Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Uniknya Upacara Pemberian Nama Anak Secara Adat dalam Suku Dayak Desa

30 Agustus 2020   14:53 Diperbarui: 31 Agustus 2020   16:05 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen: saudara di kampung

Ada dua hal yang biasanya diperhitungkan dari nenek moyang tersebut: (1) selama hidupnya dikenal baik, (2) memiliki umur yang panjang (gayu dalam bahasa kampungnya).

Oleh karena pemberian nama belah pinang ini mengambil nama dari nenek moyang yang sudah cukup lama meninggal dunia, kehadiran orang-orangtua sangat diperlukan. Sebab, merekalah yang dianggap mengenal dengan baik bagaimana kepribadian nenek moyang itu selama hidup di dunia ini.

Nama nenek moyang yang akan diberikan itu berasal dari pihak ibu maupun pihak ayah si anak. Hal ini sejalan dengan sistem kekerabatan yang dianut oleh suku Dayak pada umumnya, yakni sistem kekerabatan bilateral. 

Sebuah sistem kekeluargaan dengan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orangtua. Baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah sama-sama diminta untuk mempersiapkan tiga nama.

Upacara pun dimulai dengan terlebih dahulu "menguji" kepantasan ketiga nama yang telah disiapkan oleh pihak ibu (kakak ipar saya). Nama pertama pun disodorkan kepada pemimpin upacara. Setelah menerima nama tersebut, pemimpin upacara, seperti yang terjadi dalam upacara atau ritual adat lainnya, akan melafalkan sebuah mantra khusus.

Mantra ini ditujukan kepada Yang Maha Tinggi (Petara) dengan tujuan memohon perkenanan sekaligus petunjuk atas nama yang telah dipilih tersebut.

Setelah mantra selesai dilafalkan biasanya akan ada jeda sejenak. Selain memberi kesempatan kepada pemimpin upacara adat untuk beristriahat setelah melafalkan mantra yang cukup panjang, jeda ini menjadi kesempatan untuk menikmati hidangan yang telah tersedia. Termasuk tuak yang sudah disediakan.

Setelah masa jeda selesai, pemimpin upacara kemudian mengambil pinang yang tadi sudah dibelah. Lalu, layaknya orang melempar buah dadu, ia melemparkan buah pinang di atas permukaan piring tua yang sudah disiapkan.

Kedua orangtua dan semua yang hadir berdebar-debar menunggu bagaimana hasilnya. Sayang sekali, kedua belah pinang itu sama-sama telentang. Itu artinya, keponakan saya tidak boleh menggunakan nama tersebut.

Karena nama pertama tidak bisa digunakan, maka disodorkanlah nama yang kedua. Rupanya, nama yang kedua ini sama nasibnya dengan nama yang pertama. Lalu, disodorkanlah nama terakhir. Dan lagi-lagi, kedua belah pinang masih saja menunjukkan kalau nama tersebut tidak direstui oleh Petara.

Karena sudah ada tiga nama yang disodorkan oleh pihak si ibu, dan semuanya tidak mendapat perkenanan Petara dan para leluhur, maka sekarang giliran pihak sang ayah yang menyodorkan nama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun