Pembuatan sesajen ini merupakan salah satu syarat yang tak boleh diabaikan. Lewat sesajen, warga menghaturkan persembahan kepada Sang Petara sekaligus juga memohonkan berkat atas ladang yang sebentar lagi akan ditanami.
Dalam pesta syukur atas hasil panen (gawai), sebagai proses ketiga, juga kaya dengan ritual-ritual. Pesta syukur ini merupakan pesta besar dan penting dalam masyarakat Dayak.
Sebagai rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh, setiap keluarga akan membuat pegelak (sesajen) sebagai bentuk persembahan untuk Sang Petara Raja Juwata, Pencipta semesta alam dan juga kepada Puyang Gana, sang Penguasa tanah.
Pesta tutup tahun (gawai) tidak hanya menandai suatu kejadian penting dalam kehidupan mereka, tetapi juga berhubungan dengan pengalaman supernatural warga masyarakat, di samping juga menampilkan teguhnya ikatan komunitas dalam masyarakat.
Sementara itu, berladang sebagai harmonisasi dengan sesama manusia dapat diamati dari kelompok gotong-royong yang mereka bentuk dalam mengolah ladang. Kelompok ini terbuka untuk siapa saja tanpa memandang status sosial atau hubungan kekeluargaan.
Keterbukaan ini tentu saja membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi warga untuk menjalin relasi dan kerja sama dengan siapa saja. Keharmonisan juga terpancar lewat rasa saling memiliki di antara sesama anggota. Setiap anggota selalu menganggap yang lain sebagai saudara dan keluarga sendiri.
Demikian juga dengan ladang orang lain selalu dilihat sebagai ladang sendiri. Sehingga di ladang siapa pun, mereka akan bekerja secara total dan penuh dengan tanggung jawab.Â
Lewat gotong royong ini, mereka memiliki satu tujuan yakni agar pengolahan ladang semua anggota bisa selesai tepat waktu dan bisa menghasilkan panen yang baik.
Karena itu, ketika ada salah satu anggota atau salah satu warga, dan hal ini seringkali terjadi, pekerjaan ladangnya masih cukup banyak, maka anggota/warga lain akan dengan sukarela mengulurkan tangan untuk membantu.
Terakhir, berladang sebagai harmonisasi dengan alam. Alam dan suku Dayak tak akan pernah dapat dipisahkan. Sudah sejak zaman leluhur alam menjadi penopang hidup yang tak tergantikan.Â
Sadar akan hal ini, para leluhur mewariskan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bisa menjadi penuntun bagi keturunan-keturunan yang kemudian, khususnya dalam mengolah alam.