Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Ibu, Aku Belajar untuk Selalu Tegar Kala Menghadapi Ujian Hidup

22 November 2020   16:04 Diperbarui: 22 November 2020   16:30 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi.

Di Seminari Tinggi kami memang tidak dijinkan untuk membawa HP. Karena itu, keluarga di kampung menghubungi salah satu staf pembina. Waktu itu abang saya yang tertua yang menghubungi. Sebetulnya saya juga sudah mendengar ada banyak suara isak tangis saat abang sedang menelpon.

Saya sempat bertanya apa yang terjadi. Mengetahui bahwa saya sedang dalam masa ujian, abang pun hanya berpesan agar saya belajar dengan baik. Saya pun tidak berani bertanya lebih lanjut.

Pastor pembina juga berpesan hal yang sama. Saya pun hanya mengiyakan meski dalam hati berkata pasti ada yang tidak beres di kampung sana.

Selesai bertemu pastor pembina, saya pun kembali ke kamar dengan segudang pertanyaan. Karena masih dalam suasana ujian, saya berusaha untuk menenangkan hati dan pikiran. Akan tetapi, hati dan pikiran kembali tidak tenang ketika esok paginya saya melihat ikan di kolam unit kami ada beberapa yang mati.

Saya berpikir ini merupakan pertanda yang tidak baik. Benar saja. Setelah ujian selesai, pastor pembina kembali menyuruh saya datang ke kamarnya. Dengan berat hati beliau pun mengatakan kalau abang saya yang nomor tiga telah meninggal dunia.

Meski tidak menangis sejadi-jadinya, saya tetap tak mampu menyembunyikan kesedihan saya. Apalagi sudah empat tahun -- saya berangkat ke Malang tahun 2005 -- saya pergi meninggalkan kampung halaman.

Harusnya tahun ini (tahun 2008) menjadi momen yang sangat membahagiakan bagi saya. Pasalnya, selesai ujian semester kami diberi kesempatan untuk berlibur ke Kalimantan kurang lebih selama tiga bulan.

Sebelum berita duka ini tiba, saya sudah membayangkan rumah kami akan dipenuhi suka cita menyambut kepulangan saya. Namun, kenyataan hidup berbicara lain. Saking tidak terima dengan kenyataan yang ada, kepada Tuhan saya berkata: "Tuhan, saya selalu siap kehilangan orang-orang yang saya kasihi. Tapi kenapa Engkau tidak menunggu saya tiba di rumah dulu agar saya bisa melihat wajah mereka untuk yang terakhir kalinya?"

Saat untuk pulang kampung pun tiba. Waktu itu kami menggunakan kapal laut jurusan Surabaya-Pontianak. Memakan waktu tiga hari dua malam. Selama dalam perjalanan saya berusaha untuk menghibur diri. Bersyukur ada teman-teman seperjalanan pulang yang selalu memberi penghiburan.

Setelah menempuh perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, saya pun tiba di kampung halaman tercinta. Tentu sudah banyak yang berubah karena sudah empat tahun saya tinggalkan.

Ingin rasanya merayakan kepulangan ini dengan penuh suka cita. Namun apa daya, suasana duka masih menyelimuti keluarga kami. Meski merasa sedih, hati saya cukup merasa senang karena bisa melihat senyum di wajah Ayah dan saudara-saudara saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun