Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berfilsafat dari Pengalaman Hidup Sehari-hari

13 Juli 2020   19:53 Diperbarui: 31 Mei 2021   13:58 2806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berfilsafat dari Pengalaman Hidup Sehari-hari (Sumber ilustrasi: kukakasih.wordpress.com)

Belajar atau membaca buku-buku filsafat itu kadang memusingkan, namun juga mengasyikkan. Bahkan saat pertama kali mendengar kata filsafat saya sempat memosisikan diri pada golongan yang meyakini bahwa filsafat tiu tidak akan banyak berfaedah untuk memahami dan memaknai kehidupan.

Filsuf Sokrates, dalam hal ini, telah menyadarkan saya dengan perkataannya yang terkenal itu, bahwa, "Hidup yang tak direfleksikan, adalah hidup yang tak layak untuk dijalani".  

Dengan berkata demikian sang filsuf mengingatkan saya untuk tidak mengabaikan setiap pengalaman yang saya alami dalam hidup. Setiap pengalaman, bahkan yang nampak begitu kecil dan sederhana sekalipun, pastilah memiliki maknanya masing-masing.

Dari pengalaman yang sederhana itu-lah refleksi filosofis ini lahir. Pengalaman ini terjadi di awal-awal saya menginjakkan kaki di tanah Eropa dalam rangka menuntut ilmu. 

Baca juga : Menjadi Manusia Tangguh dengan Filsafat Teras

Saya tinggal di sebuah asrama di mana pimpinan asrama dan para penghuni lainnya sangat baik dan ramah. Sebagai orang asing tentu saya selalu memegang prinsip: Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Atau seperti pepatah yang serupa "When in Rome, do as the Romans do".

Namun, pada suatu hari Minggu ada sebuah pengalaman yang cukup menyentakkan saya. Setelah hari-hari biasa sibuk dengan tugas-tugas, saya berpikir bahwa hari Minggu adalah hari yang tepat untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan. Salah satunya ialah mencuci pakaian. Maka pergilah saya ke ruang cuci. 

Dalam perjalanan kembali ke kamar saya berpas-pasan dengan pimpinan asrama. Dengan raut wajah sedikit keheranan beliau bertanya, "Kamu mencuci pakaian hari ini?" Melihat saya mengiyakan, beliau melanjutkan, "Hal ini tidak biasa bagi kami". 

Saya pun pergi dengan perasaan tidak nyaman karena sadar sudah tidak menghargai hari Minggu, yang bagi mereka adalah hari untuk beristirahat.

Ketika sampai di kamar saya duduk terdiam merenungkan pengalaman tersebut. Permenungan saya sampai pada predikat yang sering disematkan pada manusia sebagai "makhluk yang tak pernah puas". 

Baca juga : Opini terhadap Pendapat Dihapusnya Pemilu Kepala Desa Secara Filsafat

Dalam ketidakpernahpuasannya, manusia selalu menumpuk dan terus menumpuk. Ia senantiasa mencari celah untuk memenuhi hasratnya, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang diinginkan.

Saya bersyukur dalam perjalan kembali ke kamar berjumpa dengan pimpinan asrama. Percakapan singkat dengannya seakan memecah kebekuan hati. Hati yang seringkali menjadi beku karena terlalu sering memikirkan diri sendiri dan abai dengan kebutuhan dan kesulitan sesama.

Berkat filsafat-lah saya bisa sampai pada kesadaran tersebut. Dengan belajar filsafat saya diingatkan untuk menjadi rendah hati. Memiliki kerendahan hati menjadi sangat penting karena ketika saya belajar filsafar, saya tidak boleh mengklaim pemikiran-pemikiran saya sebagai kebenaran absolut. 

Apalagi sampai memaksa orang lain untuk mengakui kebenarannya. Jika saya tidak memiliki kerendahan hati, saya bisa saja berdebat untuk mencari pembenaran atas tindakan saya tersebut.

Erat kaitannya dengan sikap untuk tidak mengabsolutkan pemikiran diri sendiri ialah penekanan dalam filsafat, di mana menjadi manusia itu pertama-tama bukan soal "memiliki" (having), melainkan yang terpenting ialah "menjadi" (becoming).

Bila "memiliki" yang menjadi penekanan atau pencarian utama dalam hidup, orang bisa menjadi begitu egois dan serakah untuk mendapatkan apa yang ia ingin miliki. 

Baca juga : Hidup dari Sudut Filsafat

Sebaliknya, bila "menjadi" yang ditempatkan sebagai prioritas, orang akan menjalani hidup sebagai sebuah proses pengolahan diri yang terus-menerus. 

Dalam proses pengolahan diri itu, makna "menjadi" akan ditemukan bila orang tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tapi selalu terbuka akan kepahitan, kegelisahan, keputusasaan, penderitan yang dialami orang lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun