Dalam ketidakpernahpuasannya, manusia selalu menumpuk dan terus menumpuk. Ia senantiasa mencari celah untuk memenuhi hasratnya, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang diinginkan.
Saya bersyukur dalam perjalan kembali ke kamar berjumpa dengan pimpinan asrama. Percakapan singkat dengannya seakan memecah kebekuan hati. Hati yang seringkali menjadi beku karena terlalu sering memikirkan diri sendiri dan abai dengan kebutuhan dan kesulitan sesama.
Berkat filsafat-lah saya bisa sampai pada kesadaran tersebut. Dengan belajar filsafat saya diingatkan untuk menjadi rendah hati. Memiliki kerendahan hati menjadi sangat penting karena ketika saya belajar filsafar, saya tidak boleh mengklaim pemikiran-pemikiran saya sebagai kebenaran absolut.Â
Apalagi sampai memaksa orang lain untuk mengakui kebenarannya. Jika saya tidak memiliki kerendahan hati, saya bisa saja berdebat untuk mencari pembenaran atas tindakan saya tersebut.
Erat kaitannya dengan sikap untuk tidak mengabsolutkan pemikiran diri sendiri ialah penekanan dalam filsafat, di mana menjadi manusia itu pertama-tama bukan soal "memiliki" (having), melainkan yang terpenting ialah "menjadi" (becoming).
Bila "memiliki" yang menjadi penekanan atau pencarian utama dalam hidup, orang bisa menjadi begitu egois dan serakah untuk mendapatkan apa yang ia ingin miliki.Â
Baca juga : Hidup dari Sudut Filsafat
Sebaliknya, bila "menjadi" yang ditempatkan sebagai prioritas, orang akan menjalani hidup sebagai sebuah proses pengolahan diri yang terus-menerus.Â
Dalam proses pengolahan diri itu, makna "menjadi" akan ditemukan bila orang tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tapi selalu terbuka akan kepahitan, kegelisahan, keputusasaan, penderitan yang dialami orang lain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H