Saya memang sudah sepatutnya bersyukur boleh menginjakkan kaki di tanah Jawa. Akan tetapi, pada waktu itu saya juga menyadari kalau keberadaan saya di tanah Jawa tidak untuk selamanya. Bila masanya sudah tiba, saya akan kembali ke tanah Kalimantan untuk melayani umat yang dalam cara berpikir dan bertindak boleh dibilang berbeda jauh dengan saudara-saudari yang ada di tanah Jawa.
Ya. Setelah enam tahun lamanya berjuang, saya pun akhirnya kembali ke bumi Kalimantan. Sebuah pulau yang dihuni oleh ratusan subsuku Dayak yang dalam tradisi, bahasa dan adat istiadat memiliki cukup banyak perbedaan.
Ambil sebagai contoh bagaimana mereka mengucapkan kata "makan" dalam bahasanya masing-masing. Mereka yang masuk dalam rumpun Ibanik menyebutnya "makai", dalam suku Uud Danum "kuman", "nyogak" dalam suku Kebahan dan Undau, "angkan" dalam suku Taman Ambaloh, dan seterusnya.
Perbedaan tersebut merupakan sebuah kekayaan, tapi pada saat yang sama juga mau mengatakan bahwa tidak ada yang namanya pendekatan universal terhadap suku Dayak. Dengan kata lain, model pendekatan terhadap suku Dayak A tidak bisa selalu digunakan terhadap suku Dayak B.
Di Keuskupan Sintang, suku Dayak tersebar di tiga Kabupaten: Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Mereka semua adalah orang Dayak. Namun, dalam hal watak dan cara pandang kadangkala berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pendekatan terhadap mereka tidak bisa disamaratakan.
Terhadap Eksistensi Budaya Lokal, Bagaimana Sikap Gereja Keuskupan Sintang?
Satu kenyataan yang tak bisa dipungkiri ialah Gereja Keuskupan Sintang (selanjutnya disingkat KeSi) itu hidup, bergerak dan ada di tengah sebuah konteks budaya lokal. Atau kalau ingin menyebutnya lebih spesifik lagi, suku Dayak itulah budaya lokal yang dimaksudkan.
Gereja KeSi harus menyadari betul kenyataan ini. Sebab, di tengah konteks budaya lokal inilah ia menghayati identitas diri dan perutusannya, yakni untuk mewujudkan citra ilahi dan menghadirkan kerajaan Allah.
Gerak hidup manusia Dayak itu hampir selalu diwarnai oleh ritual dan upacara adat. Saat kelahiran, mandi pertama kali di sungai, saat menanjak dewasa, saat ada orang sakit, menikah, kematian, kegiatan terkait perladangan, pesta-pesta adat, pembangunan rumah, masuk rumah baru, dan lain-lain, selalu ada ritual-ritual khusus yang dilakukan.
Dalam kesempatan-kesempatan tersebut Gereja selalu berusaha menghadirkan dan melibatkan dirinya untuk memberikan berkat dan peneguhan kepada umat.
Dalam menghayati identitas dan perutusannya di tengah kenyataan tersebut di atas, Gereja kerap kali menjumpai berbagai tantangan dan rintangan. Terlebih dalam mewartakan Yesus Kristus sebagai Sang Juruselamat dunia di tengah suku Dayak yang masih memegang teguh tradisi dan budaya sebagai warisan dari nenek moyang mereka.