Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Alfred North Whitehead dan Kompasiana: Petualangan Gagasan, Jalan Menuju Masyarakat Berkeadaban

4 Oktober 2020   21:32 Diperbarui: 4 Oktober 2020   22:59 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah yang menjadi tujuan dan motivasi kita untuk menulis? Serta apa saja manfaat yang kita peroleh dari menulis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya akan merujuk kepada tulisan beberapa Kompasianer yang pernah mengulas tentang motivasi dan manfaat dari aktivitas menulis.

Pertama, Bapak I Ketut Suweca. Dalam artikelnya yang berjudul Membaca dan Menulis, Antara Mengisi Diri dan Hidup Berbagi, Pak Ketut tidak hanya membahas soal manfaat dan tujuan dari menulis, tapi juga dari membaca.

Berkaitan dengan soal membaca, Pak Ketut menuliskan demikian, "Nah, melalui penyebarluasan tulisan kita berharap bisa bermanfaat bagi orang lain. Kita bisa menulis hal-hal yang kita ketahui dengan baik. Kita bisa menulis topik-topik yang kita kuasai sehingga pembaca pun dapat mengetahui dan memanfaatkannya sebagai referensi."

Kedua, sesepuh kita, Bapak Tjiptadinata Effendi. Aktivitas menulis, bagi Pak Effendi, menjadi sarana untuk terapi diri. Hal ini tidak terlepas dari kecelakaan yang pernah beliau alami dan mengakibatkan gegar otak yang parah. Menurut pengakuan beliau dalam artikelnya, kecelakaan tersebut membuat beliau jadi pelupa. Bahkan suatu kali ketika mau menguangkan cek di salah satu bank, beliau lupa bagaimana menuliskan tanda tangannya sendiri.

Menulis menjadi jalan yang beliau pilih agar bisa sembuh dari penyakit lupa yang sudah demikian parah. "Rasa cemas akan mengalami alzheimer, maka saya memaksa diri untuk setiap hari menulis. Pada awalnya menulis satu halaman saja, saya butuh waktu hingga 2 jam. Semakin hari, saya semakin termotivasi untuk menulis karena merasakan secara nyata efek kesembuhan", begitu pengakuan beliau dalam artikelnya Benarkah Menulis Merupakan Terapi Diri?.

Ketiga, Bapak Katedrarajawen. Bagi Pak Kate, aktivitas menulis juga merupakan jalan terbaik untuk berbagi. Setiap kata yang tereja sedikit banyak memiliki makna. Kata-kata bisa mengubah dan mencerahkan anak-anak manusia. Menerangi kehidupan tatkala kegelapan melanda. Sebab di dalam kata-kata ada cahaya.

Namun, ada hal lain yang cukup menarik dari tujuan menulis menurut Pak Kate. Beliau mengatakan kalau menulis itu adalah sebuah jalan doa. "Tidak sedikit mengubah dan mencerahkan anak-anak manusia. Janganlah ragu bila menulis bisa menjadi jalan doa untuk kebaikan bagi sesama bukan hanya di dunia. Bahkan mencapai luasnya semesta. Ruang dan waktu tak membatasi kekuatan doa", tulis beliau dalam artikelnya Menulis sebai Jalan Doa.

Dan keempat, Daeng Khrisna Pabichara. Dalam artikelnya Mantra Opa Tjiptadinata: Menulis Itu Kebutuhan Jiwa, Kompasianer yang masuk Top 5 Influencer Bahasa ini menyebutkan ada 3 manfaat dari menulis: 1) terampil menyelesaikan masalah, 2) meningkatkan daya ingat dan 3) memperbaiki suasana hati.

Apa yang menjadi tujuan dan manfaat dari menulis secara garis besar barangkali sudah terangkum dalam pendapat-pendapat di atas. Namun kita masih bisa menambahkannya seturut pemahaman dan pengalaman kita masing-masing.

Bila kita mau merangkum pendapat-pendapat di atas, ada dua tujuan dan manfaat pokok dari aktivitas menulis: untuk kebaikan diri sendiri dan untuk kebaikan para pembaca.

Namun, apakah aktivitas menulis yang kita lakukan hanya sebatas pada kedua aspek di atas tujuan dan manfaatnya? Adakah tujuan lain yang lebih besar dari pada itu? Terciptanya masyarakat yang berkeadaban, misalnya?

Saya tentu tidak bermaksud mengatakan kalau keempat sahabat kita di atas tidak mencita-citakan terwujudnya masyarakat yang berkeadaban. Begitu banyak artikel yang sudah mereka tulis menjadi bukti betapa mereka ingin turut menyumbang sesuatu untuk kebaikan dan keadaban masyarakat kita.

Kembali ke topik. Ya. Terwujudnya masyarakat yang berkeadaban adalah cita-cita yang diimpikan oleh Alfred North Whitehead. Cita-cita tersebut ia tuangkan dalam dalam salah satu bukunya, yakni Petualangan Gagasan (Adventures of Ideas). Dalam bukunya tersebut, Whitehead menyatakan bahwa "sebuah masyarakat disebut berkeadaban kalau para warganya berpartisipasi dalam lima kualitas, yakni Kebenaran, Keindahan, Petualangan, Seni dan Kedamaian."  

Pemikiran Whitehead, dalam hemat saya, mempunyai kaitan yang sangat erat dengan aktivitas kita menulis di K ini. Secara khusus bila kita mengambil kualitas Petualangan sebagai fokus perhatian. Dalam konteks ini, aktivitas menulis di K bukan hanya sekadar sebagai ajang penyaluran hobi, melainkan sebagai sebuah petualangan gagasan, yang arah dan cita-citanya ialah terwujudnya masyarakat yang berkeadaban.

Whitehead melihat bahwa Petualangan (Adventure) juga merupakan unsur penting dalam peradaban. Menurutnya, ada tiga prinsip penting yang mendasari pentingnya Petualangan dalam masyarakat yang berkeadaban. Ketiga prinsip tersebut ialah prinsip proses, prinsip keterbatasan dan prinsip individualitas.

Prinsip proses hendak memaksudkan bahwa kebudayaan perlu dimengerti secara dinamis sebagai kata kerja dan bukan kata benda. Tidak ada puncak budaya yang tak mungkin berubah lagi. Prinsip keterbatasan juga mendasari pentingnya Petualangan. Setiap capaian budaya, setinggi apa pun, selalu memiliki keterbatasan.

Prinsip yang ketiga yakni prinsip individualitas mau menekankan pentingnya kebebasan individu. Masyarakat yang berkeadaban, menurut Whitehead, memang mencita-citakan terwujudnya Kedamaian dan Keselarasan sosial. Akan tetapi, cita-cita dan upaya perwujudannya tidak boleh mengorbankan kebebasan individu. Untuk itu, ruang bagi Petualangan Gagasan guna mewujudkan alternatif yang mungkin dan membawa pembaruan, harus tetap disediakan.

Kompasiana tiada lain adalah salah satu ruang bagi petualangan gagasan guna terjadinya pembaruan, yakni masyarakat yang berkeadaban. Akan tetapi, petualangan gagasan seperti apa yang harus kita jalani? Petualangan yang bebas tanpa ikatan dan aturan?

Whitehead memang menekankan kebebasan individu. Namun penekanan ini tentu tidak dipahami sebagai sebuah ajakan bagi manusia untuk hidup hanya menuruti keinginan dan nafsu mereka semata. Dengan kata lain, ada aturan dan norma yang harus ditaati. Bila setiap individu hanya menuruti keinginan dan nafsu masing,masing, bukan masyarakat beradab yang tercipta, melainkan masyarakat yang biadab.

Dari pemahaman di atas, kehadiran Kompasiana rasanya tak diragukan lagi selaras dengan cita-cita yang diimpikan oleh Whitehead. Dalam hal apa keselarasan tersebut dapat kita temukan? Menurut pandangan saya, keselarasan tersebut terdapat dalam SYARAT DAN KETENTUAN, khususnya dalam hal KETENTUAN KONTEN no. 11.4, yang berbunyi:

Dengan mendaftar di Kompasiana, Kompasianer memahami dan setuju untuk tidak menggunakan, menempatkan, mengunduh, menautkan, melekatkan dan atau menayangkan Konten yang:

Menghina, menyinggung, melecehkan, merendahkan, mengintimidasi, memicu pertentangan dan/atau permusuhan individu atau kelompok berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA), jenis kelamin, orientasi seksual, usia, atau cacat fisik.

Bila demikian cita-cita luhur yang hendak digapai oleh Kompasiana , maka petualangan gagasan kita di platform blog ini tidak lagi hanya dilihat sebatas mengejar nilai tertinggi, artikel terpopuler, artikel utama, dst. Meski semua itu penting sebagai pembangkit dan pemicu semangat untuk terus menulis, kita harus tetap menyimpan dalam ingatan kita bahwa masyarakat yang berkeadabanlah yang menjadi cita-cita kita bersama.

Selalu ingat akan cita-cita tersebut menjadi penting mengingat masyarakat kita rasanya masih belum berkeadaban. Komentar-komentar rasis warganet terhadap saudara-saudari kita yang ada di Vanuatu sana adalah contah konkretnya. Kenyataan ini harus menjadi pendorong bagi kita agar tak kenal lelah menuangkan gagasan-gagasan yang bisa membawa pembaruan dalam masyarakat.

Masih ada hal lain yang bagi saya penting untuk diperhatikan dalam melakoni petualangan gagasan kita di K ini. Hal tersebut berkaitan dengan prinsip proses, yang oleh Whitehead digolongkan sebagai salah satu prinsip penting dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadaban.

Whitehead sendiri mengkritisi pandangan yang menyatakan bahwa realitas merupakan sesuatu yang material dan statis serta berada di bawah hukum mekanistik belaka. Whitehead memandang realitas sebagai "peristiwa" (event). Realitas, baginya, adalah sebuah proses yang dinamis, bukan sesuatu yang material dan statis.

Eksistensi kita sebagai manusia juga dilihat sebagai sebuah proses menjadi. menjadi manusia itu pertama-tama bukan soal "memiliki" (having), melainkan yang terpenting ialah "menjadi" (becoming).

Bila "memiliki" yang menjadi penekanan atau pencarian utama dalam hidup, orang bisa menjadi begitu egois dan serakah untuk mendapatkan apa yang ia ingin miliki. Sebaliknya, bila "menjadi" yang ditempatkan sebagai prioritas, orang akan menjalani hidup sebagai sebuah proses pengolahan diri yang terus-menerus. Dalam proses pengolahan diri itu, makna "menjadi" akan ditemukan bila orang tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tapi selalu terbuka akan kepahitan, kegelisahan, keputusasaan, penderitan yang dialami orang lain.

Apa kaitannya dengan petualangan gagasan kita di Kompasiana ini? Saya sendiri ketika awal-awal bergabung di Kompasiana juga pernah mengemukakan alasan saya menulis. Karena saya melihat K sebagai sebuah sekolah kehidupan, ada salah satu hal yang waktu itu saya tekankan, yakni soal menikmati dan menghargai proses dan perjuangan. "Orang yang hendak mendaki gunung, bukan melakukannya melompat-lompat, melainkan dengan berjalan setapak demi setapak." Ungkapan inilah yang selalu saya pegang sebagai motivasi hidup.

Berjalan setapak demi setapak memang akan melelahkan. Namun dengan memilih cara ini, saya akan mempunyai banyak waktu untuk merenungkan bahwa kesuksesan, kebahagiaan dalam hidup tidak digapai dengan cara instan.

Kalaupun sudah sampai di puncak, rasa puas bukanlah menjadi kata akhir. Atau dalam bahasa Pak Felix (Felix Tani) dalam artikelnya Matinya Seorang Penulis, seorang penulis akan dikatakan mengalami kematian pada saat dia berpikir telah selesai menulis setelah mengakhiri suatu tulisan dengan paragraf penutup.

Mari kita tetap bersemangat menjalani petualangan gagasan di Kompasiana ini guna tercapainya cita-cita Whitehead dan kita semua: TERWUJUDNYA  MASYARAKAT YANG BERKEADABAN.

Salam. Semoga bermanfaat.

GN. Polandia, 4 Oktober 2020

Referensi:

Dr. Johanis Ohoitimur, MSC, Metafisika sebagai Hermeneutika. Cara Baru Memahami Filsafat Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead, (Jakarta: Obor), 2006.

J. Sudarminta, Mengulik Pemikiran Alfred N. Whitehead tentang Kebudayaan, (Jurnal DISKURSUS, Volume 12, Nomor 1, April 2013) hlm. 32-53.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun