", hal ini terjadi atas komentar saya yang dihapus Nararya pada tulisannya tentang ketidak setujuannya dan memandang kesiasiaan masyarakat Aceh dalam aksi pengumpulan koin untuk Australia (Tony Abbott-#koinUntukAustralia) pada masyarakat Aceh dan malah saat ini berkembang lancar secara Nasional. Lalu pendapat Nararya menjadi sangat kerdil dan berkesan menggurui masyarakat (akan sia-sia). Ini tulisan komentar saya yang juga dihapus Nararya, lalu dia memutar balikkan tuduhan bahwa saya yang memulai mengatakan dirinya stupid.
Dalam tulisan Pendeta Nararya yang mengatakan saya "mabuk benaran", rasanya saya bukan peminum anggur mabuk seperti dalam Kejadian 19:32, Amsal 31:7 dan Yohanes 2:9-11 dalam tulisannya untuk menjawab tudingan dirinya stupid yang saya copypaste alineanya saja, lengkap tanpa mengurangi dan menambahkannya dan ini paling penting dalam tulisannya :
"Sebaliknya, saya pintar dengan dua gelar master dan lulus dengan predikat summa cum laude. Dan di Kompasiana, sudah sangat banyak tulisan-tulisan saya yang di-HL dan atau TA. Itu bukti bahwa saya pintar. Anda mau balik ke sini nuding saya sombong lagi kalau saya ngomong begini? Ya, saya sengaja pamer kepintaran saya, lalu apa yang bisa Anda pamerkan, Francius?"
Kalimat ini, sangat nyata kepada kita semua, bahwa pendeta Nararya unjuk keangkuhan yang pamer kesombongan dan kepintaran (walaupun dia kunci dengan kalimat 'Anda mau balik ke sini nuding saya sombong lagi kalau saya ngomong begini') karena memiliki dua gelar master dengan nilai summa cumlaude (yang satu pasti bidang Theologi dan yang lain entah apa).
Apa yang bisa anda pamerkan, Francius ? Saya hadir di Kompasiana bukan untuk pameran tulisan agar dikatakan hebat, sangat ilmiah sangat kritis atau lain sebagainya. Tapi saya hadir sebagai penulis di Kompasiana ini, adalah hanya semata untuk berbagi wawasan, berbagi perhatian sosial kemasyarakatan kepada sesama pembaca dan sesama Kompasianer itu saja. HL atau TA tidak terlalu saya harapkan dan pikirkan. Agar anda tahu Pendeta Nararya yang sombong serta pamer gelar dua master kesarjanaan yang summa cumlaude dan teramat hebat itu.
Dalam kalimat "Ya, saya sengaja pamer kepintaran saya, lalu apa yang bisa Anda pamerkan, Francius ?". Inilah kalimat kesombongan yang paling fatal mengiringi penghinaan kepada penulis yang tidak pernah HL maupun TA. Lalu kalimat ini, karena bisa dibaca oleh banyak Kompasianer, menyatakan secara langsung kepada semua Kompasianer bahwa : "Hei para penulis Kompasianer yang tidak punya dua gelar master apalagi tidak lulus summa cumlaude apa yang bisa anda lakukan ? Anda semua bodoh dan saya pintar. Cuma bisa nulis itu doang dan tidak HL atau TA lagi di Kompasiana !? Ini, lihat saya, banyak tulisan-tulisan saya yang di-HL dan di TA-kan". Inilah gambaran gaya kesombongan pendeta Nararya ditujukan dan dipamerkan juga kepada semua para Kompasianer lainnya.
Gambaran kesombongan yang akut pada diri pendeta Nararya adalah pada kalimat "banyak tulisan-tulisan saya yang di-HL dan atau TA" Perhatikan kata banyak yang diikuti dengan tulisan-tulisan sangat salah dalam tata-bahasa Indonesia, karena berlebihan menjadi ungkapan ganda, karena naluri karakter kesombongannya yang hebat, itu tercuatkan secara tidak disadari.
Saya tidak membahas tuduhan berkualitas rendah lainnya dari Pendeta Nararya kepada saya karena akan sangat membuang energi bersoal jawab dengan orang yang berbudaya pikir Apologia penuh dengan pemutar balikkan fakta dan hanya mau benar sendiri serta penuh dengan pembenaran-pembenaran yang sumir kebanyakan tanpa dasar yang kuat. Tulisan ini dibuat untuk menjawab tulisan Pendeta Nararya yang mengatakan saya "Mabuk benaran"(Francius Matu)
Komentar sangat buruk dari Pendeta Nararya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H