Apa yang hendak diteladan Gereja dari Yesus dalam perjumpaannya dengan kebudayaan lokal ialah sikap dialog yang jujur dan sabar. Dalam dokumen Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja (Ad Gentes), Konsili Vatikan II menandaskan: "Kristus sendiri menyelami hati sesama-Nya dan melalui percakapan yang sungguh manusiawi mengantar mereka kepada terang Ilahi. Begitu pula hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama di lingkungan mereka dan bergaul dengan mereka sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat" (art. 11)
Sementara itu, berkaitan dengan pentingnya kebudayaan manusia dalam tugas pewartaan Gereja ditandaskan oleh Konsili Vatikan II dalam dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes) dikatakan: "Sebab Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Aneka ragam budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus, untuk menggali dan semakin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam" (art. 58).
Dalam konteks Asia, dan Indonesia pada khususnya, Gereja Katolik menandaskan bahwa triple-dialog dengan tiga realitas utama kehidupan Asia merupakan perwujudan nyata dari misi perutusan Gereja di Asia, yakni dialog dengan tradisi keagamaan lain, budaya-budaya lokal dan kemiskinan.
Akhir Kata
Dengan mengharapkan agar dalam karya misinya Gereja Keuskupan Sintang tidak boleh mengabaikan budaya dan adat istiadat setempat, sama sekali tak ada niatan dalam diri saya untuk menjadikan Gereja Keuskupan Sintang sepenuhnya berwajah Dayak. Jika itu yang saya niatkan, maka sudah dengan sendirinya saya mengingkari mimpi dan cita-cita ardas, yakni menghadirkan Gereja sebagai persekutuan umat Allah (communio). Â
Apalagi bila melihat fakta di lapangan di mana masih ada suku-suku lain, seperti Tionghoa, Jawa, Flores, Batak, yang ada di Keuskupan Sintang. Mereka semua adalah umat Allah, yang dengan caranya masing-masing sudah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan Gereja Keuskupan Sintang.
Mengimpikan bahwa Gereja Keuskupan Sintang itu harus berwajah Dayak rasanya hanya akan merusak communio antarumat yang sejauh ini sudah terjalin dengan baik. Kebersamaan suku Dayak dengan suku-suku lain justru dapat menjadi usaha pengembangan Komunitas Basis Kristiani, yang oleh Paus Yohanes Paulus II dipandang sebagai titik berangkat yang solid untuk membangun sebuah tatanan hidup yang baru yang didasarkan pada "peradaban cinta".
Selain itu, dengan mengharapakan agar Gereja Keuskupan Sintang dalam karya misinya mau membuka diri memahami dan mendalami budaya lokal, bertujuan agar ditemukannya model katekese yang kontekstual.
Katekese yang kontekstual, baik dalam metode, sarana, juga dalam isinya, akan menjadikan katekese itu sendiri efektif dan tepat sasaran. Tujuannya tiada lain agar terjadinya transmisi iman yang diwariskan turun temurun oleh Gereja, serta terjadinya transformasi hidup dalam diri jemaat beriman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H