***
Begitu sentralnya peran nasi juga erat kaitannya bila kita berbicara tentang religiositas manusia Dayak Desa.
Religiositas manusia itu nampak dalam penghayatan hidup sehari-hari dalam mereka mengalami dan menghayati kehadiran Yang Mahatinggi. Beragam ritual dan upacara adat yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengalami Yang Ilahi dalam hidup sehari-hari.
Bagaimana cara mengalami dan menghayati kehadiran Yang Ilahi tersebut? Melalui simbol-simbol. Manusia itu adalah makhluk simbolis (homo symbolicus).
Sebagai homo symbolicus, manusia mengekspresikan dirinya dalam tindakan-tindakan simbolis. Melalui bahasa-bahasa simbolis, manusia menemukan medium untuk mengalami Yang Transenden.
Nasi putih, bagi orang Dayak Desa, menjadi salah satu medium untuk mengalami Yang Transenden tersebut. Tidak heran kemudian nasi selalu dijadikan sebagai bahan sesajen (pegelak) dalam beberapa ritual dan upacara adat.
Penggunaan nasi sebagai pegelak menjadi simbol keterbukaan dan keterarahan orang Dayak Desa pada Yang Ilahi (Petara Yang Agung). Sekaligus juga sebagai bentuk penghormatan, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang.
Dan di saat yang sama juga sebagai bentuk permohonan agar Petara senantiasa memberkati dan melindungi usaha dan pekerjaan mereka. Terutama dalam berladang, supaya selalu menghasilkan hasil panen yang baik dan berlimpah.
***
Dalam aras hidup bersama (manusia sebagai makhluk berdimensi horizontal) keberadaan nasi menjadi ungkapan kemurahan hati dan keramahtamahan manusia Dayak. Hal ini nampak jelas ketika musim pesta syukur atas hasil panen tiba.
Lewat pesta adat ini, para peladang mau mengucap syukur kepada Petara atas berkat dan perlindunganNya serta atas hasil panen yang mereka peroleh.