Cara Tradisional Suku Dayak Desa dalam Menyelamatkan Kehidupan
Saya sudah pernah menulis tentang Uniknya Pemberian Nama Anak Secara Adat dalam Suku Dayak Desa. Nama yang diberikan secara adat ini oleh masyarakat Dayak Desa disebut sebagai nama kampung atau nama belah pinang. Mengapa disebut nama belah pinang karena cara pencarian nama tersebut ditentukan dengan menggunakan pinang.
Dalam artikel berikut ini, saya kembali menghadirkan kekayaan adat dan budaya lain yang masih hidup di kalangan sub suku Dayak Desa. Sebuah sub suku yang masuk dalam Rumpun Ibanic.
Adat yang saya maksud ialah penggantian nama anak dan pengangkatan anak. Berkaitan dengan penggantian nama anak memang terasa kontradiktif dengan apa yang sudah saya paparkan dalam artikel tentang pemberian nama anak.
Kontradiktif karena digantinya nama seorang anak secara tidak langsung seakan hendak mengatakan kalau ada yang salah dengan upacara adat pemberian nama yang sudah pernah dilaksanakan.
Barangkali bisa saja ada yang kurang lengkap dalam upacara tersebut. Toh, manusia sendiri bukan makhluk yang sempurna. Kadang kekurangan tetap saja masih dijumpai, meski segala sesuatu dirasa sudah dipersiapkan dengan baik
Terlepas dari itu semua, saya pribadi merasa yakin tidak ada kontradiksi antara upacara adat pemberian nama dan penggantian nama anak. Apalagi, ritus adat tersebut disatukan dengan dan disempurnakan oleh ritus Kristiani.Â
Dalam ritus Kristiani, pada saat pemimpin ibadat memberikan nama Kristiani (nama baptis) kepada si anak, dia akan membubuhkan tanda salib di dahinya. Sebuah tindakan dan ungkapan iman kalau anak tersebut akan senantiasa berada dalam berkat dan lindungan Tuhan.
Adat penggantian nama anak dan pengangkatan anak ini harus dilihat sebagai sebuah realitas tersendiri dalam konteks religiositas manusia Dayak.Â
Bagi masyarakat suku Dayak Desa, kedua adat ini merupakan upaya masyarakat untuk menyelamatkan hidup si anak. Tepatnya menyelamatkannya dari penyakit yang sedang diderita (penggantian nama anak) dan menghindarkannya dari penyakit atau bahaya yang mengancam nyawanya (pengangkatan anak).
Kedua adat tersebut tentu memiliki tata caranya masing-masing. Dalam upacara adat penggantian nama anak, setelah semua proses upacara berlangsung, si anak akan menanam sebatang pohon sabang merah di tempat yang telah ditentukan.
Pohon sabang merah (sawang; andong merah) sudah menjadi ciri khas suku Dayak. Bahkan setiap acara adat sering kali tokoh adat dan masyarakat adat memasangkan daunnya di atas ikat kepalnya.Â
Daun ini digunakan sebagai media untuk membuang segala macam hal buruk, kesialan dan sesuatu yang bersifat tidak baik di dalam kehidupan manusia (www.borneonews.co.id).
Sedangkan, dalam upacara adat pengangkatan anak, proses pengangkatan anak dilakukan di hadapan tua-tua adat. Akan diadakan pemotongan hewan ternak dan penyerahan secara simbolik barang-barang yang memiliki tujuan tertentu yang berkaitan dengan upacara tersebut.
Berkaitan dengan pengangkatan anak, di sini kembali kita diingatkan akan arti penting peran mimpi dalam kehidupan orang Dayak. Mimpi, sebagaimana sudah pernah saya tulis, menjadi sarana bagi leluhur untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada mereka yang masih hidup.
Pesan-pesan tersebut biasanya berkaitan erat dengan keselamatan hidup perorangan maupun warga sekampung. Oleh karena itu, siapa pun warga yang mendapat mimpi tersebut harus disampaikan kepada orang-orang tua atau pengurus adat agar bisa ditindaklanjuti sesegera dan secermat mungkin.
Apakah kedua cara tradisional ini mujarab? Saya memiliki seorang sahabat karib di kampung. Namanya adalah Liguk (nama belah pinang).Â
Sejauh yang saya ingat sahabat saya ini jarang sakit. Hanya memang pernah suatu kali pahanya terluka cukup parah akibat terkena kayu, ketika kami sedang asyik mandi sambil main perang-perangan menggunakan senjata air yang terbuat dari bambu.
Karena alasan melanjutkan pendidikan, saya pun harus meninggalkan kampung halaman. Lama tidak jumpa, ketika suatu kali saya ada kesempatan liburan ke kampung, ternyata teman saya tersebut sudah berganti nama menjadi Vincen.
Saya tidak bertanya lebih jauh kepadanya kenapa sampai bisa berganti nama. Berbekal pengetahuan tentang adat penggantian nama yang masih dipraktekkan di kampung kami, saya hanya menerka-menerka kalau sahabat saya ini pernah mengalami gangguan kesehatan.
Saat ini, Vincen sudah hidu bahagia. Dia sudah menikah dan sudah memiliki dua orang anak perempuan. Yang tak kalah penting dia bisa bersosialisasi dengan baik dan bisa menyumbang tenaga dan pikiran bagi perkembangan dan kemajuan hidup bersama.
Sahabat saya Vincen bukanlah satu-satunya orang di kampung kami yang telah berganti nama. Masih ada beberapa lagi, dan puji Tuhan mereka semua masih bisa menjalani hidup dengan baik dan sehat sampai hari ini.
Kalau masih belum yakin silakan baca artikel Mbak Leya Cattleya "Nama dan Identitas Dayak, Dari Upacara Adat Sampai Upaya Lepas dari Diskriminasi". Dalam artikel tersebut Mbak Leya  membahas panjang lebar tentang suku Dayak.
Memang ada ratusan sub suku Dayak yang hidup di bumi Kalimantan dengan budaya dan bahasa yang hampir sama. Ada juga yang sama sekali berbeda. Namun, apa yang dipaparkan Mbak Leya dapat menjadi gambaran umum dalam memahami manusia Dayak dengan segala adat dan budayanya.
Berkaitan dengan penggantian nama, Mbak Leya menuliskan tentang seorang anak yang sakit-sakitan. Namanya yang agak kurang enak didengar disinyalir menjadi penyebabnya. Namanya adalah, maaf, Vagina.
Orang tuanya tidak tahu apa arti nama tersebut. Pak Mantri, yang tahu arti dari nama tersebut, berdiskusi dan memberikan edukasi kepada orang tua si anak. Ia pun menyarankan kepada mereka untuk mengganti nama tersebut
Dan, sebagaimana yang Mbak Leya tulis, secara ajaib anak perempuan itu menjadi sehat setelah namanya diganti.
Mbak Leya juga mengisahkan tentang proses penggantian nama di kalangan suku Dayak Kenyah. Pada upacara itu, nama yang dipilih dipanggil sebelum sebuah rotan dilengkungkan hingga menjadi dua dan dibakar bagian tengahnya.Â
Bila api menyala dan membakar rotan serta membagi rotan menjadi sama panjang, artinya, nama itu sesuai dengan si anak. Bila tidak sama, maka nama lain akan dipilih dan ritual akan diulang hingga prosesi sesuai dengan yang diharapkan.
                                                                   ***
Begitulah salah satu cara tradisional masyarakat Dayak Desa membebaskan dan menyelamatkan seorang anak dari sakit dan derita yang mengancam hidupnya.
Tentu praktek adat ini masih menyisakan soalan yang dapat didalami lebih lanjut. Semisal, mengapa kedua adat ini hanya berlaku untuk anak-anak? Bukankah yang namanya penyakit itu bisa menyerang siapa saja tanpa memandang usia?
Tafsiran ringan saya mengatakan kalau keberadaan kedua adat ini merupakan bentuk kasih sayang terdalam dari moyang terhadap cucu-cicit mereka. Dan juga, sebagai bentuk keterlibatan spiritual para nenek moyang dalam menjaga eksistensi sebuah komunitas masyarakat adat.
Anak-anak merupakan generasi penerus. Merekalah yang nantinya akan mewarisi, merawat dan menghidupkan kekayaan tradisi dan budaya masyarakat adat setempat. Untuk tujuan tersebut, segala sesuatu yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan mereka sedapat mungkin harus dihindarkan. Dalam konteks inilah kita dapat memahami mengapa kedua upacara adat ini masih dipertahankan oleh masyarakat suku Dayak Desa sampai hari ini.
Salam budaya.
GN, Polandia, 4 September 2020
Terkait:
kompasiana.com/francisnyaming9484
kompasiana.com/francisnyaming9484
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H