Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menulis di Kompasiana sebagai Estetika Eksistensi

16 Agustus 2021   16:43 Diperbarui: 16 Agustus 2021   17:39 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Kompasiana. Sumber: Kompasiana.com

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat merasa kesal ketika membaca berita tentang beberapa anak remaja di Bekasi yang melakukan "Challenge Malaikat Maut".

Bagi saya, anak-anak remaja itu sedang memperolok-olok kehidupan. Ketika banyak anak manusia di berbagai belahan dunia berjuang untuk bertahan hidup di tengah pandemi ini, mereka justru dengan entengnya mempermainkan hidup. Menyerahkan hidup kepada maut hanya demi menjadi viral dan terkenal.

Aksi para remaja itu mengundang tanya dalam diri saya: Apakah harus seperti itu cara yang ditempuh dalam menjalani dan menikmati hidup?  Mengapa cara demikian yang harus dipilih untuk menegaskan eksistensi mereka sebagai manusia?

Saya hanya membayangkan, betapa akan menjadi sebuah tindakan yang sangat terpuji andai saja hidup mereka itu digunakan untuk menolong sesama yang sedang berkesusahan. Bila itu yang dilakukan, para remaja itu sudah melukis hidup mereka dengan sangat indah. Sebab sudah menjadikan hidup mereka bermakna bagi sesama.

Aksi para remaja itu bukan menjadi pembahasan pokok dari tulisan ini. Bahwa setiap orang berupaya melukis hidupnya seindah mungkin, ingin saya kaitkan dengan aktivitas kita menulis di Kompasiana ini. Bagi saya, menulis merupakan salah satu cara kita menjalani dan memaknai hidup yang diibaratkan sebagai sebuah karya seni (estetika eksistensi).

Kita menyebut Kompasiana sebagai Rumah Bersama. Namun, beberapa hari belakangan ini ada sedikit suasana yang kurang nyaman dalam Rumah Bersama ini. Menyikapi suasana tersebut, Engkong Felix menulis sebuah artikel dengan judul: "Benturan Peradaban" di Jagad Kompasiana (K 11/08/2021).

Terhadap tulisan beliau, saya pun meinggalkan jejak di kolom komentar begini: "Mengerikan rasanya membayangkan bila benar-benar terjadi benturan di dalam Rumah Kebersamaan ini. Sebab jika benar adanya, akan ada potensi untuk menjatuhkan, menegasi atau apapun istilahnya, orang lain (liyan). Ketimbang melihatnya sebagai sebuah "benturan", saya lebih melihat dinamika kepenulisan di K ini sebagai "estika eksistensi". Artinya sebagai seni untuk menjalani dan menikmati hidup. Karena sebagai sebuah seni, meski benturan takbisa dihindarkan, tidak ada ruang untuk merendahkan eksistensi sesama penulis."

Estetika eksistensi sendiri merupakan istilah yang digunakan oleh Michel Foucault dalam proses berpikirnya tentang pembentukan subjek. Menurut Foucault untuk bisa berkembang sebagai manusia, setiap orang harus bisa membentuk suatu tipe atau model dirinya (mode of being). Oleh karena itu hidup manusia dilihatnya sebagai suatu karya seni (estetika eksistensi), yaitu suatu usaha membangun diri secara terus-menerus dan tidak pernah mengenal titik istirahat.

Seperti suatu karya seni, seorang manusia harus senantiasa melukis dirinya. Kadang-kadang ia mundur agak jauh agar keindahan lukisan tampak. Manusia harus kreatif dan tidak mengenal titik stop dalam usaha dan perkembangan dirinya. Foucault juga mengklaim bahwa kalau orang sungguh memperhatikan dirinya dengan baik (care for the self), dia pasti juga akan bisa memperhatikan orang lain (care for others).

Pemikiran Foucault rasanya selaras dengan aktivitas kita menulis di Kompasiana ini. Bahwa masing-masing kita memiliki tujuan dan motivasi berbeda dalam menulis, itu merupakan satu hal yang tak terbantahkan. Akan tetapi terlepas dari perbedaan itu, satu hal yang pasti ialah dengan menulis kita sedang membentuk satu tipe atau model diri (mode of being).

Proses pembentukan model diri itu, oleh setiap individu ditempuh dengan cara yang unik dan spesial seturut minat, keprihatinan ataupun bakat yang telah Tuhan anugerahkan. Dalam hal ini, dengan menyediakan beragam KATEGORI, Kompasiana telah menyediakan ruang yang sangat luas untuk kita dalam membentuk dan membangun diri secara terus-menerus.

Meski tersedia ruang yang sangat luas bagi kita untuk mengekspresikan diri sebagai jalan pembentukan subjek, bukan berarti kemudian kita menjadi individu yang hanya mengikuti nafsu dan keinginan diri semata.

Ada aturan dan norma yang harus tetap kita taati. Kompasiana sudah menuangkannya secara jelas dalam SYARAT DAN KETENTUAN, khususnya dalam hal KETENTUAN KONTEN no. 11.4, yang berbunyi:

Dengan mendaftar di Kompasiana, Kompasianer memahami dan setuju untuk tidak menggunakan, menempatkan, mengunduh, menautkan, melekatkan dan atau menayangkan Konten yang: Menghina, menyinggung, melecehkan, merendahkan, mengintimidasi, memicu pertentangan dan/atau permusuhan individu atau kelompok berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA), jenis kelamin, orientasi seksual, usia, atau cacat fisik.

Dengan menaati S & K tersebut, kita sedang berada pada jalur yang tepat dalam proses pembentukan diri. Atau dalam bahasa Foucault, kita sudah menjadi pribadi yang tidak hanya memperhatikan diri sendiri dengan baik, tapi juga memperhatikan orang lain.

Betapa pun penting untuk selalu memperhatikan dan menaati S & K dari Kompasiana, aktivitas kita dalam menulis semestinya ditempatkan dalam prinsip proses sebagaimana dipikirkan oleh Foucault. Artinya, proses pembentukan dan pengembangan diri tidak mengenal titik istirahat.

Dalam bahasa Engkong Felix dalam artikelnya "Matinya Seorang Penulis" (K 1/10/2020), seorang penulis akan dikatakan mengalami kematian pada saat dia berpikir telah selesai menulis setelah mengakhiri suatu tulisan dengan paragraf penutup.

Eksistensi kita sebagai manusia memang merupakan sebuah proses menjadi. Menjadi manusia itu pertama-tama bukan soal "memiliki" (having), melainkan yang terpenting ialah "menjadi" (becoming).

Bila "memiliki" yang menjadi penekanan atau pencarian utama dalam hidup, orang bisa menjadi begitu egois dan serakah untuk mendapatkan apa yang ia ingin miliki. Sebaliknya, bila "menjadi" yang ditempatkan sebagai prioritas, orang akan menjalani hidup sebagai sebuah proses pengolahan diri secara terus-menerus.

Dalam proses pengolahan diri itu, makna "menjadi" akan ditemukan bila orang tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tapi selalu terbuka akan kepahitan, kegelisahan, keputusasaan, penderitan yang dialami orang lain.

Saya ingin menambahakn satu hal lain, yang menurut saya juga penting untuk diperhatikan dalam proses pembentukan diri. Yakni soal kejujuran terhadap diri sendiri. Maksudnya jujur pada diri sendiri bahwa ada beberapa KATEGORI di K yang berada diluar kemampuan diri untuk menuliskannya.

Saya sendiri, misalnya, dengan sangat jujur mengakui kalau sama sekali tidak memiliki bakat dalam menulis puisi, cerpen maupun novel (Fiksiana). Sadar akan hal tersebut, saya tidak pernah mau memaksakan diri untuk menulis puisi, cerpen ataupun novel. Ketimbang memaksakan diri lebih baik saya mencukupkan diri dengan penjadi penikmat puisi, cerpen dan novel dari rekan-rekan Kompasianer yang ahli dalam bidang tersebut.

Kejujuran pada diri sendiri inilah yang barangkali dimaksudkan oleh Foucault bahwa dalam melukis hidupnya, seseorang kadang-kadang harus mundur agak jauh agar keindahan lukisan bisa tampak.

Akhirnya, Foucault juga mengingatkan bahwa satu hal penting yang juga mesti diingat oleh manusia dalam melukis eksistensinya ialah bahwa mereka hidup dalam diskursus tertentu: diskursus ruang dan waktu, sejarah, kebudayaan, agama dan keyakinan, pendidikan dan pengetahuan, dan lain-lain. Diskursus tersebut menjadi guru dan pengalaman bagi hidupnya agar bisa semakin matang, benar dan baik.

Semua diskursus ini tidak pernah berhenti menjadi bingkai-bingkai hidup seorang manusia. Oleh karena itu, perbedaan pendapat dan salah paham tentang masalah-masalah tertentu rasanya mustahil untuk dapat dielakkan. Akan tetapi, karena lewat menulis kita sedang melukis hidup kita sendiri agar bisa memberi manfaat dan kebaikan bagi sesama, maka tidak ada ruang untuk merendahkan eksistensi sesama penulis.

Salam. Semoga bermanfaat.

Referensi:

Konrad Kebung, Michel Foucault: Kuasa Versus Rasionalitas Modernis (Revaluasi Diri Secara Kontinu), (JURNAL LEDALERO, Vol. 16, No. 1, Juni 2017, hlm. 55-73).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun