Oleh karena itu, tradisi perburuan kepala (ngayau) di masa lalu, dengan berbagai alasan apa pun, tidak seharusnya terjadi. Lagi pula, tidak mungkin Ranying Hatalla Langit yang mereka sembah memerintahkan umat-Nya untuk menghilangkan nyawa orang lain. Justru sebaliknya Dia memerintahkan umat manusia untuk saling menjaga, menghormati dan mengasihi satu sama lain.
Peristiwa itu telah lama berlalu. Dia menjadi catatan hitam tersendiri dalam sejarah peradaban manusia Dayak. Akan tetapi, terjadinya peristiwa itu -- dan juga terjadinya kerusakan hutan di bumi Kalimantan -- dapat kita interpretasikan sebagai fenomena di mana manusia sudah menempatkan dirinya sebagai pusat dari kehidupan (antroposentrisme).
Oleh karena itu, ajakan untuk kembali kepada falsafah Basengat Ka' Jubata selama kita menjalani Masa Prapaskah ini adalah ajakan untuk kembali ke Jubata sendiri. Memohon ampun kepada-Nya; memulihkan kembali relasi kita dengan-Nya, dengan sesama dan dengan alam yang telah rusak oleh karena dosa dan kesalahan kita.
Secara rumusan falsafah Basengat Ka' Jubata memang berada di urutan terakhir. Namun, mari selama dalam masa tobat ini kita berupaya mendudukkannya di tempat pertama. Dengan begitu, maka kita sungguh mengakui dan mengimani Tuhan sebagai pencipta. Â Dia sendirilah yang menjadi asal, pusat dan tujuan hidup kita.
Dari iman kepercayaan itu kemudian mengalir sikap hormat terhadap martabat hidup sesama; mendorong kita untuk bersikap adil kepada sesama. Sebuah sikap yang sangat diperlukan agar konflik antarsesama orang Dayak seperti di masa silam tidak lagi terjadi.Â
Dari iman yang sama mengalir juga sikap hormat dan rasa takut terhadap alam. Dengan adanya rasa takut itu, kita akan menjadi manusia-manusia yang hidupnya tidak diperbudak oleh nafsu keserakahan. Mari kita ingat baik-baik perkatan Paus Fransiskus berikut ini: "Ibu Pertiwi sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya" (Laudato Si, 2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H