Jumpa kembali dengan artikel tentang suku Dayak Desa setelah cukup lama hilang dari peredaran waktu.
Artikel ini muncul sebagai sebuah permenungan kembali atas pandangan yang pernah dikemukan oleh Y. Boelaars dalam bukunya Kepribadian Indonesia Modern. Sebuah pandangan yang pernah saya temukan di masa-masa pergumulan menyelesaikan tugas akhir kuliah yang temanya berkaitan dengan kehidupan para peladang.
Y. Boelaars yang adalah seorang misionaris dan antropolog, dalam bukunya tersebut berpendapat bahwa para petani belum menjadi manusia yang bebas dalam mengasihi Allah dan sesama. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka seringkali masih terkurung dalam rasa takut. Rasa takut itu diakibatkan adanya malapetaka, celaka, leluhur yang marah, arwah yang belum tenang, dsb, yang sering kali mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sebagaimana ditulis oleh Boelaars, di situlah letak peran kekristenan. Dalam agama Kristen petani menemukan seorang Allah-Pencipta-Bapa yang penuh kasih kepada umat-Nya sehingga manusia berani menyerahkan diri kepada-Nya dengan harapan akan selamat walaupun bencana dan malapetaka berlangsung terus. Kebaikan sempurna Allah-lah yang telah menebus petani dari ketakutan-ketakutan yang membuat mereka merasa tidak bebas mengasihi Allah dan sesama.
Pandangan Boelaars di atas benar adanya sejauh dilihat dalam konteks perjumpaan iman Kristiani dengan ragam tradisi dan budaya manusia. Sebuah perjumpaan yang mana di dalamnya Gereja meyakini bahwa aneka ragam budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus. Aneka ragam budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan, sebab Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman (Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes no. 58).
Artikel ini sendiri tidak hendak menyibukkan diri mengulas segala hal ihwal yang berkaitan dengan perjumpaan iman dan budaya tersebut. Bahwa rasa takut yang Boelaars pahami menjadi penghalang bagi para petani dalam mengasihi Tuhan dan sesama tentu saja ada benarnya. Akan tetapi, mengapa rasa takut itu hinggap dalam diri mereka juga harus dipahami dan dimaknai dengan baik dan benar. Tentu saja dengan bertitik tolak dari konteks hidup mereka sebagai petani.
Upaya pemahaman dan pemaknaan itulah yang akan coba saya urai dalam artikel berikut ini. Dan kehidupan agraris komunitas adat Dayak Desa akan saya jadikan sebagai rujukan utama dalam upaya pemahaman tersebut.
Pertanyaan yang langsung muncul ialah mengapa seakan-akan ada rasa takut dalam diri para petani dalam mengolah dan memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? Sungguhkah rasa takut itu menjadi penghalang bagi mereka dalam mengasihi Tuhan dan sesama secara bebas sebagaimana dimaksud oleh Y. Boelaars?
Untuk mengerti dan memahami rasa takut yang kadang muncul dalam diri para petani, saya akan menjadikan dua hal berikut sebagai titik pijak pemahaman. Topik-topik yang sebetulnya sudah pernah saya singgung dalam beberapa artikel yang berbicara tentang suku Dayak Desa.
Pandangan tentang Alam
Alam, baik bagi masyarakat Dayak, merupakan bagian dari seluruh kehidupan mereka. Untuk itu, harus diperlakukan dengan hormat dan beradat. Perlakuan dan pemanfaatan yang bijaksana, hormat dan beradat terhadap alam tidak ada tujuan lain selain terbangun dan terpeliharanya relasi yang harmonis dengan alam itu sendiri.
Perlakuan dan pemanfaatan alam secara hormat dan beradat didasarkan pada keyakinan kalau Yang Ilahi itu hadir dalam dan melalui alam. Juga, didasarkan pada keyakinan bahwa alam itu memiliki kekuatan magis. Kekuatan magis ini tidak hanya menimbulkan rasa hormat dalam diri manusia, tapi juga ketakutan.
Alam tidak hanya bisa mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, tapi juga bisa mendatangkan celaka dan bencana bagi manusia bila tidak diolah dengan bijaksana. Rasa hormat yang tinggi kepada kekuatan-kekuatan gaib dan roh leluhur, dengan demikian, harus selalu ditunjukkan dalam seluruh laku hidup masyarakat.
Manusia harus menghargai dan menghormati alam agar hidup mereka penuh dengan berkat, bukan kutuk. Alam tidak hanya bisa mendatangkan bahagia, tetapi juga celaka. Contoh kecil ialah apa yang tertulis dalam doa permohonan berikut:
"Sak, dua, tiga, empat, limak, enam, tujuh,... Kami tuk kak kerja, nebas-nebang di tok. Kami suruh berkat, kami suruh selamat, isak nadai sipat rangau punai, tingang kayu besai,tacah isau simpai, telih beliung betangkai. Asa adai tai kak ngacau ngricau, teka kitap kah ngau sayap, kisai kah ngau langai, terapak kah ngau suak, renyok kah ngau patuk, mati kah ngau taji".
(Artinya: "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,... Kami ini mau bekerja, menebas-menebang di sini. Kami mohon berkat, kami minta selamat, agar jangan disimbat ranting kasar, ditimpa kayu besar, terluka pisau simpai, tertimpa kapak bertangkai. Kalau ada yang mau mengacau, kibas dengan sayap, libas dengan ekor, tabrak dengan tubuh, remuk dengan paruh, matikan dengan taji")
Bagian yang saya cetak tebal mau menunjukkan bahwa alam sungguh bisa mendatangkan sakit dan celaka bagi manusia. Lalu, bagaimana agar alam bisa selalu mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan? Tidak ada pilihan lain bagi warga selain memanfaatkannya dengan hati-hati, bijaksana, hormat dan beradat.
Alam mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan bagi hidup mereka. Dari alam mereka bisa mencari bahan untuk membangun rumah, mereka bisa berladang, mendapatkan bahan anyaman, berburu serta kegiatan lainnya. Semua itu sudah tersedia dan tidak akan musnah sejauh manusia bijaksana dan tidak serakah.
Bagi masyarakat Dayak, alam tempat mereka hidup dan bergerak memiliki unsur mistis. Mereka tidak hidup sendiri di alam itu, ada juga penghuni lain yakni dewa-dewa atau roh-roh.
Kenyataan ini menghantar mereka pada kesadaran supaya berhati-hati dalam memperlakukan alam. Wujud-wujud yang tak nampak itu bisa mendatangkan sakit, luka dan celaka bila diabaikan dalam gerak hidup sehari-hari. Sebaliknya, mereka bisa mendukung usaha, mendatangkan selamat bila keberadaan mereka diakui, dihormati dan dihargai.
Karena itu, bukanlah hal yang mengherankan bila dalam berladang para petani selalu memperhatikan tanda-tanda alam. Tanda-tanda alam, dalam keyakinan mereka, merupakan sarana yang melaluinya Yang Ilahi menyampaikan pesan apakah lokasi tertentu boleh digarap atau tidak. Bagian-bagian tertentu dari hutan atau lahan tidak pernah bisa digarap, apabila dianggap tidak direstui oleh Yang Ilahi.
Tahap pemilihan lokasi (mangul) barangkali bisa menjadi contoh bagaimana tanda-tanda alam senantiasa diperhatikan dalam kegiatan berladang. Sebagai sebuah tahap awal, pemilihan lokasi tentu saja memainkan peran yang sangat penting. Ia menjadi penentu apakah lahan yang dipilih bisa mendatangkan hasil yang baik atau tidak.
Akan tetapi, dalam alam kepercayaan komunitas adat suku Dayak Desa, pemilihan lokasi ini tidak hanya berkaitan dengan kesuburan tanah, tapi juga berkaitan dengan keselamatan anggota keluarga, bahkan seluruh anggota masyarakat.
Di sinilah tanda alam dalam rupa suara burung memainkan peranannya. Suara burung menjadi salah satu tanda alam yang sampai hari ini masih diyakini membawa pesan-pesan penting bagi kebaikan dan keselamatan warga. Oleh karena itu, mereka tidak boleh mengabaikannya.
Masyarakat adat suku Dayak Desa meyakini ada beberapa jenis burung yang suaranya merupakan pertanda buruk. Sebab itu, saat mereka membuka sebuah lokasi untuk berladang dan terdengarlah oleh mereka suara-suara burung tersebut, maka mereka tidak boleh membuka lahan di situ. Pengabaian atas suara burung tersebut bisa mendatangkan akibat yang fatal terutama bagi segenap anggota keluarga.
Peran Leluhur
Leluhur memainkan peran yang sangat penting dan krusial dalam seluruh gerak dan dinamika hidup orang Dayak. Untuk mau mengatakan bahwa peran mereka tidak sebatas dialami, diperlukan dan dirasakan hanya dalam dunia perladangan. Salah satu contoh dari luar dunia perladangan yang bisa diangkat untuk menunjukkan peran leluhur ialah upacara adat pemberian nama anak.
Dalam komunitas adat suku Dayak Desa, nama yang diberikan secara adat ini disebut juga nama kampung atau nama belah pinang. Disebut sebagai nama belah pinang karena buah pinang memainkan peranan yang sangat penting dalam upacara adat ini. Penting karena lewat pinanglah akan diketahui apakah nama yang telah dipilih bisa digunakan atau tidak.
Demikian peraturannya. Apabila setelah dilemparkan, kedua belah pinang itu posisinya sama-sama telungkup atau sama-sama telentang, itu berarti nama yang telah dipilih tersebut tidak boleh dipakai. Sebaliknya, jika yang sebelah dalam posisi telentang dan yang sebelahnya lagi dalam posisi telungkup, itu artinya nama tersebut direstui oleh Petara dan para leluhur. Dengan kata lain, nama tersebut boleh digunakan.
Dalam proses perladangan sendiri, leluhur memainkan perannya lewat kehadiran mereka di dalam mimpi untuk menyampaikan pesan penting yang sama sekali tak boleh diabaikan.
Mimpi sampai hari ini memang masih diyakini sebagai sarana yang dipakai oleh leluhur untuk menyampaikan pesan penting tertentu. Karena itu, kalau seseorang mengalami mimpi buruk, maka pengerjaan ladang pada tempat yang telah dipilih tidak akan dilanjutkan.
Bahkan dari beberapa pengalaman yang pernah saya jumpai, warga akan menghentikan proses berladang, meski sudah pada tahap yang cukup jauh, ketika mereka mengalami mimpi buruk.
Dalam beberapa kesempatan, bila kasus ini terjadi, keluarga yang bersangkutan akan melakukan ritual dan mempersiapkan sesajen sesuai dengan apa yang dipesankan dalam mimpi.
Setelah ritual adat itu dibuat, barulah proses perladangan bisa dilanjutkan kembali. Namun, ada beberapa jenis mimpi yang dalam kepercayaan suku Dayak Desa sama sekali tak bisa ditawar. Bila mengalami mimpi tersebut, mereka harus menghentikan seluruh proses perladangan di tempat yang sudah ditentukan.
Dalam alam kepercayaan suku Dayak Desa, pengabaian terhadap mimpi bisa mendatangkan bencana atau penyakit. Bukan hanya bagi keluarga, melainkan juga bagi anggota masyarakat yang lain.
Begitu pentingnya peran para leluhur, warga harus mengadakan ritual adat pati apabila lokasi makam leluhur termakan api selama proses pembakaran ladang. Ritual adat ini wajib dilakukan sebagai bentuk permohonan maaf kepada para leluhur karena telah mengusik rumah kediaman mereka. Selain itu, ritual adat ini juga bertujuan untuk memulihkan relasi harmonis yang sudah sedikit terganggu. Pemulihan tersebut harus dilakukan agar ke depannya segala usaha dan jerih payah mereka dalam berladang diberkati dan direstui oleh Petara Nan Agung, leluhur dan alam semesta itu sendiri.
***
Dari pemaparan di atas memang harus diakui bahwa alam dan roh leluhur selain mendatangkan berkat dan perlindungan, kadangkala juga menampilkan wajah yang menakutkan sehingga muncul rasa takut dalam diri para petani. Namun, apakah rasa takut yang kerap muncul itu kemudian harus dilihat sebagai penghalang bagi mereka untuk dengan bebas mengasihi Pencipta, sesama dan alam?
Dalam hemat saya, rasa takut tersebut barangkali tidak harus langsung dilihat dalam kaitannya dengan perkara bebas atau tidaknya mereka mengasihi Tuhan dan sesama, tetapi mesti dilihat dalam kaitannya dengan sikap dan perlakuan mereka terhadap alam. Dengan adanya rasa takut itulah, mereka akan memperlakukan alam dengan bijaksana, penuh hormat dan beradat. Mereka akan selalu mendengarkan dan mematuhi apa yang dipesankan oleh leluhur agar hidup mereka selamat dan jerih payah mereka dalam berladang mendatangkan hasil yang baik.
Begitulah. Rasa takut terhadap alam dan leluhur bukan untuk menunjukkan ketidakdewasaan kepribadian para petani, melainkan justru menunjukkan bahwa para petani adalah manusia-manusia yang berkeutamaan. Manusia-manusia yang tahu kapan harus berkata cukup. Manusia-manusia yang hidupnya tidak diperbudak oleh nafsu keserakahan.
Salam Budaya
GN, 25 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H