Perjumpaan saya dengan sahabat yang berasal dari benua lain sungguh merupakan pengalaman yang berharga. Ada banyak kisah kehidupan yang telah kami bagikan satu sama lain. Berikut ini adalah salah satu dari kisah tersebut.
Kelas kami hanya terdiri atas 5 orang. Biarpun demikian, kelas kami sudah mewakili 3 benua sekaligus: 3 orang dari Nigeria (Afrika), 1 orang dari Belarus (Eropa) dan saya dari Indonesia (Asia).
Tema kerukunan antarumat beragama memang tidak masuk dalam kurikulum perkuliahan. Namun, karena melihat kami datang dari benua yang berbeda, seringkali dosen kami menyentil tema tersebut. Suatu kali dosen kami pernah mengajukan pertanyaan: Masih adakah optimisme dalam menjalin kerukunan, kerja sama dan dialog dengan umat beragama lain?
Sahabat kami yang dari Belarusia tidak berkomentar karena tema itu bukan realitas yang ia hadapi sehari-hari. Namun, ketika tiba giliran sahabat kami yang dari Nigeria, jawaban menjadi panjang. Menjadi panjang karena mereka bertutur tentang pengalaman kehilangan saudara-saudari mereka.
Dari wajah mereka terpancar rasa sedih yang begitu mendalam. Rasa sedih yang disertai dengan amarah yang sepertinya sudah memuncak, namun tak tahu kepada siapa harus dialamatkan.
Kisah pahit tentang kehidupan biasanya melahirkan harapan dan optimisme. Tapi, sepertinya tidak demikian dengan mereka. Sahabat-sahabat saya ini pesimis, untuk tidak hendak mengatakan sangat pesimis, akan terciptanya dialog serta kerukunan antarumat beragama di negara mereka.
Nada sedih, marah dan sikap pesimis muncul bukan tanpa alasan. Kehadiran salah satu kelompok ekstrimis, Boko Haram, menjadi alasan utamanya. Sebuah kelompok yang terkenal dengan kebengisannya. Mereka tidak segan untuk membunuh.
Sampai hari ini sudah banyak warga Nigeria yang menjadi korban kebrutalan mereka baik umat Katolik maupun umat Muslim. Namun, menurut kisah yang dituturkan teman kami tersebut umat Katolik sering kali menjadi sasaran utama dari aksi bengis mereka. Sebab, tujuan utama mereka ialah hendak mendirikan negara Islam.
Bahkan pernah suatu kali, beberapa pria bersenjata dengan menyamar sebagai tentara masuk ke sebuah Seminari Tinggi (tempat pendidikan untuk calon pastor). Sampai di dalam, mereka menembakkan senjata secara sporadis, mengambil laptop dan handpone sebelum menculik empat orang seminaris. Beberapa hari kemudian dikabarkan bahwa satu dari keempat seminaris dibunuh oleh penculik, sementara ketiga yang lainnya dibebaskan
Para korban di atas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak umat Katolik yang telah menjadi korban kebengisan Boko Haram.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Kepada mereka saya menceritakan kalau Indonesia itu merupakan rumah bagi keragaman suku dan agama. Sebuah kenyataan yang membuat mereka terkagum-kagum sekaligus terheran-heran. Mereka terheran-heran, terutama rekan-rekan saya dari Nigeria, karena sulit membayangkan bagaimana masyarakat bisa hidup berdampingan dengan sesama yang berbeda keyakinan.
Berbeda dengan rekan-rekan yang berasal dari Nigeria, yang begitu pesimis soal terciptanya dialog serta kerukunan antar umat beragama di negara mereka, saya dengan yakin mengatakan kalau saya memiliki optimisme yang tinggi. Saya optimis karena saya yakin masih banyak orang yang berkehendak baik di negeri ini yang mau bekerja sama dalam menciptakan persatuan dan kerukunan.
Ya. Kita harus memiliki harapan dan optimisme akan terwujudnya kerukunan antarumat beragama di tanah air kita yang tercinta ini. Namun, harapan dan optimisme itu juga musti dibarengi dengan tindakan nyata.
Memajukan dialog merupakan tindakan nyata yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Ada empat bentuk dialog yang dapat kita wujudkan: (1) dialog kehidupan, (2) dialog karya, (3) dialog pandangan teologis, (4) dialog mengenai pengalaman keagamaan.
Dialog kehidupan maksudnya mengajak setiap kita hidup dalam semangat keterbukaan dan bertetangga, saling membagi kegembiraan dan kedukaan, dan aneka pengalaman hidup lainnya. Dialog karya artinya kita mengungkapkan kerja sama konkret dalam rupa-rupa perjuangan demi pembangunan manusia dan pencapaian keadilan.
Sementara dialog pandangan teologis menjadi wilayah yang melibatkan para ahli dari masing-masing agama dalam usaha saling mendengarkan dan memperkaya nilai-nilai keagamaannya. Terakhir, dialog mengenai pengalaman keagamaan mengajak setiap pribadi untuk saling membagikan kedalaman pengalaman rohaninya.
Setiap agama mempunyai keunikan dan kekayaan tersendiri berkaitan dengan doa, kontemplasi dan aneka cara dalam mendekatkan diri kepada Allah. Kekayaan tersebut layak untuk dibagikan kepada saudarai-saudari dari agama lain.
Keempat bentuk dialog di atas tentulah tidak sebatas hanya diarahkan untuk saling memahami dan memperkaya. Lebih dari itu, kerukunan yang terjali lewat dialog akan menciptakan ekosistem yang kondusif. Dan, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan (14/8/2020), ekosistem nasional yang kondusif akan sangat membantu dalam menumbuhkan ekosistem nasional yang produktif dan inovatif.
Mari kita perhatikan sejenak gambar di atas. Seperti yang saya tulis di caption, itu adalah walnut. Walnut memiliki tekstur kulit yang lumayan keras. Seorang rekan pastor asal Belarusia suatu kali menunjukkan kepada saya bagaimana cara membukanya.
Dia mengambil dua buah biji walnut, lalu menempatkannya di atas telapak tangannya. Setelah itu, dengan sekuat tenaga dia mengatupkan kedua tangannya. Apa yang terjadi? Salah satu dari kacang walnut itu, kulitnya remuk, hancur berkeping-keping.
Saya pun mencoba melakukan hal yang sama. Namun, perlu beberapa kali untuk mencoba sampai bisa berhasil. Bahkan kadang tidak berhasil sama sekali.
Cara rekan saya membuka walnut dengan menggunakan yang satu untuk meremukkan yang lain, menghantar saya pada permenungan akan hidup itu sendiri. Haruskah kehidupan bersama dijalani dengan saling menghancurkan, saling menyingkirkan, saling membinasakan?
Dalam rangka mencapai kemajuan Indonesia seperti yang diimpikan oleh Presiden Joko Widodo dan kita semua, cara-cara di atas tentulah tak dapat kita gunakan. Kerukunan dan kemajuan bangsa bukan dicapai dengan saling sikut dan gontok-gontokan.
Kemajuan tersebut, seperti ditegaskan oleh Presiden Jokowi, harus berakar kuat pada ideologi Pancasila dan budaya bangsa. Kemajuan Indonesia membutuhkan semangat kebangsaan yang kuat. Semangat kebangsaan tersebut ialah kerja sama, gotong royong dan saling membantu.
Salam. Semoga bermanfaat.
Gregorius Nyaming, Polandia, 28 Agustus 2020
Referensi
https://jeo.kompas.com/naskah-lengkap-pidato-kenegaraan-presiden-jokowi-2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H