Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Pidato Kenegaraan, Presiden Mengingatkan Relasi yang Erat antara Budaya Bangsa dan Kemajuan Indonesia

16 Agustus 2020   05:31 Diperbarui: 16 Agustus 2020   05:19 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pemahaman ini, model antropologi akan menekankan bahwa di dalam budaya manusia-lah kita dapat menemukan pewahyuan Allah. Mereka yang menenggelamkan diri dalam model ini berusaha mencari pewahyuan dan penyataan diri Allah yang tersembunyi dalam nilai-nilai, pola-pola relasional dan keprihatinan-keprihatinan dari sebuah konteks.

Berangkat dari pemahaman di atas, saya pun ingin memustakan diri pada nilai dan kebaikan yang terdapat dalam kearifan berladang suku Dayak. Mengapa kearifan berladang? Pertama-tama, karena kearifan berladang itu merupakan sebuah budaya bangsa. Dan, dari kearifan berladang masyarakat dapat disadarkan akan pentingnya peran serta mereka dalam mencapai kemajuan seperti yang diimpikan oleh Presiden dan kita semua.

Bila memang kemajuan Indonesia bisa dicapai lewat kerja sama, gotong royong dan saling membantu, saya memiliki keyakinan bahwa masyarakat suku Dayak, dalam hal ini para peladang, juga turut berperan serta dalam proses pencapaian kemajuan tersebut.

Bagian dari kearifan berladang, dalam hemat saya, yang menampakkan secara gamblang peran serta dari masyarakat ialah tradisi beduruk. Tradisi beduruk, sebagaimana sudah pernah saya jelaskan, diartikan sebagai kerja gotong royong dalam mengerjakan ladang. Sebagai sebuah bentuk kerja gotong royong, tradisi ini sangat menekankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Tradisi ini menampilkan dengan gamblang semangat kebersamaan dan persaudaraan antarasesama warga. Semangat ini tumbuh karena masing-masing warga menganggap sesama sudah seperti keluarga dan saudara sendiri. Begitu juga, ladang orang lain sudah dianggap seperti ladang sendiri. Karena itu, mereka akan bekerja secara total dan penuh tanggung jawab dalam mengerjakan ladang milik orang lain.

Sebagai sebuah bentuk kerja gotong royong, tradisi ini juga menekankan partisipasi yang penuh dan total dari setiap mereka yang terlibat di dalamnya. Semua mereka berperan aktif demi mencapai satu tujuan bersama: ladang mereka bisa mendatangkan hasil yang berlimpah.

Melihat partisipasi warga yang begitu tinggi dalam proses pengerjaan ladang, saya berani mengatakan bahwa tradisi beduruk dapat menjadi sarana dalam upaya menyadarkan umat akan pentingnya partisipasi aktif mereka dalam memajukan bersama. Baik dalam lingkup sosial kemasyarakatan mapun dalam ranah keagamaan.

Dalam Hidup Keagamaan

Gereja Katolik, melalui Konsili ekumenis Vatikan II, membawa pembaharuan (aggiornamento) bagi wajah Gereja. Pembaharuan ini berangkat dari terabaikannya peran dan partisipasi umat beriman dalam karya kerasulan Gereja yang disebabkan oleh dominasi kaum tertahbis. Gereja sebagai communio (persekutuan), kemudian, menjadi tema sentral yang diusung oleh Konsili Vatikan II. Dengan model Gereja sebagai communio, pertumbuhan dan perkembangan Gereja tidak lagi hanya berada pada tangan hierarki, tetapi dalam kerja sama hierarki dengan umat beriman.

Rasul Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaaat di Korintus mengajarkan bahwa dalam diri umat beriman ada rupa-rupa karunia. Karunia-karunia itu berasa dari Roh yang satu dan sama, dan digunakan sebagai sarana pelayanan dan perkembangan Gereja (bdk. 1 Kor 12:1-11). Paham inilah yang juga menjadi dasar mengapa partisipasi umat beriman sangat ditekankan.

Berbicara tentang partisipasi umat beriman juga tak bisa tidak berbicara tentang peran serta kaum perempuan. Agar bisa bertumbuh dan berkembang, Gereja tidak boleh menepikan bahkan mereduksi peran kaum perempuan dalam kehidupan keagamaan. Peran dan kehadiran mereka harus sungguh-sungguh dihargai, sehingga Gereja tidak terkesan arogan, kaku dan berkuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun