Tuntutan mereka hanya satu: keenam saudara mereka itu harus bebas dari semua tuntutan hukum. Mereka berjuang sekuat tenaga agar tuntutan ini dipenuhi. Sebab jika tidak, maka ke depannya para peladang terancam tidak bisa lagi meneruskan kearifan lokal ini.
Perjuangan mereka selama kurang lebih 8 bulan akhirnya membuahkan hasil setelah pada tanggal 9 Maret 2020, Pengadilan Negri Sintang membebaskan enam peladang itu dari semua bentuk dakwaan. Â
Berladang sebagai Kearifan Lokal
Bagi Suku Dayak, alam adalah segalanya. Sudah sejak zaman para leluhur alam menjadi elemen yang sangat penting dalam menunjang keberlangsungan hidup. Sadar akan hal ini, para leluhur pun mewariskan cara-cara tradisional namun sangat bijaksana dalam mengolah lahan pertanian.
Karena itu, sesungguhnya tuduhan yang sering dialamatkan kepada para peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan sangatlah tidak beralasan.Â
Hal penting yang harus diketahui ialah bahwa aktivitas berladang tidak dilandasi oleh motif keuntungan ekonomis. Tujuan berladang hanyalah semata-mata untuk menghasilkan padi yang kemudian diolah menjadi nasi sebagai sumber makanan utama sehari-hari.Â
Keluarga yang mendapat hasil panen yang banyak tidaklah dibayangkan akan mendapat uang yang banyak pula, karena memang padi yang didapat bukan untuk diperjualbelikan. Kalau pun ada warga yang menjualnya, itu hanya akan dilakukan dalam keadaan yang sangat-sangat mendesak.
Sebagian besar suku Dayak memiliki keyakinan kalau tindakan menjual padi itu adalah pamali. Karena itu, para petani tidak pernah membuka lahan dalam skala besar sebagaimana yang dijumpai dalam perkebunan sawit. Mereka juga menggunakan pupuk dan pestisida masih dalam takaran yang wajar, sehingga tidak berpotensi merusak lingkungan dan ekosistem lain.
Pembuatan peladak merupakan salah satu cara yang digunakan oleh warga untuk mencegah kerusakan hutan. Peladak merupakan jalur yang dibuat mengelilingi ladang, lebarnya berkisar antara 0,5-1 meter, yang fungsinya untuk mencegah api menjalar keluar ketika ladang dibakar.
Saat membakar ladang warga akan berdiri di jalur ini untuk memastikan api tidak menjalar ke tempat lain. Mengingat adanya risiko kebakaran hutan dari aktivitas berladang ini, proses pembakaran lahan selalu melibatkan orang ramai.
Warga tidak pernah, dan memang tidak diizinkan, membakar ladang miliknya hanya seorang diri. Karena itu, hukuman adat menanti mereka, yang karena kelalaiannya saat membakar ladang, menyebabkan kerusakan lahan atau kebun milik orang lain.