Menjadi pertanyaan untuk kita, masyarakat Dayak, refleksikan bersama ialah apakah laku hidup kita sudah sungguh mengalir dari falsafah Basengat Ka' Jubata? Sudahkah falsafah hidup ini menggema dalam hidup sehari-hari atau hanya menggema ketika ada pertemuan saja? Sungguhkah Tuhan (Jubata) menjadi pusat hidup kita? Atau justru sebaliknya kita, manusia, menjadikan diri sebagai pusat dari kehidupan?
Pertanyaan itu mengemuka ketika saya mengamat-amati kembali rumusan Trisila hidup kita orang Dayak. Muncul beberapa pertanyaan di benak saya terkait dengan rumusan yang sepertinya memang sudah baku itu. Mengapa manusia berada diawal dan Jubata ditempatkan di akhir? Mengapa harus dimulai dari memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan di bumi (keadilan), baru kemudian mengarahkan pandangan ke surga? Mengapa Jubata diposisikan di akhir seolah Dia bukan menjadi asal dan pusat hidup kita?
Atau, apakah barangkali rumusan itu tidak lebih dari sekadar untuk memenuhi rasa bahasa supaya enak diucapkan dan didengar? Rasa-rasanya lebih dari pada itu. Bahwa dalam perjalanan waktu Trisila itu ditetapkan menjadi pedoman dan pandangan hidup orang Dayak, pastilah karena keberadaannya mau berbicara tentang hal yang sangat penting.
Dan, hal yang amat penting itu, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, ialah berkaitan dengan apa yang menjadi esensi manusia Dayak. Jika memang itu yang menjadi esensi kita sebagai manusia Dayak, mengapa kemudian falsafah ini berada di urutan terakhir? Seakan-akan mau mengatakan kalau laku hidup kita sebagai manusia Dayak tidak mengalir dari falsafah tersebut?
Mgr. Valentinus Saeng, CP, Uskup Keuskupan Sanggau, pernah mengupas secara mendalam Trisila hidup orang Dayak ini dalam buku Kearifan Lokal~Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Menarik bahwa beliau menjadikan peristiwa Tumbang Anoi 1894 sebagai latar belakang historis lahirnya Trisila hidup orang Dayak tersebut. Kita tahu dengan baik kalau perang antarsuku atau lebih dikenal dengan budaya ngayau (berburu kepala) menjadi latar belakang lahirnya keputusan Tumbang Anoi.
Memperkenalkan Trisila hidup orang Dayak, menurut Mgr. Valen, berada dalam dalam konteks sosialisasi dan internalisasi kesepakatan Tumbang Anoi dalam rangka mengubah pengertian dan pemahaman masyarakat Dayak tentang hakikat manusia, makna relasi dan interaksi sosial antarsuku dalam hidup bersama.
Demi mengetahui Mgr. Valen menjadikan peristiwa Tumbang Anoi sebagai latar belakang historis lahirnya Trisila hidup orang Dayak, membuat saya berpikir kalau laku dan gerak hidup kita sebagai manusia Dayak tidak mengalir dari falsafah Basengat Ka' Jubata, terasa benar adanya. Bahwa ada yang berpandangan kalau pertemuan Tumbang Anoi bukanlah fajar peradaban bagi orang Dayak, melainkan semata-mata sebagai cara licik pemerintah Belanda agar bisa dengan leluasa menjajah bangsa Dayak, sama sekali tidak menghilangkan fakta historis kalau kita sesama orang Dayak pernah saling membunuh.
Falsafah Basengat Ka' Jubata memang belum lahir ketika bangsa Dayak saling berperang dan memusuhi. Realitas ini bagi beberapa orang mungkin akan dijadikan dasar pembenaran atas terjadinya pengayauan di masa lampau. Menyetujui pandangan ini, hemat saya, sama saja dengan kita menyimpulkan kalau orang Dayak itu ialah kaum barbar yang kesukaannya ialah berperang. Menstigmatisir orang Dayak sebagai suku yang tak ber-Tuhan karena itu tidak memiliki rasa hormat dan belas kasih terhadap orang lain.
Padahal, faktanya tidaklah demikian. Bila kita merujuk kembali pada tulisan Mgr. Valen, perang antarsuku (ngayau) di masa lampau semestinya tidak terjadi. Sebab, kesadaran tentang eksistensi dan campur tangan Yang Kuasa sudah hidup dalam sanubari setiap suku Dayak yang ada di bumi Kalimantan. Kesadaran itu, masih menurut Mgr. Valen, bukan berasal dari pendakuan revelatif (wahyu) maupun refleksi teologis yang begitu sistematis, metodis, ilmiah, dan koheren, melainkan dari pengalaman hidup sehari-hari.
Pengalaman hidup milik siapa? Ya pengalaman hidup semua suku Dayak yang hidup di bumi Kalimantan. Dalam aneka bentuk pengalaman hidup itu, Yang Kuasa menunjukkan kemahakuasaan dan kebaikannya bukan hanya kepada satu suku Dayak saja, melainkan kepada semua suku Dayak. Dari sini kiranya kita dapat memahami mengapa setiap suku Dayak memiliki sebutan yang berbeda terhadap Yang Mahatinggi: Petara, Jubata, Duata, Penompa, Duataq, Duato, Tanangaan, Ompokng Soma, Ranying Hatalla Langit dan sebagainya.
 Sebuah perbedaan yang sama sekali tidak hendak mengatakan kalau Tuhan-nya suku Dayak yang satu lebih tinggi dan perkasa dari yang lain. Juga tidak hendak mengatakan kalau suku Dayak yang satu lebih tinggi harkat dan martabatnya dari suku Dayak yang lain. Tuhan yang mereka sembah dan imani adalah Tuhan yang satu dan sama. Yang mencurahkan berkat, perlindungan dan kebaikan-Nya kepada semua suku Dayak. Begitu pula, martabat semua suku Dayak berada pada derajat yang sama.