Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Gawai Dayak dan Tradisi Ngabang

18 Juni 2022   18:10 Diperbarui: 19 Juni 2022   19:15 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim menuai padi sudah selesai dilalui. Bagi masyarakat Dayak pada umumnya, dan kaum peladang khususnya, selesainya tahap menuai itu menandai akan tibanya salah satu momen penting dan sakral dalam kehidupan mereka sebagai peladang. Yakni pesta tutup tahun atau Gawai Dayak.

Ada beberapa kampung yang sudah melaksanakannya. Dan ada beberapa yang masih dalam masa penantian sembari mempersiapkan segala sesuatunya. Salah satunya dengan membuat tuak.

Tradisi syukuran panen ini biasanya berlangsung pada bulan Mei, Juni atau Juli, di mana salah satu alasannya bertepatan dengan liburan sekolah. Di Serawak, Malaysia, sendiri Gawai Dayak selalu dirayakan setiap tanggal 31 Mei-1 Juni.

Masyarakat Dayak patut bersyukur sebab mereka kembali bisa merayakan tradisi syukuran panen ini. Tiga tahun berturut-turut, akibat pandemi Covid-19, pesta adat ini mereka rayakan hanya terbatas untuk orang sekampung saja. Tidak mengundang sanak keluarga dan kerabat kenalan datang bertandang untuk turut bersukacita.

Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintah dalam upaya memutus rantai penyebaran virus Covid-19.

Dalam subsuku Dayak yang masuk dalam rumpun Ibanik, kedatangan atau kehadiran sanak keluarga dan kerabat kenalan ini dikenal dengan istilah ngabang. Sedangkan mereka yang datang bertandang saat Gawai disebut pengabang.

Gawai dan tradisi ngabang memiliki jalinan yang sangat erat. Tak terpisahkan. Bagaikan dua sisi mata uang. Gawai akan terasa hambar tanpa kehadiran para pengabang. 

Oleh karena itu, sebuah kampung yang akan mengadakan gawai adat jauh-jauh hari akan menginformasikan kepada sanak keluarga dan kerabat kenalan agar datang bertandang untuk turut bersukacita.

Tradisi ngabang tentu saja bukan sebuah fenomena sosial yang tanpa makna. Apa makna yang terkandung di dalamnya akan diuraikan setelah kita melihat apa yang menjadi tujuan diadakannya Gawai Dayak.

Sebagai puncak dari seluruh proses perladangan, tradisi syukuran panen ini pertama-tama bertujuan untuk mengucap syukur dan terima kasih kepada Yang Kuasa (Petara Yang Agung) yang selalu menyatakan pemeliharan-Nya atas hidup umat-Nya.

Para peladang mau bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan alam sebagai tempat bagi mereka untuk berladang. 

Alam itu kemudian mereka olah dan dihasilkanlah padi beserta segala tanaman lainnya yang semuanya bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Hasil-hasil ladang inilah yang hendak mereka syukuri dalam gawai adat.

Ucapan syukur juga dihaturkan kepada Yang Kuasa atas penyertaan dan perlindungan-Nya selama mereka bekerja di ladang. 

Lewat rasa syukur ini, peladang ingin dengan tulus dan rendah hati mengakui kalau mereka takakan mampu mengerjakan segala sesuatunya tanpa campur tangan dan perlindungan Tuhan.

Adapun salah satu bentuk dari ucapan syukur itu diwujudkan dalam pembuatan pegelak (sesajen). Dalam adat kami suku Dayak Desa, ada dua buah pegelak yang akan disiapkan. Kedua buah pegelak itu nantinya akan ditaruh di dalam lumbung padi.

Setelah sampai batas waktu yang ditentukan, pegelak yang satu akan diambil untuk kemudian disantap bersama oleh seluruh anggota keluarga. 

Sementara yang satunya lagi tetap disimpan di dalam lumbung padi sebagai bentuk persembahan kepada Petara dan Puyang Gana (Sang Penguasa tanah).

Kembali ke tradisi ngabang.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,...Kami ini mau bekerja, menebas-menebang di sini. Kami mohon berkat, kami minta selamat...,

Begitulah doa permohonan yang peladang lambungkan ketika memilih dan menentukan lokasi untuk berladang. Penggunaan kata "kami", bukan "aku" mau menunjukkan adanya kepedulian dan tanggung jawab sosial dalam diri para peladang terhadap sesamanya.

Bagi masyarakat Dayak, berladang bukan melulu berkaitan dengan kepentingan dan keselamatan diri sendiri beserta seluruh anggota keluarga. Ia selalu menyangkut kepentingan dan keselamatan orang banyak.

Oleh karena itulah, setiap norma dan aturan adat yang terkait dengan perladangan harus mereka patuhi. 

Pun juga tanda-tanda alam, seperti suara burung atau mimpi, yang melaluinya leluhur mau menyampaikan pesan-pesan penting, mesti diindahkan agar hal-hal buruk tidak menimpa diri dan anggota keluarga dan juga seluruh warga kampung.

Kata "kami" juga hendak menampilkan semangat kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi dalam masyarakat Dayak. 

Diletakkan dalam konteks ini, kita kemudian bisa memahami mengapa Gawai Adat Dayak harus mengundang sanak keluarga dan kerabat kenalan untuk turut serta menikmati hasil jerih payah dalam berladang.

Kebersamaan memang hampir selalu mewarnai dinamika kehidupan orang Dayak. Karena itu bukan hal yang mengherankan bila peristiwa-peristiwa penting dan sakral dalam hidup personal maupun komunal selalu mereka rayakan dalam kebersamaan.

Tradisi ngabang, hemat saya, sekurang-kurangnya mau menghadirkan makna berikut ini. Pertama, berkaitan dengan falsafah hidup bersama orang Dayak, yang dalam suku kami Dayak Desa dikenal dengan semboyan: kalau abis sama ampit. Yang artinya kurang lebih: kalau habis semuanya mendapat bagian.

Sebuah falsafah hidup yang mau mengajarkan setiap orang untuk rela berbagi dengan sesama. Dengan mau saling berbagi, maka ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang menjadi sumber kekuatan dalam hidup berkomunitas akan selalu terjaga.

Bagi masyarakat Dayak, hasil bumi yang mereka peroleh tidak pernah boleh hanya dinikmati seorang diri. Karena itulah, setiap tamu yang datang ke rumah harus dipersilakan untuk menyantap hidangan yang telah tersedia. 

Inilah bentuk ungkapan syukur atas berkat yang sudah diterima dari Petara. Sekaligus sebagai wujud doa agar Petara Yang Agung senantiasa melimpahkan hasil ladang yang baik dan berlimpah di tahun-tahun mendatang.

Kedua, tradisi ngabang mau melukiskan hakikat manusia sebagai makhluk interkomunikatif. Manusia sebagai makhluk sosial. Sebuah hakikat yang hendak mengatakan bahwa setiap orang itu ada, tumbuh dan berkembang bersama dan selalu dalam relasi dengan orang lain serta alam ciptaan.

Untuk masyarakat Dayak, selamat menyambut musim Gayai Dayak. Semoga Petara senantiasa melindungi dan selalu melimpahkan hasil panen yang baik di tahun-tahun mendatang.

Salam Lestari
Salam Budaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun