Semula saya menggebu-gebu ingin menyajikan tulisan ini dalam sebuah puisi. Apalagi setelah membaca artikel Romo Bobby (Ruang Berbagi) tentang 5 Keuntungan Menulis Karya Fiksi. Ditambah lagi dengan beliau membesarkan hati saya: "Bisa dicoba buat puisi tentang budaya atau puisi rohani. Yang penting ada sedikit rima dan dari hati yang tulus".
Mendapat inspirasi dan peneguhan, saya pun mencoba dengan setulus hati merangkai kata demi kata agar kalau puisi tersebut nanti sudah rampung, mereka yang membacanya akan terkesima. Namun setelah merasa usaha saya tersebut bak memindahkan air laut ke dalam sebuah lubang pasir, saya pun mundur teratur.
Saya putuskan untuk tidak melanjutkan proyek tendensius saya tersebut. Saya khawatir, jangan-jangan dengan memaksa diri membuat puisi, saya tidak bisa memetik manfaat seperti yang ditulis oleh Romo Bobby, yakni bisa menjadi sarana penyembuhan diri. Alih-alih menjadi sarana penyembuhan, yang ada malah menjadi sarana penyiksaan diri.
Jika digarap dengan serius rasanya tentu bisa menghasilkan puisi yang indah. Namun, jujur akan keterbatasan dan kemampuan diri sendiri itu juga sebuah keindahan. Betul?
Apa gerangan yang terjadi dengan Pilkada di Kabupaten Sintang sehingga membuat saya menjadi begitu dilema antara menuangkannya dalam bentuk puisi atau opini?
Sekedar informasi, Kabupaten Sintang itu letaknya di Provinsi Kalimantan Barat. Dari Ibu Kota Provinsi, Pontianak, kurang lebih 10 jam menggunakan bus dan 31 menit jika melewati jalur udara.
Kembali ke soal pilkada. Untuk diketahui, sudah ada tiga pasangan calon resmi yang akan meramaikan Pilkada Kabupaten Sintang kali ini. Ada pasangan Jarot Winarno-Yosef Sudiyanto (JADI), Askiman-Hatta (KITA) dan Yohanes Rumpak-Syarifuddin (YES).
Pasangan JADI diusung oleh Partai Nasdem, Partai Golkar, PKB, PP dan PKPI. Sementara itu pasangan KITA diusung oleh Partai Demokrat dan Partai Hanura. Sedangkan untuk pasangan YES diusung oleh Partai PDI Perjuangan, Partai PAN, Partai Gerindra, Partai Perindo dan Partai Gelora Indonesia.
Pasangan mana yang berpeluang untuk menang? Strategi apa yang harus digunakan masing-masing calon untuk meraup suara sebanyak-banyaknya? Tulisan ini jauh dari upaya menjawab persoalan tersebut. Biarlah hal itu menjadi urusan para pakar politik dengan analisis-analisis jitunya.
Saya hanya mau mencoba menyoroti perang narasi antarkubu, yang dalam hemat saya sudah menyerempet kepada hal-hal mendasar dalam dan bagi hidup manusia. Bahkan jika mau ditelisik lebih dalam, ada terminologi tertentu yang menjurus kepada rasialisme.