"Dorongan untuk membalas dendam dan rasa benci bukanlah penasihat yang baik untuk membangun landasan bagi keadilan dan perdamaian" -- Johann Baptist Metz
Negara Polandia, tempat saya menempuh studi saat ini, belum lama ini mengadakan pemilihan presiden. Pada putaran kedua terjadi pertarungan sengit antara Andrzej Duda dan Rafa Trzaskowski. Duda adalah calon petahana. Seorang Katolik sejati dan konservatif. Sementara itu lawannya, Trzaskowski, adalah seorang liberal.
Di antara sekian banyak isu yang digoreng selama kampanye, isu LGBT menjadi salah satu isu yang membuat penduduk Polandia bersitegang. Duda, sebagai seorang konservatif, selama masa kampanye dengan terang-terangan menyatakan: "LGBT merupakan sebuah ideologi yang lebih berbahaya daripada komunisme".
Pernyataan tersebut tentu menyakitkan banyak pihak, terutama kaum LGBT dan mereka yang pro LGBT. Bahkan Uni Eropa menghentikan bantuan dana kepada beberapa kota di Polandia yang dengan tegas menyatakan diri "BEBAS DARI LGBT".
Uniknya, meski pernyataannya itu mengundang banyak protes, Duda akhirnya kembali memimpin Polandia dengan perolehan suara 51%, dan 48% untuk Trzaskowski.
Pertanyaan kemudian tentu saja bagaimana nasib kaum LGBT? Masihkah mereka mendapat tempat di sebuah negara yang presiden dan beberapa masyarakatnya terang-terangan menolak keberadaan mereka? Beberapa masih berjuang agar hak mereka diakui oleh pemerintah. Namun, ada beberapa yang terpaksa meninggalkan negaranya sendiri. Mereka mencari tempat di mana eksistensi mereka diakui dan dihargai.
Jangan tanyakan tentang peran Gereja di balik kesuksesan Duda. Tentu ada. Tapi, kita juga tidak bisa langsung menuduh Gereja menghasut masyarakat untuk membenci kaum LGBT. Polandia, kita tahu, adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Katolik. Namun, terlepas dari realitas ini, masyarakat Polandia sudah lama diajarkan bahwa sebuah keluarga itu terdiri dari suami dan istri, dari orangtua dan anak.
Ajaran tersebut sungguh mereka yakini kebenarannya karena keluar dari mulut orang yang sangat mereka kagumi. Orang yang hidupnya suci dan bersahaja: St. Paus Yohanes Paulus II. "Keluarga,  yang didasarkan pada cinta kasih serta dihidupkan olehnya merupakan persekutuan pribadi-pribadi: suami dan istri, orangtua dan anak-anak, sanak-saudara.", begitu ajaran yang ia tuangkan dalam Anjuran Apostolik Familiaris  Consortio (Tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern).
Fokus saya bukan pada peran Gereja. Terkait dengan kaum LGBT, yang entah sampai kapan akan terus berdarah-darah memperjuangkan haknya, dan bahkan ada yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya, saya hanya hendak menunjukkan bahwa persaingan politik seringkali menyisakan luka dan derita. Ibarat peribahasa: "Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah".
Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke-75 ini kiranya baik untuk kita renungkan bersama betapa pentingnya kebersamaan dan persatuan dalam membangun dan memajukan negeri ini. Kita sudah lelah menyaksikan konflik dan permusuhan. Menyedihkan memang ketika sesama saudara yang seharusnya menjadi rekan seperjalanan dalam membangun negeri ini, justru kadang menjadi korban kebencian dan kekerasan hanya karena berbeda suku, bahasa, ras dan agama. Ketika sesama anak bangsa saling membenci dan menghujat hanya karena berbeda pilihan dan dukungan dalam politik. Konflik dan permusuhan hanya mendatangkan derita dan kepedihan.
Kita merindukan hidup yang penuh damai. Namun, hidup yang penuh damai itu akan bisa tercipta bila kita memiliki pedoman yang bisa menjadi pijakan kita bersama. Menemukan pedoman bersama menjadi penting sebab bila kita berbicara tentang manusia Indonesia, kita berbicara tentang keragaman suku, bahasa dan agama yang menjadi ciri khas bangsa kita. Menjadikan seperangkat aturan atau dogma dari sebuah suku atau golongan sebagai pedoman hidup bersama menjadi satu hal yang mustahil sebab hanya akan menimbulkan benturan-benturan antarsesama putra-putri bangsa.
Apa kemudian pedoman yang bisa menjadi pijakan kita bersama? Â Jawabannya tak lain ialah Pancasila. Mengapa Pancasila? Seorang sosiolog Perancis, Alain Touraine, berpendapat bahwa realitas sosial sekian lama dianalisis dari paradigma politis: tertib dan tidak tertib, perang dan damai, raja dan bangsa, revolusi. Lalu paradigma politis ini digantikan oleh paradigma sosial dan ekonomi: kekayaan dan kelas sosial, borjuis dan proletariat, stratifikasi dan mobilitas sosial, ketidakseimbangan dan redistribusi.
Kita memerlukan paradigma baru dalam memahami serta menata dunia. Paradigma yang dimaksud ialah menggunakan paradigma kultural. Dengan menggunakan bahasa atau kategori-kategori kultural penekanan diberikan pada betapa pentingnya relasi setiap orang dengan dirinya sendiri dalam keterlibatannya menata kehidupan sosial. Paradigma ini, dengan kata lain, sungguh menempatkan manusia sebagai subjek. Subjek yang memiliki kebebasan serta mempunyai kapasitas untuk berkembang dan mengolah diri baik secara individual maupun kolektif (Alain Touraine, A New Paradigm for Understanding Today's World).
Apa yang digambarkan oleh Alan Touraine sangat aktual dengan situasi bangsa kita. Â Bahasa-dan kategori-kategori politis seakan-akan hampir memenuhi setiap sendi kehidupan kita. Akibatnya, pola pikir kawan-lawan, musuh-sahabat, mempengaruhi tindakan dan pola pikir kita. Dengan pola pikir demikian, kita akan mencurahkan segenap tenaga mencari strategi yang jitu untuk menjatuhkan para lawan kita. Dan, strategi yang dipakai seringkali kotor dan licik.
Bila kita sepakat dengan gagasan Alan Touraine yang menjadikan paradigma kultural sebagai sarana untuk memahami dan menata kehidupan bersama, maka menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup bersama adalah sebuah langkah untuk mewujudkan damai tersebut.
Kita tidak ingin selalu hidup dalam ketegangan, pertikaian dan permusuhan. Sebaliknya, kita ingin hidup dalam suasana rukun dan damai satu sama lain. Dalam suasana demikian, kita akan sampai pada kesadaran bahwa masing-masing kita memiliki peran yang sangat penting dalam menata bangsa ini menjadi tempat yang nyaman untuk didiami. Juga dalam suasana yang rukun dan damai, kita bisa mengolah diri sehingga bisa berkembang, baik secara individual maupun secara kolektif sebagai sebuah bangsa yang semakin harmonis, humanis dan toleran.
Selamat HUT Kemerdekaan RI ke-75. Jayalah selalu Indonesiaku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H