Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kita Hidup, Harusnya Menjadi Manusia bagi Sesama, Bukan Menjadi Tuhan: Sejenak Berfilsafat

3 September 2020   16:56 Diperbarui: 3 September 2020   16:59 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot | dokpri

"Belajar Filsafat dari Sebuah Novel Ternyata Mengasyikkan!" Begitulah Pak I Ketut Suweca memberi judul atas artikelnya setelah membaca kembali sebuah novel filsafat, Dunia Sophie karya Jostein Gaarder.

Membaca judul lalu menyimak uraian apik yang beliau paparkan, saya pun meninggalkan jejak di kolom komentar. Dalam komentar tersebut saya berpendapat bahwa belajar filsafat itu lebih banyak menggunakan rasio. Pengandalan rasio, dalam hemat saya, lalu membuat manusia mengagungkan dirinya karena merasa bisa menciptakan dan mengetahui segala sesuatu.

Pak Ketut nampaknya sejalan dengan pandangan saya tersebut. Beliau juga menegaskan bahwa filsafat hanyalah salah satu alternatif bagi manusia agar mampu dan terlatih menggunakan logikanya. Karena hanya salah satu alternatif, beliau mengingatkan bahwa ada banyak hal yang tak bisa dipahami hanya mengandalkan logika.

Bila manusia menggunakan rasionya secara overdosis, peran hati dapat menjadi hilang dalam kehidupan personal maupun komunal. Manusia mengalami kemajuan dalam kecerdasan intelektual, tetapi malah mengalami kemunduran dalam kecerdasan emosional.

Manusia menjadi mati rasa. Kehilangan kepekaan sosial. Ketika manusia sudah mati rasa, maka belas kasih, solidaritas, rasa iba, kasih sayang terhadap sesama dengan sendirinya tidak lagi hadir dalam ruang hidup bersama. Begitulah kira-kira hal yang menjadi kegelisahan kami.

Namun, benarkah demikian adanya? Sungguhkah mereka yang menenggelamkan diri secara serius mempelajari tema-tema filsafat menjadi orang yang terlalu rasional? Menjadi orang yang kurang peka? Sungguhkah filsafat malah menciptakan manusia-manusia yang tidak berperasaan? Manusia yang kehilangan wajah manusiawinya?

Para filsuf pasti akan serentak menampik semua tuduhan tersebut. Mereka justru akan menyerang balik dengan mengetengahkan fakta kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang mengaku diri beragama dan berTuhan. Jika memang kalian mengaku diri beragama dan beriman kepada Tuhan yang maha kasih, mengapa kalian sampai hati membunuh sesamamu sambil menyerukan nama-Nya?

Kalau demikian, manakah yang lebih penting? Rasio atau hati? (dapat juga dibaca sebagai akal budi atau iman?). Kita bisa membentangkan ulasan yang panjang lebar untuk mencari  mana yang lebih penting dan unggul dari antara keduanya. Karena ini hanya sejenak berfilsafat, barangkali lain waktu saja mengelaborasinya hehehe...

Berkaitan dengan kritik pedas yang dilontarkan para filsuf di atas, Gus Dur sudah pernah mengingatkan: "Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan. Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya".

Paus Fransiskus dalam cuitannya pada 22 Agustus 2020 menyampaikan pesan serupa, "Tuhan tidak perlu untuk dibela oleh siapa pun dan Dia tidak ingin nama-Nya digunakan untuk meneror orang lain. Kami menyerukan kepada setiap orang agar berhenti menggunakan agama untuk menghasut, untuk kekerasan, ekstrimisme dan fanatisme buta".

Tuhan memang tidak perlu untuk dibela. Alih-alih menuntut pembelaan, Dia justru selalu menunjukkan belas kasih dan pengampunan kepada umat-Nya.

Izinkan saya membagikan kisah tentang belas kasih dan pengampunan Tuhan itu. Kisah ini tertulis dalam Buku Suci yang menjadi terang dan pelita bagi hidup umat Kristiani. Kisah ini terdapat dalam Injil Yohanes 8:2-11.

Suatu pagi Yesus sedang berada di Bait Allah untuk duduk dan mengajar mereka yang datang kepada-Nya. Lalu, datanglah ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah.

Menurut hukum Taurat perempuan tersebut harus dihukum dengan dilempari batu. Mereka bertanya kepada Yesus apa pendapat-Nya tentang hal tersebut. Yesus sama sekali tidak memberi jawab. Dia hanya membungkuk lalu menulis dengan jarinya di tanah.

Tapi, mereka terus-menerus mendesaknya untuk memberi jawaban. Ia pun bangkit berdiri dan berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."

Mendengar perkataan itu, seorang demi seorang dari mereka pergi mulai dari yang tertua.

Tinggallah kemudian Yesus seorang diri bersama perempuan tersebut. Yesus berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau? Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Sekarang ini, kita sedang berada di perahu yang berbeda, tapi mengalami badai yang sama, yakni pandemi Covid-19. Semoga wabah ini semakin membuat kita menjadi manusia bagi sesama dengan solider dan peka terhadap penderitaan orang lain.

Filsuf Ren Descartes berkata: "Saya berpikir, maka saya ada." Karena dengan berpikir saja tidak cukup bagi kita untuk bereksistensi, maka kita harus menambahkan: "Saya mencinta, maka saya ada."

Salam.

GN, Polandia, 3 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun