Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyibak Makna Keberadaan Bekal Nasi dalam Kehidupan Agraris Suku Dayak Desa

20 November 2021   06:00 Diperbarui: 20 November 2021   22:06 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masyarakat suku Dayang berladang.| Sumber: TRIBUN KALTIM/ GEAFRY NECOLSEN

Sudah ada beberapa artikel yang saya udar yang secara khusus berbicara tentang kearifan berladang suku Dayak. Ketika melihat kembali artikel-artikel tersebut, saya menyadari kalau ternyata tema tentang bekal nasi belum saya bahas secara khusus.

Ya. Berbicara tentang kearifan berladang suku Dayak memang belumlah lengkap bila belum membahas keberadaan bekal nasi. Salah satu elemen yang maha penting dalam kehidupan para petani. Sebab, tanpa adanya bekal mereka tidak akan mampu bekerja dengan maksimal.

Bagi kita masing-masing, membawa bekal nasi rasanya sudah menjadi hal yang lumrah. Saat pergi ke tempat kerja, saat mengadakan perjalanan, saat pergi piknik bersama sahabat atau keluarga, dan dalam kesempatan-kesempatan lainnya, kita hampir selalu membawanya.

Masih segar dalam ingatan ketika masih duduk di bangku SD dulu, saya dan teman-teman selalu membawa bekal makanan ketika berangkat ke sekolah. Hal itu kami lakukan mengingat jarak sekolah yang cukup jauh dan hanya ditempuh dengan berjalan kaki.

Bekal itu akan kami santap ketika dirasa kaki kami sudah menempuh setengah perjalanan. Kami memiliki titik persinggahan khusus untuk menikmati bekal yang kami bawa sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke sekolah.

Masa enam tahun berlalu dengan segala suka dukanya. Di samping tekad yang kuat untuk menimba ilmu, berkat adanya bekal nasilah kami dimampukan untuk melewati semuanya itu.   

Dalam kesempatan-kesempatan tersebut, saya cukup yakin ada saat di mana karena kelalaian manusiawi, kita lupa membawa bekal. Perkara lupa itu mungkin kita anggap biasa-biasa saja.

Tidak demikian dalam masyarakat Dayak Desa. Perkara lupa tidak hanya terkait dengan tiadanya sumber energi untuk berkeja, tapi terkait langsung dengan hidup dan mati manusia. Terdengar sedikit menyeramkan, tapi begitulah kepercayaan yang hidup dalam suku Dayak Desa.

Kepercayaan tersebut tentu saja bukan sebuah realitas yang berdiri sendiri. Eksistensinya mesti dipahami dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam konteks sosio kultural-religius suku Dayak Desa.

***

Ilustrasi petani sedang menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah. Sumber: Kaskus.co.id
Ilustrasi petani sedang menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah. Sumber: Kaskus.co.id

Bahwa bekal nasi turut berperan dalam menentukan hidup dan mati manusia berkaitan erat dengan fenomena kempunan yang hingga hari ini masih hidup di tengah suku Dayak.

Kempunan dimengerti sebagai kondisi di mana seseorang mengalami nasib sial karena lupa menyantap makanan/minuman yang sudah terhidang. Atau saat di mana seseorang menolak untuk mencicipi makanan/minuman yang ditawarkan orang lain kepadanya.

Dalam masyarakat Dayak Desa, di samping kopi, tuak dan nasi ketan (pulut), nasi putih merupakan jenis makanan/minuman yang disakralkan.  Karena itu, kita harus mencicipi bila ada orang yang menawarkan makanan/minuman itu kepada kita.

Atau kalau tidak dengan mencicipi, cukup menyentuh dengan tangan piring nasi/cangkir kopi yang ditawarkan kepada kita. Dalam suku Dayak Desa tindakan ini dinamakan dengan palit. Dalam subsuku Dayak lain mereka menyebutnya dengan istilah ngomomalek, pelopas, posek, pusam, dll.

Sadar akan fatalnya akibat yang disebabkan oleh kempunan, nenek moyang kami pun mewariskan petuah bahwa ketika hendak pergi bekerja di ladang, yang harus pertama kali disimpan di dalam renyung/takin (tas tradisional terbuat dari rotan) ialah bekal nasi.

Lalu, bagaimana apabila seseorang lupa menyimpannya dan baru menyadarinya saat sedang di tengah perjalanan menuju ke ladang? Orang tersebut harus kembali ke rumah untuk mengambilnya.

Demikian juga apabila seseorang sudah tiba di ladang dan menyadari bahwa di dalam renyung/takinnya tidak ada bekal. Dia tidak akan mulai bekerja, tapi langsung kembali ke rumah.

Ketika sudah tiba di rumah, orang itu harus makan terlebih dahulu walaupun sebelum berangkat dia sudah melakukannya. Baru setelah itu dia boleh melangkahkan kembali kakinya menuju uma, ladang untuk melanjutkan pekerjaan.

Apa yang terjadi bila perkara lupa membawa bekal tersebut tidak diindahkan? Masyarakat Dayak Desa meyakini kalau nasib sial dapat menimpa orang tersebut.

Meski tentu saja tidak mengharapkan hal yang buruk menimpa sesamanya, di mata orang suku Dayak Desa tetap ada sesuatu yang kurang baik yang dapat menimpa mereka yang lupa membawa bekal.

***

Begitu sentralnya peran nasi juga erat kaitannya bila kita berbicara tentang religiositas manusia Dayak Desa.

Religiositas manusia itu nampak dalam penghayatan hidup sehari-hari dalam mereka mengalami dan menghayati kehadiran Yang Mahatinggi. Beragam ritual dan upacara adat yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengalami Yang Ilahi dalam hidup sehari-hari.

Bagaimana cara mengalami dan menghayati kehadiran Yang Ilahi tersebut? Melalui simbol-simbol. Manusia itu adalah makhluk simbolis (homo symbolicus).

Sebagai homo symbolicus, manusia mengekspresikan dirinya dalam tindakan-tindakan simbolis. Melalui bahasa-bahasa simbolis, manusia menemukan medium untuk mengalami Yang Transenden.

Nasi putih, bagi orang Dayak Desa, menjadi salah satu medium untuk mengalami Yang Transenden tersebut. Tidak heran kemudian nasi selalu dijadikan sebagai bahan sesajen (pegelak) dalam beberapa ritual dan upacara adat.

Penggunaan nasi sebagai pegelak menjadi simbol keterbukaan dan keterarahan orang Dayak Desa pada Yang Ilahi (Petara Yang Agung). Sekaligus juga sebagai bentuk penghormatan, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang.

Dan di saat yang sama juga sebagai bentuk permohonan agar Petara senantiasa memberkati dan melindungi usaha dan pekerjaan mereka. Terutama dalam berladang, supaya selalu menghasilkan hasil panen yang baik dan berlimpah.

***

Dalam aras hidup bersama (manusia sebagai makhluk berdimensi horizontal) keberadaan nasi menjadi ungkapan kemurahan hati dan keramahtamahan manusia Dayak. Hal ini nampak jelas ketika musim pesta syukur atas hasil panen tiba.

Lewat pesta adat ini, para peladang mau mengucap syukur kepada Petara atas berkat dan perlindunganNya serta atas hasil panen yang mereka peroleh.

Pesta syukur ini bukan hanya diperuntukan bagi warga kampung. Dia terbuka bagi sanak keluarga, kerabat kenalan dan siapa saja yang sempat hadir. Semakin banyak tamu yang datang, semakin besar pula suka cita dalam diri warga kampung yang empunya pesta.

Sebagai tuan pesta, setiap keluarga akan menyambut dengan senang hati setiap tamu yang datang bertandang. Siapa pun tamu yang datang wajib hukumnya dipersilakan menikmati makanan yang sudah terhidang.

Para tamu juga tidak boleh menolak tawaran dari tuan rumah. Sekali pun mereka merasa sudah kenyang, mereka harus tetap beranjak menuju dapur meskipun hanya untuk palit.

Tawaran yang diberikan oleh tuan rumah itu bukanlah sekadar untuk basa-basi. Bagi masyarakat Dayak Desa, hasil bumi yang mereka peroleh tidak pernah boleh hanya dinikmati seorang diri. Undangan untuk menyantap hidangan yang telah tersedia merupakan ungkapan syukur atas berkat yang sudah diterima. Sekaligus sebagai wujud doa bersama agar Petara Yang Agung senantiasa memberkati mereka dengan hasil ladang yang berlimpah.

Wasana kata. Nasi merupakan berkat dari Sang Pemberi Kehidupan. Ia merupakan sumber kehidupan bagi manusia sendiri. Diperlukan kerja keras untuk bisa mendapatkannya. 

Terlepas dari kelemahan manusiawi, lupa membawa bekal dapat dilihat sebagai sebuah sikap penolakan atas berkat dari Tuhan. Dan karena nasi merupakan sumber kehidupan, maka dengan tidak membawanya saat pergi bekerja, orang seakan-akan tidak lagi menyayangi hidupnya sendiri.

Demikian juga bila seseorang menolak untuk sekadar mencicipi makanan/minuman yang ditawarkan orang lain kepadanya. Jika berkat dan sumber kehidupan tersebut ditolak, secara tidak langsung, merupakan penyangkalan terhadap kehidupan itu sendiri.

Salam Anak Peladang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun