Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasi dan Kentang: Belajar Saling Memahami dan Menghormati

1 Juli 2020   14:45 Diperbarui: 1 Juli 2020   14:49 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada sesuatu yang masih mengganjal nalar dan nurani mengapa saya menuangkan tulisan ini. Seperti biasa, sebagai seorang asing yang tinggal di luar negeri, salah satu dokumen yang harus dimiliki ialah asuransi kesehatan.

Suatu kali saya pergi ke kantor asuransi untuk membelinya. Saya dilayani oleh seorang ibu yang sudah cukup berumur, yang dengan ramah melayani saya. Sambil mengisi data-data yang diperlukan, kami pun terlibat dalam percakapan meski beberapa pertanyaan yang dia ajukan tidak bisa saya tangkap karena dalam bahasa Polandia.

Pembicaraan kami pun sampai pada soal makanan. Si ibu itu dengan riang mengatakan kalau kentang merupakan salah satu makanan kesukaannya. Saya pun mengiyakannya sambil mengatakan kalau saya juga suka makan kentang meskipun tidak setiap hari. Namun, ketika saya mengatakan kalau makanan kesukaan dan utama saya ialah nasi, si ibu langsung menunjukkan reaksi yang sedikit kurang simpatik. Saya pun hanya tersenyum karena menyadari kentang dan roti adalah makanan utama mereka, bukan nasi.

Sedikitpun saya tidak merasa tersinggung. Setiap suku bangsa memiliki keunikannya masing-masing. Lidah kita memang sama bentuknya, tapi soal makanan lidah kita juga tergantung pada suku atau lingkungan di mana kita hidup dan dibesarkan. Saya berasal dari Sintang, Kalimantan Barat. Ada salah satu makanan khas di bumi Kalimantan, yakni tempoyak (makanan yang terbuat dari durian yang sudah matang, dan mengeluarkan aroma yang cukup menyengat).

Saya pribadi sangat menyukai makanan ini. Apalagi kalau masak ikan asam pedas lalu dicampur dengan tempoyak maka akan menimbulkan aroma dan rasa tersendiri, yang tentu saja bagi sebagian orang akan menggugah selera makan. Saya mengatakan bagi sebagian orang karena tentu saja tidak semua orang menyukai makanan ini. Sekalipun bagi saya tempoyak itu sangat nikmat, saya tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukainya.

Kembali ke percakapan saya dengan ibu di atas. Bagi saya, percakapan tersebut bukan hanya soal makanan semata. Bukan hanya sebatas soal nasi dan kentang. Lebih dari itu, persoalan ini menyangkut pola pikir dan pola sikap terhadap orang lain. Untuk hendak mengatakan sebuah cara pandang yang menjadikan budaya, pola pikir, agama kelompok atau golongan sendiri sebagai tolak ukur dalam memandang orang lain.

Saya membayangkan seandainya semua orang punya cara berpikir seperti si ibu tersebut (meski di mata saya ibu tersebut tidak bermaksud merendahkan) betapa dunia kita akan selalu berada dalam ketegangan.

Kita akan selalu bersitegang memperdebatkan pola pikir atau pola sikap mana yang paling penar. Sebagai hasil, kalau salah satu pihak sudah menganggap diri sebagai yang paling benar, lalu memandang rendah pihak lain, maka konflik pun sering tak dapat dihindarkan. Gesekan ini akan selalu membawa korban karena pihak yang merasa diri paling benar akan memandang pihak lain yang berbeda dengannya sebagai musuh atau lawan. Karena itu, sah-sah saja untuk dimusnahkan.

Sebuah Pelajaran dari Thailand

Ada satu peristiwa menarik yang terjadi di Thailand yang telah menyita perhatian dunia. Tepatnya pada Juni 2018 bertepatan dengan keriuhan Piala Dunia di Rusia. Peristiwa tersebut terjadi di sebuah gua yang bernama Tham Luang, Provinsi Chiang Rai.

Di dalam gua tersebut terjebak sekelompok remaja klub sepakbola bersama pelatih mereka. Kabar tersebut seketika saja menggerakkan hati banyak orang untuk turut membantu mereka keluar dari gua tersebut. Bahkan seorang dokter asal Australia yang memiliki keahlian cave-diving, Dr. Richard Harris, membatalkan liburannya di Thailand ketika mendengar kabar ada 13 orang terjebak dalam gua Tham Luang. Ia datang menawarkan diri untuk membantu. Akhirnya, berkat bantuan dan kerja sama berbagai pihak, setelah selama 17 hari terjebak di dalam gua, ketigabelas remaja tersebut dapat dikeluarkan dengan selamat.

Apa yang menggugah nurani ialah kekompakan dan kerja sama yang tinggi di antara para warga. Mereka menunjukkan semangat solidaritas yang tinggi demi keselamatan para remaja tersebut, yang tentu saja mereka pandang sebagai anak sendiri. Seorang ibu mendapat kiriman foto dari temannya seragam tim penyelamat yang sangat kotor dan tidak dicuci selama berhari-hari. Ia pun dengan suka rela mengumpulkan seragam-seragam tersebut, membawa pulang dan mencucinya. Bersama rekan-rekan yang lain, ia hampir bekerja semalaman mengingat seragam itu harus dikembalikan esok paginya untuk digunakan tim penyelamat.

Salah seorang relawan mengatakan bahwa ia tidak bisa terjun secara langsung ke dalam gua untuk menyelamatkan saudara-saudaranya. Mencuci seragam tim penyelamat merupakan satu-satunya cara yang dapat ia lakukan dengan keyakinan bahwa misi penyelamatan itu akan berhasil. Ada lagi seorang bapak, yang salah satu dari anak-anak yang terjebak di dalam gua merupakan rekan klub sepedanya, dengan suka rela menyediakan layanan antar-jemput dengan sepeda motornya bagi mereka yang menuju maupun pulang dari gua.

Penampakan yang juga sangat menyentuh hati ialah kehadiran para relawan Muslim. Mengetahui bahwa ada beberapa tim penyelamat yang beragama Muslim, beberapa ibu dengan suka rela menyiapkan masakan khusus (masakan halal) bagi mereka. Perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk berbagi kebaikan. Hal itu ditunjukkan oleh ibu-ibu tersebut yang juga menyiapkan masakan untuk tim penyelamat yang non-Muslim. Begitulah, perbedaan suku dan agama bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk solider dengan sesama yang mengalami penderitaan.

Pentingnya Saling Memahami dan Menghormati

Mari kita mengarahkan pandangan ke negeri kita tercinta, Indonesia. Bangsa Indonesia adalah rumah bagi keragaman. Keragaman suku, bahasa, budaya, agama menjadikan bangsa kita ibarat sebuah panggung megah di mana mata kita menjadi begitu berseri-seri ketika memandangnya. Semua itu adalah anugerah dari Tuhan yang patut kita rawat dan syukuri.

Salah satu bait dalam lagu "Tanah Airku" ciptaan Ibu Sud, akan selalu menjadi pengingat bagi kita untuk bangga dan cinta akan negeri yang indah ini: Walaupun banyak negeri kujalani; Yang masyhur permai dikata orang; Tetapi kampung dan rumahku; Di sanalah ku rasa senang; Tanah ku tak kulupakan; Engkau kubanggakan.

Sebagai orang yang tinggal di negeri asing, kerinduan akan tanah air semakin mendalam ketika mendengar lagu yang indah ini. Rasa bangga akan tanah air tercinta pun kian menguat ketika orang asing mengenal Indonesia dengan segala ciri khasnya. Suatu kali di kampus diadakan sebuah acara khusus dalam rangka mengenang mendiang Santo Paus Yohanes Paulus II sebagai pelindung kampus. Salah satu tamu yang diundang ialah Kardinal Stanislaw Dziwisz, mantan sekretaris pribadi Paus Yohanes Paulus II hampir selama 40 tahun. Kebetulan saya ada menyimpan sebuah buku yang ditulis oleh beliau (terbitan Dioma, diterjemahkan oleh Sr. Paula, CP).

Setelah selesai pertemuan, saya pun berusaha menjumpai beliau agar berkenan membubuhkan tanda tangannya pada buku tersebut. Tanda tangan beliau pun tersemat dengan indah. Namun, hal yang membuat saya kaget sekaligus bangga ialah saat dia tahu bahwa saya berasal dari Indonesia, sambil tersenyum beliau hanya mengucapkan satu kata, "Pancasila". Sebuah kebanggaan tersendiri ketika sesuatu yang menjadi identitas bangsa sendiri dikenal oleh orang asing.

Rasa bangga tersebut, sayangnya, muncul beriringan dengan rasa sedih karena teringat akan maraknya konflik yang terjadi di tanah air akibat belum bisa menerima perbedaan satu sama lain. Bila orang asing saja tahu menghargai identitas bangsa kita, mengapa kita sesama anak bangsa begitu sulit untuk hidup sebagai saudara? Perbedaan merupakan realitas yang tak dapat kita sangkal. Karena itu, perbedaan sekali lagi patut kita syukuri, kita banggakan dan kita pelihara. Pertanyaan yang lebih penting kemudian ialah bukan tentang mengapa kita berbeda, melainkan tentang bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut.

Pertanyaan 'bagaimana' menyiratkan sebuah panggilan kepada semua pihak untuk terlibat secara penuh dalam merawat perbedaan. Konflik terjadi karena masing-masing pihak mengklaim kebenaran sebagai milik pribadi atau golongannya sendiri. Kalaupun mereka mengakui adanya kebenaran di pihak lain, pengakuan tersebut hanya sebatas sebagai sebuah pengakuan tanpa ada niat memahami dan berdialog dengan mereka yang berbeda.

Bahaya dari sikap demikian ialah kebenaran bisa berubah menjadi ideologi. Paul F. Knitter dalam bukunya Pengantar Teologi Agama-Agama menulis, "Kebenaran menjadi ideologi kalau kelompok atau masyarakat atau agama mengejar, memperkokoh dan memberitakan sesuatu sebagai yang benar bukan hanya karena mereka yakini demikian, tetapi karena -- sadar atau tidak -- kebenaran itu memperkokoh kekuasaan mereka atas yang lain". Ideologi, menurutnya, seperti napas yang bau. Kita memerlukan seseorang untuk mengatakannya kepada kita (2008). Agar kebenaran yang kita yakini tidak menjadi alat untuk menguasai dan menindas orang lain, maka pentinglah bagi kita untuk mau membuka diri.

Dengan kata lain, kita mau memahami kebenaran yang terdapat dalam diri orang lain. Dalam buku yang sama Paul F. Knitter menegaskan bahwa untuk memahami kebenaran, kita harus berkomunikasi dengan sesama; itu berarti berbicara dengan dan mendengarkan mereka yang sama sekali berbeda dengan kita.

Karena itu, dalam konteks bangsa kita yang plural ini tak ada jalan lain selain belajar memahami orang lain, berbicara dengan mereka serta mendengarkan pergulatan mereka dalam menjalani hidup. Segala hal baik yang kita dengar dari orang lain tidak hanya akan menambah wawasan kita, tapi juga sedikit banyak dapat mempertebal keimanan kita. Bila semua pihak sudah mampu sampai pada taraf ini, maka sekat-sekat yang ada tidak lagi akan menjadi penghalang dalam menciptakan kebaikan bersama (bonum commune) serta dalam berbela rasa dengan sesama meskipun berbeda. 

Tulisan ini muncul dari soal makanan. Karena Indonesia kaya akan rasa dan jenis masakan, ketimbang kita menghabiskan waktu dan energi memperdebatkan makanan dari daerah mana yang terbaik dan terlezat, mungkin lebih baik kita duduk dan makan bersama. Kita membawa makanan dari daerah kita masing-masing. Sembari makan kita berbagi cerita dan pengalaman. Dari situ kita akan tahu betapa beragamnya Indonesia. Dan kita akan sampai pada kesadaran bahwa BERBEDA ITU INDAH!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun